Perselingkuhan, Masalah Sistemis Butuh Penyelesaian



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Belakangan ini merebak kabar artis tanah air yang selingkuh meski sudah menikah. Kabar tersebut tentu menghebohkan publik apalagi terkuak dalam waktu hampir bersamaan.

Study mengenai perselingkuhan menyatakan bahwa perselingkuhan bukan hanya monopoli laki-laki. Studi Current Opinion in Psychology pada 2020 menemukan, laki-laki dan perempuan kini terlibat dalam perselingkuhan pada tingkat yang sama. Studi tersebut mencatat, sebanyak 57% laki-laki dan 54% perempuan mengaku pernah berselingkuh.
 
Adalah pandangan yang dangkal, jika memandang fenomena perselingkuhan muncul karena adanya satu faktor saja, misal kebosanan, ketakcocokan dengan pasangan, dan sebagainya. Beberapa kasus mungkin iya. Namun, banyak fakta di masyarakat bahwa pasangan yang ideal, tidak pernah diterpa isu negatif, dan terlihat mesra dan harmonis, tiba-tiba terlibat kasus perselingkuhan. Wajar jika saat ini, di mana pun para istri dihantui bayangan kekhawatiran suami akan berselingkuh. Begitu pun sebaliknya, suami tidak merasa aman dari perselingkuhan istri.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ketakwaan individu yang kurang menjadi salah satu penyebab perselingkuhan. Namun, kerusakan tata nilai dan aturan yang berlaku menjadi faktor yang lebih utama. Diakui atau tidak, Indonesia saat ini sudah terjerat sistem demokrasi liberal. Dalam sistem ini, tidak ada aturan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Semua diserahkan kepada pribadi atas nama kebebasan berperilaku. Pada titik inilah, pandangan masyarakat terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi penentu bagi bentuk hubungan keduanya di tengah masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat Barat yang menganut ideologi kapitalisme liberal, relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan adalah relasi yang bersifat seksual. Artinya, keberadaan laki-laki adalah untuk memenuhi naluri biologis perempuan. Begitu pun sebaliknya, keberadaan perempuan adalah untuk memuaskan naluri biologis laki-laki. Dengan pandangan seperti ini, upaya-upaya untuk membangkitkan naluri seksual dan memenuhinya akan selalu diadakan. Inilah yang kemudian membuka lebar pintu-pintu perselingkuhan.

Bagaimana tidak? Perempuan bebas mengumbar auratnya, bahkan sering kali daya tarik keperempuanannya dimanfaatkan untuk kesuksesan karier. Tengok betapa beberapa artis sampai merasa perlu memermak penampilan dengan berbagai operasi plastik untuk memudahkan mendapat job. Juga lihat iklan-iklan lowongan kerja yang sebagian besar mencantumkan “berpenampilan menarik” sebagai salah satu syarat penerimaan pegawai.

Tata aturan pergaulan juga yang tidak lagi diperhatikan dalam masyarakat. Berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan alasan tugas, servis pelanggan, dan sebagainya, tidak lagi dipandang tabu. Perempuan pergi berhari-hari dengan teman kerja laki-laki tanpa disertai suami, mengobrol dan saling curhat masalah pribadi dengan teman kerja, juga dianggap hal yang biasa. Bahkan, campur baurnya laki-laki dan perempuan, seperti di kereta api atau bus kota, sering menjadi awal perselingkuhan.

Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya aturan baku dari negara terhadap interaksi laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan negara demokrasi, interaksi semacam ini adalah wilayah privat yang negara tidak boleh ikut campur mengaturnya. Itulah sebabnya pembahasan UU Pornografi di DPR waktu itu begitu alot. Saat akhirnya disahkan, UU ini mandul karena isinya merupakan hasil kompromi yang mementahkan esensi dari tujuan pembuatannya.
Sanksi bagi perselingkuhan juga hampir tidak ada. Hubungan suka sama suka “halal” dalam masyarakat liberal. Sanksi hanya bisa dijatuhkan apabila pasangan peselingkuh mengadukannya. Namun, ini jarang terjadi karena umumnya orang merasa segan untuk mempermalukan keluarga. Akhirnya, jalan yang dipilih adalah perceraian.

Demikianlah, kerusakan mendasar sebuah sistem yang melibatkan individu, masyarakat, dan negara, merupakan pangkal dari segala kerusakan. Maka butuh solusi yang menyeluruh dari tingkat individu, masyarakat dan juga negara. Dan semua itu hanya mungkin selesai dalam tata aturan Islam, yang diterapkan oleh negara. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak