Sanksi Tegas Bagi Pelaku Kekerasan Seksual




Oleh : Endang Setyowati

Beberapa pekan terakhir masyarakat dihebohkan dengan adanya berita pelecehan seksual yang dilakukan oleh 11 orang laki-laki terhadap seorang remaja yang berusia 15 tahun, di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. 

Peristiwa ini bermula tatkala tahun lalu korban (R) membawa bantuan dari poso untuk korban banjir di Desa Toroe, Parimo. Kemudia disitulah korban bertemu dengan salah satu pelaku dan menjanjikan pekerjaan di sebuah rumah makan. Namun, bukan pekerjaan yang didapat, tetapi justru R mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dan pelaku tersebut mengajak pelaku yang lain untuk melecehkan korban.

Mereka mengiming-ngimingi korban dengan imbalan narkoba jenis sabu-sabu serta mengancamnya dengan senjata tajam. Akibatnya, korban mengalami infeksi organ reproduksi sehingga menjalani operasi untuk pengangkatan rahimnya. 

Sangat miris, disaat korban masih dalam kondisi yang masih sakit, namun kasus R tersebut mengakibatkan kontroversi seperti yang dilansir oleh TEMPO.CO, 4/6/2023, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho menuai kontroversi usai menyebut kasus yang menimpa R, 15 tahun, di Parigi Moutong bukan termasuk pemerkosaan.

Dalam konferensi pers 31 Mei 2023, Agus Nugroho memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus pemerkosaan terhadap anak 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus tersebut. "Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban," kata Irjen Agus.

Sontak pernyataan itu mendapat sorotan berbagai pihak. Pakar hukum hingga Kompolnas pun menilai bahwa Irjen Agus  keliru. 
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, mengatakan Kapolda Sulteng Agus Nugroho keliru menyebut kasus pemerkosaan remaja 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) bukan pemerkosaan. Agus Nugroho menyebut kasus tersebut merupakan persetubuhan anak di bawah umur. “Kalau persetubuhan terhadap anak itu masuk kategori non-forcible rape (perkosaan tanpa paksaan). Jadi keliru Kapolda,” kata Chairul Huda saat dihubungi Tempo, Kamis, 1 Juni 2023.

Sedangkan, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti meyakini bahwa kasus tersebut, jelas ada kekerasan seksual. "Kami melihat ada kekerasan seksual dalam kasus ini, sehingga agar ada jaring bagi para pelaku untuk dihukum seberat-beratnya serta ada perlindungan kepada korban diperlukan pasal-pasal berlapis untuk menjerat mereka," katanya.

Ternyata, kasus di Parimo  tersebut merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak terberat selama tahun 2023, karena banyaknya pelaku dan dampaknya terhadap korban. Selain di Parimo, ternyata ditemukan juga kasus berat lainnya yaitu di Banyumas, Jawa Tengah dengan korban (12) diperkosa oleh delapan orang pada waktu yang berbeda. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak dikarenakan banyaknya kasus yang menimpa. Berdasarkan data Kemen PPPA tahun 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus).

Maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi terhadap anak-anak saat ini, membuktikan bahwa kondisi kehidupan sosial saat ini tidak baik-baik saja. Naluri untuk melindungi anak-anak terancam punah seiring dengan lemahnya fungsi keluarga, tidak adanya kontrol dari masyarakat, perbedaan persepsi diantara para aparat yang berujung tidak adanya hukuman yang membuat para pelaku kekerasan seksual ini jera.

Tidak adanya hukuman yang membuat jera para pelaku menjadikan kasus seperti ini terulang lagi, dan lagi. Bahkan ada yang menguap begitu saja, ketika para korban mendapatkan kompensasi imbalan uang. Beginilah tatkala sistem yang diadopsi adalah sistem sekuler liberal. Sehingga tidak memperdulikan halal haram lagi, dan menerobos hukum syarak.

Akibatnya terwujudlah masyarakat yang liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan. Maka dari itu, anak-anakpun tidak luput menjadi korban sistem sekuler saat ini.

Ketika kita lihat kondisi hari ini, ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain: akibat rapuhnya  perlindungan pertama terhadap anak yaitu dari keluarga. Bagaimana kondisi keluarga korban ternyata dalam keadaan kekurangan, sehingga dengan iming-iming  mendapatkan pekerjaan, korban akhirnya terpedaya oleh para pelaku. 

Kemudian, adanya perbedaan persepsi diantara para aparat terkait definisi kasus tersebut. Mengakibatkan menjadi kesalahan yang fatal karena terkait penentuan hukuman bagi para pelaku. Kemudian tatkala definisinya saja berbeda, bagaimana untuk bisa mendapatkan keadilan?

Belum lagi peran media massa yang tidak dikontrol oleh negara, sehingga masyarakat dengan leluasa untuk  mengakses pornoaksi maupun pornografi. Belum lagi film-film yang menyuguhkan gaya hidup hedonis serta memakai pakaian yang tidak menutup aurat.

Banyaknya fakta perangsang hasrat seksual yang dibiarkan, dengan sesukanya seperti: memakai pakaian seksi, rok mini, celana pendek yang mana hal tersebut bisa menimbulkan hasrat seksual bagi mereka yang lemah imannya. Namun nyatanya hal ini  terkesan mendapat dukungan dari HAM (Hak Asasi Manusia), sehingga siapapun tidak boleh mencampuri urusan  orang lain.

Berbeda tatkala kita menerapkan hukum Islam, karena di dalam sistem Islam akan dijaga pergaulan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ketika dalam bermuamalah maka akan diperbolehkan laki-laki dan perempuan bertemu, selama tidak menyalahi hukum syarak.

Di dalam sistem Islam benteng pertama terhadap penjagaan anak adalah orang tuanya. Orang tua bertanggungjawab untuk merawat, mengasuh, mendidik serta membina anak-anak mereka. Tatkala orang tua lalai dengan tanggungjawabnya, maka terhitung dosa dan tidak akan luput dari pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah SWT. 

Kemudian, di dalam Islam anak perempuan adalah tanggungan orang tua serta saudara laki-laki untuk memenuhi kehidupannya. Maka tatkala menikahpun tugas seorang suamilah dalam menafkahinya. Sehingga anak perempuan tidak susah payah untuk mencari pekerjaan, apalagi menjadi tulang punggung keluarganya.

Kemudian harus ada kontrol masyarakat, tatkala dalam masyarakat mengetahui ada yang melanggar hukum syarak maka harus berani menasihati bahkan menegurnya, dan yang dinasehati dan ditegur harusnya berterimakasih karena masih ada yang mengingatkan akan kesalahannya sehingga bisa terhindar dari dosa.

Peran negara sangat penting sekali dalam mengatur media massa, maka bisa mencegah adanya konten pornografi maupun pornoaksi, sehingga tidak akan menimbulkan rangsangan terhadap masyarakat dan tidak mendorong terjadinya kekerasan seksual.

Maka ketika ada yang melakukan perbuatan kekerasan seksual, negara akan memberikan sanksi yang tegas. Pelaku kekerasan seksual(pemerkosa) akan diberi sanksi layaknya hukuman bagi para pezina, bagi yang belum menikah akan dihukum cambuk sebanyak seratus kali.

Allah SWT berfirman:
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,..." (TQS. An nur 24: 2).
Dan hukuman bagi yang sudah menikah maka akan dirajam hingga mati.

Begitulah sanksi Islam sangat tegas dan keras di berikan kepada siapa saja para pelaku kekerasan seksual tanpa melihat siapapun dia. Sehingga akan memberikan efek jera dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Selain itu, sanksi tersebut bisa sebagai penebus dosanya kelak di akhirat.

Wallahu a'lam bi showab

sumber:  tirto id

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak