Oleh: Rinica M
Kesiapan menjadi ibu adalah bagian penting yang harus diperhatikan setiap wanita yang hendak berumah tangga. Pasalnya dalam pandangan Islam, berumah tangga bukanlah sekadar menyatukan cinta antara laki-laki dan perempuan secara halal. Melainkan ada nilai yang hendak diraih dari pernikahan itu sendiri, yakni melestarikan jenis alias memiliki keturunan.
Maka siap menikah sebenarnya sama artinya dengan siap menjadi ibu baru, berapapun usia saat itu. Oleh sebab itu perlu penyiapan yang tidak main-main. Jika meminjam istilah ustadz "perlu memantaskan diri sebelum menikah". Mengapa? Sebab akan ada perbedaan peran yang sangat besar pasca berumah tangga. Bukan hanya berstatus istri semata, melainkan akan menjadi ibu sekaligus di waktu yang sama.
Jika kurang penyiapan memasuki peran sebagai ibu, maka bisa berdampak negatif. Salah satunya adalah sindrom gangguan kesehatan mental yang populer diistilahkan baby blues. Akhir-akhir ini pembahasan baby blues lumayan viral, pasalnya menurut ada hasil penelitian yang terungkap ke publik dan menyajikan data rekor baby blues yang memerlukan penanganan.
Gangguan kesehatan mental tinggi pada populasi ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini. Bahkan di Lampung, 25 persen wanita mengalami gangguan depresi setelah melahirkan. Hal tersebut terungkap dalam data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023.
Kemudian, hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap, 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi pasca melahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Angka ini tertinggi ketiga di Asia. (Lihat 1)
Lantas apakah baby blues besar pengaruhnya? Bisa jadi, besar lagi berbahaya bagi keselamatan bayi ataupun bagi pola pengasuhan anak ke depannya. Keselamatan bayi bisa jadi tergadaikan di tangan ibu yang mengidap baby blues, pasalnya pernah ada ibu di Rembang yang tega membunuh bayi mungilnya. Baby blues yang tidak tuntas juga bisa menjadikan luka pengasuhan pada anak, lantaran ibu menganggap anak sebagai sumber masalah barunya. Sehingga anak sering menjadi pelampiasan kekesalan sepanjang pertumbuhannya.
Kondisi seperti ini tentu penting untuk diselesaikan, agar ibu baru benar-benar siap menjalankan perannya bukan sebatas berdasarkan ukuran harta dunia. Setidaknya dibutuhkan support system bagi ibu baru, sebagai berikut:
1. Jauh sebelum menjadi ibu, selayaknya ada penyiapan khusus bagi wanita yang sudah baligh tentang fiqih rumah tangga. Misalnya membahas mulai keutamaan menikah, hak dan kewajiban suami/istri, standar kebahagiaan keluarga, kemuliaan peran ibu dan pengatur rumah tangga, kesehatan fisik dan mental ibu, ilmu penyusuan dan pengasuhan anak, atau parenting yang terkait.
Tugas edukasi seperti ini akan membekali calon ibu dengan pemahaman dan iman yang cukup, sehingga ketika memutuskan akan menjalani peran baru, sudah siap pula dengan segala konsekuensinya. Dan akan efektif bila tugas ini diambil alih oleh negara, diselenggarakan secara masif, kalau bisa diadakan akademi khusus rumah tangga.
2. Kehadiran suami yang menyadari perannya sebagai penanggung nafkah sekaligus sebagai sahabat istri dalam rumah tangga. Kesadaran ini akan mengamankan peran ibu sebagai pelaksana menejemen rumah tangga tanpa harus ditambah beban ekonomi, yang secara syar'i diwajibkan bagi suami. Pun kesadaran hidup bersahabat akan membuat suami tidak akan bisa membiarkan sahabatnya (istri) berjibaku sendiri dengan urusan rumah ditambah urusan anak tanpa membantu sama sekali.
3. Dukungan terstruktur dari negara. Hal ini berkaitan dengan fasilitas yang dibutuhkan untuk menjalani peran sebagai ibu. Misalnya ketersediaan fasilitas kesehatan yang profesional dan lengkap, akses jalan di sekitar lokasi yang memudahkan kondisi kehamilan dan pasca melahirkan, tersedianya kebutuhan ibu dan bayi yang murah dan mudah didapatkan, arena bermain umum yang mengandung unsur edukasi untuk anak dll.
Support system ini tentunya memerlukan biaya besar, memerlukan kesadaran terkait iman. Maka sulit jika diharapkan ada sempurna di bawah atap sekuler yang jelas-jelas abai terhadap agama. Sekularisme bahkan tidak menyoal dari hubungan apa anak itu dihasilkan, sehingga wajar jika tidak begitu memberikan perhatian ketika anak tersebut sudah dilahirkan. Dan kapitalisme tetap pada prinsip "ada uang ada barang/jasa", sehingga berat kebutuhan ibu dan bayi terpenuhi semua.
Akan beda cerita jika Islam yang dipakai sebagai sumber pengaturan. Support system bagi terpenuhinya hajat hidup individu memang menjadi tugas dan amanah penguasa sebagai penggembala umat. Semuanya diupayakan ada dan tersedia dengan optimal untuk bisa diakses calon ibu, bahkan oleh semua orang yang menjadi warga negara.
Ketersambungan perasaan penguasa dengan Rabbnya menjadikannya tak main-main dalam mengurus urusan umat. Sebab kelak akan menjadi bagian dari aspek yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Oleh karena itu tidak salah jika support system yang penting bagi calon ibu ini direalisasikan dengan menghadirkan IsIam dan sistemnya yang utuh dalam kehidupan.[]
Referensi:
1. https://ameera.republika.co.id/berita/rvapge478/angka-baby-blues-indonesia-tertinggi-ketiga-di-asia-ada-apa
Sumber gambar: muslimah.or.id