Oleh : Eti Fairuzita
Sejumlah pihak mulai dari aktivis antikorupsi, mantan penyidik KPK hingga anggota DPR mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun dari semula empat tahun.
Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai putusan tersebut tidak masuk akal.
Ia berpendapat argumentasi lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron lemah dan menyimpang dari dua Pasal dalam UU KPK yang mengatur syarat batas usia calon pimpinan KPK dan periodesasi jabatan pimpinan KPK.
"Putusan MK ini tidak masuk akal menurut saya," ujar Herdiansyah, Kamis (25/5).
Mengenai syarat batas usia 50 tahun bagi calon pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf e UU KPK, pria yang akrab disapa Castro ini menyoroti putusan MK yang menambahkan frasa "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK". Menurut dia, hal itu tidak lazim dalam seleksi lembaga negara.
Putusan itu, kata Castro, seolah hanya untuk mengakomodasi kepentingan subjektif Nurul Ghufron yang hendak maju kembali tetapi terkendala usia.
Kedua, perihal penambahan masa jabatan pimpinan KPK dari semula empat tahun menjadi lima tahun. Castro mengaku tidak menemukan basis argumentasi MK dalam ratio decidendi atau pertimbangan putusan.
"Terlebih KPK ini lembaga penegak hukum, di mana semakin panjang masa jabatannya semakin terbuka pula potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)," ujarnya.
Pernyataan ini merupakan gambaran yang sangat jelas, bahwa keputusan MK menunjukan adanya upaya menyelamatkan kasus korupsi melalui perpanjangan masa jabatan, memang patut dicurigai. Pasalnya, isu perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK terjadi di tengah isu gratifikasi seks yang menimpa ketua KPK saat ini. Ditambah lagi, ketetapan 4 tahun itu ternyata agar pemerintah diawasi oleh 2 periode KPK sebagai bentuk check and balance.
Inilah fakta pemerintahan dalam sistem demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, jabatan atau kekuasaan seringkali tersandera kepentingan tertentu. Sebabnya, dalam sistem ini kekuasaan dikatakan legal ketika para calon penguasa mendapatkan suara mayoritas, tanpa mempedulikan kapasitas dari para calon pemimpinnya.
Dan untuk memenangkan pemilu membutuhkan dana fantastis, hal inilah yang membuka celah bagi para sponsor atau pemilik modal untuk ikut terlibat.
Tak heran saat terpilih, penguasa berlomba-lomba mengembalikan modal pemilu dengan berbagai cara termasuk korupsi. Uang hasil korupsi tersebut biasanya akan dipakai untuk pemilu di periode selanjutnya. Alhasil, dalam sistem demokrasi kekuasaan hanya demi memuaskan syahwat berkuasa, demi memperoleh materi sebanyak-banyaknya bukan untuk melayani kepentingan rakyat.
Tentu hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah. Politik yang diterapkan Khilafah adalah politik Islam yakni mengurus urusan umat dengan menggunakan hukum-hukum syariat.
Maka kekuasaan yang ada digunakan untuk melayani Islam. Sebagaimana yang diminta Rasulullah Saw kepada Allah Swt :"Nabi saw, amat menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan."
"Karena itulah beliau meminta kekuasaan agar bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudud Allah, menjalankan berbagai kefardhuan Allah, dan menegakkan agama Allah,"
Dengan kata lain, kekuasaan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari akidah dan syariah. Bahkan kekuasaan dipandang sebagai metode untuk menerapkan syariat Islam. Karena itu, kekuasaan dalam Islam bukan hal yang diperebutkan, bahkan dikatakan sebagai kehinaan. Sebab, ketika seseorang dibaiat untuk menjadi pemimpin kaum muslimin, sedangkan mereka tak mampu untuk hal itu atau bahkan berbuat kecurangan, maka akan ada pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Rasulullah Saw Bersabda :"Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh darinya pada hari kiamat.
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Bahkan Rasulullah pernah bersabda kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu, "Wahai Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan/kekuasaan itu adalah amanah, (HR. Muslim).
"Sungguh amanah kekuasaan itu akan menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat," (HR. Muslim).
"Kecuali bagi orang yang mengambil amanah kekuasaan tersebut dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya,"(HR. Muslim).
Inilah dorongan ruhiyah atau kesadaran dari sisi individu ketika ingin mengambil amanah atau saat menjalankan amanah tersebut. Dia tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming duniawi untuk memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Sehingga, kekuasaan dalam Islam akan dipegang oleh orang yang kompeten, ahli di bidangnya, dan sosok negarawan. Adapun secara mekanismenya, Khilafah akan memastikan beberapa hal agar para pegawainya tidak melakukan keculasan. Yakni Khilafah akan menjamin setiap pegawainya tercukupi kebutuhan pokok mereka secara tidak lansung dan menjamin kebutuhan dasar publik mereka secara langsung.
Khilafah juga akan melakukan monitoring jumlah kekayaan pejabat, agar jika ada kelebihan harta tidak wajar dari pejabatnya, maka Khilafah akan menindak dengan cepat dan tegas. Dalam Khilafah juga ada mekanisme muhasabah (mengoreksi) penguasa atau pegawai negara. Aktivitas ini merupakan aktifitas wajib bagi seorang muslim. Karenanya, masyarakat Khilafah adalah masyarakat yang gemar melakukan amar maruf nahi munkar. Demikianlah, Khilafah mengatur agar individu, masyarakat, dan negara memiliki kesadaran politik yang shahih sehingga terwujud kebaikan dari penerapan syariat Islam secara kaffah.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini