Perguruan Tinggi Swasta dikenakan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi, Ada Apa?




Oleh: Ummu Zidna
(Aktivis Muslimah)

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi (selanjutnya disingkat PT). Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbud Ristek, Lukman mengatakan, pencabutan izin operasional 25 perguruan tinggi dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kinerja. Dari sana, maka diputuskan sanksi bagi perguruan tinggi yang terbagi dalam beberapa klasifikasi, mulai sanksi ringan, sedang, berat, hingga pencabutan izin operasional berdasarkan bukti fakta dan data yang ditemukan di lapangan. (Kompas.com/27-05-2023).


Pencabutan Izin Operasional ini tentu tidak secara sembarangan, menurut pejabat Kemendikbud Ristek, pemberian sanksi dilakukan secara bertahap setelah dilakukan evaluasi oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) wilayah.
PT yang melakukan pelanggaran ringan akan di berikan pembinaan, monitoring, dan evaluasi perguruan tinggi oleh LLDIKTI wilayah.


Sedangkan PT yang melakukan pelanggaran sedang dan berat akan diputuskan berdasarkan pengkajian Dirjen Diktiristek dengan melibatkan Tim EKPT (Evaluasi Kinerja Perguruan Tinggi). Tim EKPT terdiri dari berbagai unsur seperti kelembagaan, hukum, pembelajaran kemahasiswaan, sumber daya, dan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sehingga keputusan yang diambil berdasarkan fakta dan data yang tervalidasi. Jika kelima pelanggaran di atas dilakukan oleh perguruan tinggi, pencabutan izin operasional dikenakan, alhasil muncul sejumlah 23 PT yang dicabut izin operasionalnya sepanjang Januari hingga Mei 2023.


23 Perguruan tinggi ini adalah Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
Lantas, ada apa dengan PTS yang dikenakan pencabutan izin tersebut?
Berdasarkan penyampaian pejabat Kemendikbud Ristek PTS yang sudah dicabut izinnya berikut ini:
Tangerang Selatan: 1 perguruan tinggi
Surabaya: 2 perguruan tinggi
Medan: 2 perguruan tinggi
Taksimalaya: 1 perguruan tinggi
Yogyakarta: 1 perguruan tinggi
Padang: 2 perguruan tinggi
Bali: 1 perguruan tinggi
Palembang: 1 perguruan tinggi
Jakarta: 5 perguruan tinggi
Makassar: 1 perguruan tinggi
Bandung: 1 perguruan tinggi
Bogor: 1 perguruan tinggi
Manado: 2 perguruan tinggi
Bekasi: 2 perguruan tinggi.
Meskipun Nama PTS-PTS tidak direlease namun tidak ada satupun Perguruan Tinggi Negeri yang terkena pencabutan izin tersebut, ini menandakan pemberi layanan Pendidikan tingkat tinggi oleh negara memiliki pengawalan kualifikasi Pendidikan yang lebih ketat. Dan bahwa penyelenggara Pendidikan tinggi oleh swasta masyarakat masih menempuh jalan Panjang yang berliku penuh dengan tantangan besar.


Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta, Pendidikan tinggi tidak hanya dilakukan oleh negara namun oleh komunitas masyarakat seperti Yayasan, perkumpulan dan Lembaga berbadan hukum lain yg berprinsip nirlaba. Dalam memberikan layanan Pendidikan tinggi yang berprinsip nirlaba ini tentu saja PTS harus putar otak bagaimana agar dana operasional Pendidikan cukup, mampu menawarkan kualitas Pendidikan yang baik serta tetap taat regulasi pemerintah terkait Pendidikan tinggi.


Wajar jika kemudian seorang pengamat Pendidikan Universitas Lampung M. Thoha B Sampurna Jaya mengatakan salah satu sebab diantara dicabutnya izin operasional PTS adalah adanya PTS yang tidak mampu beroperasi lagi akibat menurunnya minat dari mahasiswa baru yang mendaftar. (m.lampost.co/30-05-2023). Tentu sangat terkait dengan biaya operasional yang belum cukup.
Beban swasta cukup besar sehingga sangat wajar hari ini sekolah swasta mahal sebab sumber pendanaan Pendidikan lebih besar dilimpahkan kepada peserta didik.


Sebab lain pencabutan izin operasional, sbb:
Perguruan tinggi tersebut tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi
Melaksanakan pembelajaran fiktif
Melakukan praktik jual beli ijazah
Ada penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K)
Adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif
Kelima sebab diatas adalah sebab-sebab kualifikasi Pendidikan yang belum sesuai dengan regulasi Permendikbudristek Nomor 7 Tahun 2020 yang menjadi salah satu pedoman regulasi PTS.


Dalam pelaksanaan Pendidikan tinggi memang seharusnya memenuhi standar kelayakan yang baik dan melakukan kegiatan pembelajaran secara aktif. Hal ini tentu demi menjamin hak setiap generasi dalam mengenyam Pendidikan tinggi. Sayangnya, jumlah perguruan tinggi yang memenuhi standar tersebut tidak mencukupi kebutuhan yang ada sehingga tugas ini  tidak hanya dilaksanakan negara tapi keadaan memaksa swasta ikut serta mengambil alih. 


PTS berada di tengah pusara supply and demand industry Pendidikan
Pencabutan Izin karena adanya praktik jual beli ijazah di PTS membuktikan bahwa praktik jual beli ijazah bukanlah sekadar isu ataupun isapan jempol. Praktik terlarang tersebut terbukti nyata adanya, sehingga pengambil kebijakan sector pendidikan merasa perlu untuk mengambil tindakan tegas dengan mencabut izin operasional PT.
Adanya praktik jual beli ijazah ini tentu terjadi karena adanya permintaan dan penawaran. Ada individu-individu yang bermental instan sehingga enggan melakukan proses pendidikan, tetapi menghendaki ijazah karena tuntutan pekerjaan. Ijazah yang seharusnya merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu, ternyata diperjualbelikan. Asal ada uang, ijazah bisa diperoleh. Demi pekerjaan yang mensyaratkan ijazah, jalan bathil pun ditempuh. Kondisi ini terwujud di dalam sistem kapitalisme yang menuhankan materi. Keuntungan materi menjadi tujuan hidup manusia sehingga segala cara ditempuh demi memperolehnya. Tidak peduli halal atau haram. Agama tidak digunakan sebagai petunjuk, bahkan justru dimarginalkan.


Belum lagi ada permintaan hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi yang juga diarahkan untuk kepentingan industri para kapitalis, bukan untuk kemaslahatan umat ataupun kesejahteraan generasi di masa mendatang. Inilah kubangan kapitalisasi Pendidikan yang bukan hanya mengikat personal tapi juga komunitas masyarakat seperti perguruan tinggi swasta.
Pendidikan bukan layanan gratis dari negara. 


Negara yang mengadopsi Pendidikan sebagai hak generasi tentu akan memberikan berbagai layanan Pendidikan gratis maupun murah dengan berbagai alternatif pilihan. Inilah yang tidak diadopsi Indonesia. PTS sebagai salah satu Lembaga Pendidikan melihat ketimpangan yang sangat jauh antara kebutuhan layanan pendidikan terutama di perguruan tinggi dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya yang ada. Alhasil hanya ada dua pilihan yang mungkin yang dihadapi PTS, yakni menyediakan layanan Pendidikan yang berbiaya murah namun belum memenuhi standar kelayakan, atau menyediakan layanan pendidkan bermutu baik dengan pembebanan lebih besar kepada peserta didik.
Kapitalisasi pendidikan yang diterapkan di Indonesia sebetulnya telah mencederai tujuan pendidikan kita saat ini dan mengubahnya menjadi materialistis. Tujuan kuliah sekadar untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses secara finansial, sedangkan tujuan luhur berupa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan insan yang bertakwa hanya berhenti sebatas jargon. Pada akhirnya, kapitalisasi pendidikan menghasilkan lulusan berupa generasi yang serba boleh (permisif). Tentu karena kuliah sudah mahal belum tentu terjamin kesejahteraan setelah lulus.


Layanan Pendidikan Tinggi dalam Sistem Islam

Negaralah yang sepatutnya menjadi pelayan utama Pendidikan generasi, negara yang paling banyak dibebankan oleh syariat untuk mengupayakan dengan segenap kekuatan agar hak berpendidikan generasi terpenuhi. Oleh karena itu, bukanlah tanggung jawab swasta untuk menggenapkan banyaknya syarat-syarat kelayakan standar kualifikasi Pendidikan. 


Dua tujuan utama sistem pendidikan tinggi dalam Islam yang seharusnya diadopsi negara sbb:
Pertama, memperdalam kepribadian Islam untuk menjadi pemimpin yang menjaga dan melayani problem vital umat, yakni Khilafah; memperjuangkan penegakannya ketika belum ada; melestarikan dan mempertahankannya sebagai institusi politik yang menerapkan Islam ke tengah umat, mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta menghadapi ancaman persatuan umat.


Dengan demikian, profil sarjana yang dihasilkan adalah mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim, dan ahli hukum (fukaha) yang akan memimpin umat untuk mengimplementasikan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.


Tujuan kedua adalah menghasilkan gugus tugas yang mampu melayani kepentingan vital umat dan membuat gambaran rencana strategis jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala, “Allah sekali-kali tidak memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141). (Nida Saadah, Strategi Pendidikan Tinggi di Era Khilafah dalam Menghasilkan Generasi Cemerlang).
Dengan dua tujuan ini, negara harus Bersiap dengan regulasi Pendidikan yang berdasarkan Alquran dan sunnah yang mengatur penyelenggaraan negara. Jika penyelenggara Pendidikan Swasta, negaralah yang menyediakan infrastruktur dan suprastruktur (seperti kurikulum Pendidikan) agar swasta hanya perlu dibebani pada bidang peningkatan mutu, bukan pemenuhan standar mutu.


Pendidikan tinggi dalam Khilafah akan terbebas dari praktik curang jual beli ijazah dan kuliah fiktif karena diselenggarakan secara gratis. Mahasiswa tidak perlu membayar satu dirham pun untuk bisa kuliah. Setelah kuliah, person warga negara pun tidak dibebankan harus bekerja elit supaya terpenuhi kesejahteraan sebab negara mengadopsi enam hak individu warga negara (yakni sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan, kesehatan) yang dibebankan pemenuhannya kepada negara. Individu cukup bekerja sesuai keahlian demi meningkatnya kualitas hidup.


Lantas, dari mana dananya? Semua pembiayaan pendidikan dalam Khilafah, termasuk pendidikan tinggi, dibiayai dari baitulmal, yaitu dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum (milkiyyah ‘aammah). Bukan hanya kuliahnya yang gratis, berbagai riset pun dibiayai oleh negara. Sehingga besar kemungkinan negara lah yang membeli hasil riset untuk dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran ummat
Untuk mewujudkan pendidikan gratis ini, negara tidak sendirian. Banyak individu rakyat yang kaya turut mendukung pembiayaan pendidikan dengan memberikan wakaf. Hasilnya adalah output pendidikan tinggi yang cerdas bertakwa dan turut memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam, baik dengan menjadi ulama, politisi, saintis, maupun yang lainnya. Jika kita serius mewujudkan sistem Islam, gambaran pendidikan tinggi yang luar biasa ini akan dapat terwujud. Wallahu A'lam Bisshowwab

Referensi
www.muslimahnews.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak