Oleh : Ami Ammara
Beberapa pengadilan di Indonesia sudah mulai mengizinkan pernikahan beda agama berdasarkan UU Adminduk hingga alasan sosiologis. Adapun yang baru saja membolehkan pernikahan beda agama adalah PN Jakarta Pusat.
Sebelumnya PN Jakarta Pusat, beberapa pengadilan di daerah lain telah lebih dulu membolehkan nikah beda agama. Yakni PN di Surabaya, Yogyakarta, Tangerang hingga Jakarta Selatan. Dirangkum detikcom, Minggu (25/6/2023) berikut ini deretan PN yang membolehkan nikah beda agama.
1. PN Surabaya
PN Surabaya mengesahkan pernikahan beda agama pasangan Islam dan Kristen. Hakim memerintahkan Dukcapil mencatat pernikahan tersebut.
Hal itu tertuang dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby yang dilansir website-nya, Senin (20/6/2022). Disebutkan pemohon adalah calon pengantin pria RA dan calon pengantin wanita EDS. RA beragama Islam, sedangkan EDS beragama Kristen. Keduanya menikah sesuai agama masing-masing pada Maret 2022.
Tapi, saat hendak mencatatkan ke Dinas Catatan Sipil, mereka ditolak. Keduanya lalu mengajukan penetapan ke PN Surabaya agar diizinkan menikah beda agama. PN Surabaya lantas mengizinkan nikah beda agama.
"Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Surabaya," demikian bunyi penetapan yang diketok oleh hakim tunggal Imam Supriyadi.
Dikabulkannya nikah beda agama (laki-laki non muslim dengan muslimah) menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama.
Negara tidak berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Hukum Nikah Beda Agama
Termasuk salah satu yang diatur oleh syariat Islam adalah pernikahan yang terjadi antara dua sejoli yang berbeda keyakinan. Dalam menyikapi perbedaan calon mempelai ini, setidaknya harus diklasifikasi menjadi dua kategori.
Pertama, wanita muslimah dengan pria non muslim.
Kedua, pria muslim dengan wanita non muslimah. Klasifikasi ini didasarkan kepada sebuah ayat yang berbunyi:
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221).
Untuk kategori pertama, yakni wanita muslimah dengan pria non muslim, konsensus ulama (ijma’) menyatakan haram tanpa terkecuali. Artinya, tanpa melihat jenis kepercayaan dan agama yang diyakini oleh mempelai pria. Ikatan ini dikhawatirkan akan menggiring sang isteri masuk dan mengikuti agama sang suami. Umumnya, suami sebagai kepala rumah tangga akan mengajak dan mempengaruhi isteri untuk mengikuti agama yang diyakininya. Potongan ayat di atas yang berbunyi, “mereka mengajak ke neraka” dijadikan alasan oleh para ulama untuk mengharamkan pernikahan kategori pertama ini. Sehingga, tidak ada pengecualian terhadap jenis-jenis agama apapun yang diyakini calon suami.
Sedangkan untuk kategori kedua, yaitu pria muslim dengan wanita nonmuslimah, para ulama memberikan hukum berbeda berdasarkan agama yang dianut oleh calon isteri. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita nonmuslimah yang haram dinikahi oleh pria muslim adalah mereka yang tidak menganut agama samawi, semisal penyembah berhala, api, matahari, dan lain-lain. Agama samawi adalah agama yang mempunyai kitab wahyu dan seorang rasul, mereka ini oleh Al-Qur’an disebut sebagai ahlul kitab.
Oleh karena itu, menikahi wanita Yahudi dan Nashrani yang dikategorikan sebagai ahlul kitab atau wanit-wanita kitabiyyat diperbolehkan. Pendapat ini juga didukung oleh imam mazhab yang empat, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pernikahan dengan ahlul kitab ini juga pernah dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan. Beliau pernah menikahi seorang wanita nashrani bernama Nailah yang kemudian masuk Islam di tangannya. Demikian juga sahabat Hudzaifah pernah menikahi seorang wanita Yahudi. (Wahbah Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid VII, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 1985, hal. 152-153).
Sedangkan menurut Abdullah bin Umar berlaku sama antara kategori pertama dan kedua, sama-sama haram untuk semua jenis agama tanpa terkecuali. Pendapat ini juga didukung oleh kalangan Syi’ah Imamiyah dan sebagian Syi’ah Zaidiyah. (Muhammad Ali al-Shabuniy, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Jilid I, Beirut: Maktabah al-Ghazali, tt., hal. 287).
Hikmah diperbolehkannya pria muslim menikahi wanita ahlul kitab disebabkan ada titik temu antara dua agama samawi ini. Ada secercah titik persamaan antara prinsip-prinsip dasar keimanan seperti pengakuan tentang adanya Tuhan, beriman kepada rasul dan hari akhir, hari perhitungan amal dan siksa. Sehingga dengan modal persamaan ini rumah tangga diharapkan berjalan stabil dan di kemudian hari sang isteri akan memeluk agama Islam.
Islam memiliki aturan tertentu dalam berbagai persoalan manusia, yang semuanya bersumber pada aturan Allah dan Rasul-Nya.
Salah satu tugas Negara menurut hukum Allah adalah menjaga rakyatnya agar tetap dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Wallahu alam bi ash-shawab
Tags
Opini