Oleh: Dyah Putri Ratnasari
Terhitung Kamis, 25 Mei 2023 sedikitnya ada 23 perguruan tinggi yang dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Lukman sebagai Direktur Kelembagaan Diktiristek
mengatakan pencabutan ini merupakan tindak lanjut dari 52 pengaduan masyarakat.
"Sampai 25 Mei 2023, terdapat 52 pengaduan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi ringan, sedang, berat sampai pada pencabutan izin operasional. Terdapat 23 perguruan tinggi yang dicabut izin operasionalnya karena perguruan tinggi tersebut sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi, melaksanakan pembelajaran fiktif, melakukan praktik jual beli ijazah, melakukan penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), serta adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif,"
terang Lukman pada detikEdu, Jumat
(26/5/2023).
Lukman mengatakan, LLDikti akan membantu mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik yang terdampak pencabutan izin operasional perguruan tingginya agar dipindahkan ke perguruan tinggi lainnya. Ia menggarisbawahi, bantuan pemindahan ke perguruan tinggi lain dapat dilaksanakan selama ada bukti pembelajaran yang otentik.
Kasus pencabutan izin perguruan tinggi ini membuktikan bahwa praktik jual beli ijazah bukanlah sekadar kabar burung, dan menandakan kentalnya kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Ijazah yang seharusnya merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu, ternyata diperjualbelikan. Ada uang, ijazah langsung diserahkan. Persis seperti membeli tahu tempe di pasar.
Jika biasanya mahasiswa S 1 membutuhkan waktu sekitar empat tahun untuk menuntaskan masa studinya, dengan membeli ijazah, maka tidak perlu lagi bersusah payah. Tidak perlu melakukan perkuliahan selama berjam-jam, tidak perlu ujian, praktikum, membuat tugas dan laporan, menyusun skripsi, sidang, bergadang setiap malam. Tidak perlu pula melakukan KKN atau PKL. Semua proses melelahkan tersebut dilewati begitu saja, cukup menyetorkan segepok uang, selembar ijazah sudah dimiliki dan menjadi bekal mencari pekerjaan.
Adanya praktik jual beli ijazah ini tentu terjadi karena adanya permintaan dan penawaran. Ada individu-individu yang bermental instan sehingga enggan melakukan proses pendidikan, tetapi dunia kerja menuntut syarat adanya ijazah. Di sisi lain, ada penawaran dari perguruan tinggi swasta curang yang ingin meraup cuan besar dalam waktu singkat. Permintaan dan penawaran tersebut bertemu dan jadilah bisnis jual beli yang marak di tengah masyarakat karena dianggap sebagai jalan pintas.
Tumbuh suburnya perguruan tinggi swasta (PTS) berawal dari jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) yang tidak mampu menampung jumlah mahasiswa sehingga tugas ini diambil alih oleh PTS. Namun, karena orientasi materi dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta, abainya negara dalam pengawasan, ditambah permintaan pembuatan ijazah palsu besar peminat, maka terjadilah kapitalisasi pendidikan.
Kebobrokan ini terwujud di dalam sistem kapitalisme yang menuhankan materi. Keuntungan materi menjadi tujuan hidup manusia sehingga segala cara ditempuh demi memperolehnya. Tidak peduli lagi tentang halal atau haram. Kepribadian manusia jauh dari kata takwa karena agama tidak digunakan sebagai petunjuk.
Namun, kapitalisasi pendidikan tidak hanya berdampak pada jual beli ijazah, melainkan juga pada makin mahalnya biaya pendidikan, bahkan di perguruan tinggi negeri sekalipun. Selain itu, hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi juga diarahkan untuk kepentingan industri para kapitalis, bukan kemaslahatan umat. Dengan demikian, kapitalisasi pendidikan juga telah mencederai tujuan pendidikan kita saat ini dan mengubahnya menjadi materialistis. Tujuan kuliah sekadar untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses secara finansial, sedangkan tujuan luhur berupa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan insan yang bertakwa hanya berhenti sebatas jargon. Pada akhirnya, kapitalisasi pendidikan menghasilkan lulusan berupa generasi yang permisif.
Perguruan tinggi semacam ini hanya akan menciptakan generasi mandul, kian jauh dari suara-suara kritis. Di bawah kendali penguasa dan kebijakan yang kapitalistik, kampus kian kehilangan arah. Orientasi akademik berkutat pada berbagai indikator yang jauh dari permasalahan masyarakat. Sehingga tidak ada koneksi anatara mahasiswa dengan masyarakat. Kebijakan yang menggabungkan unsur akademik, bisnis dan pemerintah (academic, business, and government) yang kini bermutasi menjadi penta-helix membentuk prinsip baru penyelenggaraan pendidikan yang mengebiri buah pikir para intelektual.
Inilah wujud nyata liberalisasi pendidikan. Pemerintah berlepas dalam mengurusi kebutuhan rakyat terhadap pendidikan dengan mengalihkan perannya ke pihak swasta dan mendudukkan diri sekadar sebagai regulator. Berdalih mewujudkan pendidikan bertaraf internasional, pemerintah menyerahkan dunia pendidikan dalam lingkaran bisnis para korporasi.
Lantas bagaimana visi misi pendidikan dalam Islam?
Satu-satunya tujuan adanya pendidikan di dalam Islam adalah agar tercipta lulusan yang memiliki kepribadian Islam, yaitu generasi yang bertakwa, penjaga din yang terpercaya, menerapkan Islam ke tengah umat, mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta menjaga persatuan umat. Sehingga profil sarjana yang dihasilkan adalah mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim, fuqoha, saintis, politisi, yang akan memimpin umat untuk mengimplementasikan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Pendidikan tinggi dalam Khilafah pun akan terbebas dari praktik curang jual beli ijazah dan kuliah fiktif karena diselenggarakan secara gratis. Mahasiswa tidak perlu membayar satu dirham pun untuk bisa kuliah. Bahkan jaminan pendidikan gratis ini diberikan oleh negara dimulai dari sekolah dini sampai dia tua renta, sampai dia tidak mampu lagi untuk mengenyam pendidikan. Semua itu negara berikan secara cuma-cuma.
Tapi, dari mana dananya? Semua pembiayaan pendidikan dalam Khilafah, termasuk pendidikan tinggi, dibiayai dari baitulmal. Sumber daya alam yang melimpah dikelola langsung oleh negara dan hasilnya dikembalikan lagi untuk kesejahteraan umat. Pun juga semangat para aghniya yaitu individu rakyat yang kaya turut mendukung pembiayaan pendidikan dengan berlomba lomba memberikan wakaf. Hasilnya adalah output pendidikan tinggi yang cerdas bertakwa dan turut memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam.
Tags
Opini