Pilih Pemimpin yang Mengajak Selamat Dunia Akherat



Oleh : Lilik Yani

Pemimpin seperti apa kalian idamkan? Cukupkah hanya bahagia dunia yang sesaat? Atau bisa selamat dunia akherat? Sungguh, itulah pemimpin idaman. 

Apakah sudah didapatkan? Jangankan bahagia akherat, bahagia dunia saja tak mereka rasakan. Akankah pemimpin yang ada dipertahankan? Mengapa sistem demokrasi tetap dijalankan jika pemimpin yang dihasilkan tak sesuai harapan?

Dilansir dari WartaEkonomi.co.id, -Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa pemimpin selanjutnya harus sosok yang berani dan kuat. Pernyataan itu disampaikan Jokowi di acara puncak Musra (Musyawarah Rakyat) Indonesia yang dihelat oleh relawan Joko Widodo di Istora Senayan, Jakarta, Minggu siang (14/5).

Meski acara tersebut sudah rampung, tetapi belum diumumkan siapa tokoh capres yang paling banyak mendapat dukungan. Pengamat Politik & Akademisi Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin menyatakan bahwa tidak otomatis Musra Relawan Jokowi mendukung Ganjar Pranowo yang akan diusung PDI-P. Ujang malah melihat bisa saja relawan lebih condong kepada Menteri Pertahanan dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. 

Jokowi dalam pidatonya sempat menyoroti ketidakpastian dunia yang menurutnya masih akan terjadi dalam lima sampai 10 tahun yang akan datang. Sehingga nahkodanya harus berani. Berani ambil resiko untuk kepentingan bangsa ini. Kalau digugat tidak berani, melempem, ya enggak akan sampai kita menjadi negara maju.

Ujang menangkap bahwa dalam pidato yang disampaikan Jokowi di Senayan, ciri-ciri pemimpin itu mengarah ke Prabowo sebab Jokowi menekankan beberapa kali dalam pidato itu bahwa Indonesia butuh pemimpin yang kuat dan berani, yang merupakan karakteristik Prabowo. Senin, 15 Mei 2023

Dilansir dari bbc.com, Kemunculan Joko Widodo di kancah politik nasional pada mulanya diyakini bisa mendobrak dinasti politik Indonesia. Tapi sekarang, satu per satu anggota keluarganya mulai berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Gibran Rakabuming Raka, si anak sulung, mengaku hendak mencalonkan diri sebagai wali kota Solo— kursi yang pernah ditempati bapaknya. Bukan hanya Gibran. Bobby Nasution, menantu Jokowi, sudah mengambil formulir pendaftaran bakal calon Wali Kota Medan pada 13 September lalu.

Jokowi bukan berasal dari keluarga politikus, bukan pula anak ketua partai berlambang banteng bermoncong Putih, Megawati Soekarnoputri. Tapi karier politiknya moncer sejak menjabat wali kota Solo selama dua periode (2005 dan 2010). Setelah menjadi wali kota Solo, Jokowi meniti tangga politik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 dengan mengalahkan petahana, Fauzi Bowo.

Sebagai pemimpin ibu kota, dia bertahan selama dua tahun karena anak dari pasangan Wijiatno Notomiarjo dan Sujiatmi mencoba peruntungan menjadi orang nomor satu di Indonesia pada Pilpres 2014. Menang pada pilpres 2014, Jokowi mempertahankan kursinya pada 2019. Sebanyak dua kali pula lawannya, mantan menantu Presiden Soeharto, Prabowo Subianto, kalah.

"Beliau memang terlihat polos, tapi beliau ini politisi yang ulung. Justru dengan gayanya itu (polos), dia adalah politisi ulung," kata Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah kepada BBC News Indonesia.

Keulungan Jokowi, menurut Hurriyah, salah satunya diwujudkan dengan mempersiapkan regenerasi, walau dia sendiri dipersepsikan sebagai antitesa dari semua hal buruk di Orde Baru, termasuk dinasti politik. Tradisi yang dimaksud Hurriyah telah dijalankan Susilo Bambang Yudhoyono yang melibatkan anak-anaknya dalam politik praktis. Begitupun dengan Megawati Soekarnoputri. Putri semata wayang, Puan Maharani kini duduk sebagai ketua DPR.

Belajar dari keruntuhan dinasti politik Soeharto

Dinasti politik pascaOrde Baru ibarat jamur di musim hujan, tumbuh di berbagai daerah mulai tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Klan Atut Chosiyah di Provinsi Banten pun menjadi barometer bagi dinasti politik di daerah lainnya, kata Wakil Direktur Puskapol UI, Hurriyah.

"Kekuasaan itu sangat menggiurkan, seperti buah manis yang pasti orang akan mengejar itu. Ketika melihat ada contoh yang berhasil di situ, memungkinkan orang untuk meng-capture sumber daya. Nah itu yang akhirnya, mendorong banyak politisi yang mencoba peruntungan," katanya.

Dua anak Soeharto di panggung politik, indikasi kebangkitan dinasti Soeharto?
Kasus bupati Klaten: Ada kaitan dinasti politik dan korupsi?
Keluarga Ratu Atut berjaya di Pilkada Banten
Di sisi lain, keruntuhan dinasti politik juga perlu diperhatikan.

Hurriyah melihat dinasti politik pada akhirnya akan runtuh dengan persoalan korupsi. Ini yang terjadi terhadap klan Soeharto di masa Orde Baru. Awal mula kehancuran Soeharto dan perubahan Soeharto menjadi otoriter dan koruptif, ini bermula saat dia melibatkan keluarganya di dalam bisnis dan politik.

Rentan dengan Korupsi

Pascareformasi, dinasti politik meluas di daerah-daerah ditandai dengan desentralisasi dan ruang kompetisi pilkada yang terbuka lebar, termasuk melibatkan keluarga. Oleh karena itu,Gb  bermunculan klan Atut Chosiyah di Banten, klan Noerdin di Sumatera Selatan, klan Asrun di kota Kendari, klan Zainuddin Abdul Madjid di Nusa Tenggara Barat, klan Cornelis di Kalimantan Barat, klan Kasuba di Maluku Utara, klan Limpo di Sulawesi Selatan dan lain-lain.

Dinasti politik yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni yang menang dalam Pilkada 2016 silam. Anaknya, Andi Faisal Sofyan Hasdam baru saja dilantik sebagai Ketua DPRD Bontang, Kalimantan Timur.

Dengan demikian, kekuasaan eksekutif dan legislatif di Bontang dijalankan ibu dan anak.
Sebelumnya, suami Neni, Sofyan Hasdam, merupakan Wali Kota Bontang dua periode (1999 - 2011).

Sistem Demokrasi Liberal Peluang terjadinya Nepotisme

Demokrasi liberal yang menggunakan pemilu untuk pemilihan para pemimpinnya. Suara terbanyak dianggap menang. Entah suara siapapun itu, tak dilihat orang pintar atau buta huruf. Orang kaya atau miskin. Orang beriman atau kafir. Semua punya hak sama untuk menggunakan hak suara dalam pemilu.

Karena itulah, para pemimpin akan mencari peluang untuk menang dengan mencari kantong massa yang banyak. Kerabat, sahabat, saudara, teman, akan didekati agar memberi dukungan.  Tak melihat apakah idenya benar atau hanya ikut-ikutan. Yang penting jumlah suara banyak maka akan menjadi pemenang.

Ketika sudah menjadi pemimpin, merasakan nikmatnya fasilitas sebagai pemimpin negeri, seolah tak mau hengkang. Ketika jatah habis, dua periode berlalu maka akan mengajukan kerabat, sahabat, orang-orang dekat yang dulu mendukungnya. Atau yang masih terus memberikan fasilitas layak sebagai balas budi.

Pada saat menjabat jadi pemimpin negeri, sebisa mungkin  para pembantunya, menteri, gubernur, wali, kepala daerah, dan banyak lainnya diupayakan masih ada kerabat agar kekayaan tak lari keluar. Bahkan kalau bisa akan menjadi dinasti politik yang kuat dan tak tergoyahkan.

Tidakkah mengambil pelajaran bahwa, dinasti politik sekuat pemimpin orde baru bersama kroni-kroninya bisa hancur berantakan karena musuh senantiasa mengancam. Lagi pula, bukankah sebuah amanah menjadi seorang pemimpin itu? Apakah sudah menunaikan amanah dengan benar.

Ketika amanah menjadi pemimpin umat tidak dilaksanakan, maka Allah bisa setiap saat menggulingkan. Masalahnya mengapa kondisi ini terus berulang? Jika sistem demokrasi tak melahirkan pemimpin amanah yang bisa diandalkan mengurus umat, sudah saatnya berganti sistem yang sesuai aturan Allah.

Hanya Sistem Islam yang Menjadikan Pemimpin Peduli Umat

Allah sudah menyiapakan sistem terbaik untuk mengatur dunia dan seisinya ini. Sistem yang membuat penghuni bumi bahagia dan sejahtera. Sistem yang mengajak selamat umat manusia di dunia hingga ke akherat nantinya.

Sistem yang mengingatkan umat manusia agar menyiapkan bekal akherat semaksimal mungkin karena tidak ada lagi tolong menolong di akherat kelak. Tak ada lagi saling sapa meski dulu teman akrab, sahabat, kerabat, maupun pemimpin yang dulu mendukungnya.

Meski di dunia sangat akrab jalinan persahabatan, kekeluargaan, bahkan antara suami istri, ibu anak, bapak anak, kakak adik, dan hubungan kerabat sedekat apapun, saat di akherat kelak tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya.

Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Urusan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan yang pernah diperbuatnya di dunia. Perbuatan besar atau kecil, bahkan sebesar atom juga ada pertanggungjawaban. Sibuk sekali urusan diri sendiri jadi tak sempat menyapa sahabat atau kerabatnya.

QS. Al-Ma'arij Ayat 10

وَلَا يَسۡـَٔـلُ حَمِيۡمٌ حَمِيۡمًا

dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya,

Dan ketika itu tidak ada seorang teman karib pun menanyakan keadaan temannya, karena mencekamnya situasi dan kesibukan masing-masing dengan urusannya.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan saat-saat kedatangan azab serta keadaan manusia waktu itu. Azab datang kepada orang kafir pada waktu langit hancur luluh, seperti perak yang mencair karena dipanaskan, dan pada saat gunung-gunung hancur bertaburan, seakan-akan bulu-bulu burung yang sedang beterbangan karena hembusan angin. 

Kebingungan dan penderitaan dihadapi manusia pada waktu itu. Masing-masing tidak dapat menolong orang lain, tidak seorang pun teman akrab yang menanyakan temannya, sedangkan mereka melihat dan mengetahui penderitaan temannya itu.

Bagaimana mungkin akan bersantai dan sibuk mengurusi jabatan dan kekuasaan yang fana, lalu meninggalkan urusan akherat? Sungguh sebuah kerugian jika demikian. Maka dari itu perlu sistem dan pemerintah Islam yang akan senantiasa mengingatkan agar umat saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Berharap punya bekal cukup agar siap menghadapi kehidupan akherat yang panjang.

Wallahu a'lam bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak