Mimpi, Solusi Kemiskinan Ekstrim 0% Dalam Sistem Kapitalisme Sekuler




Oleh : Hasna Hanan

Persoalan kemiskinan di sistem kapitalisme-sekuler seakan terus-menerus menghantui sebuah negara dimanapun berada,dari negara adidaya sekelas Amerika sebagai bapaknya kapitalisme-sekuler hingga Indonesia yang menginginkan bisa menghapus tingkat kemiskinan ekstrim sampai 0%  pada tahun 2024 tahun depan.
Dilansir dari tirto.id presiden Jokowi berambisi mengatakan: 
“Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini sebetulnya sudah kita rencanakan di periode yang kedua ini agar nanti di 2024 itu sudah pada posisi 0 kemiskinan ekstrem kita. Kita akan kerja keras dan mati-matian,” kata Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023).

Pemerintah dalam menghitung angka kemiskinan ekstrim berdasarkan perhitungan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2021, dimana yang terkategori  miskin ekstrem adalah mereka dengan biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem atau setara dengan 1,9 dolar AS purchasing power parity (PPP). PPP ini ditentukan menggunakan absolute poverty measure yang konsisten antar negara dan antar waktu. Dengan kata lain, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739 per orang per hari atau Rp322.170 per orang per bulan.

Sementara itu menurut 
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, persentase penduduk miskin ekstrem sejak 2014 polanya menurun secara perlahan-perlahan hingga 3,7 persen pada 2019. Namun, angka ini naik hingga mencapai 4,0 persen pada 2021 di kala COVID-19 menerjang Indonesia.

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS)  pada Maret 2022 jumlah penduduk miskin sudah berada di 2,04 persen atau 5,59 juta jiwa, menurun dari data Maret 2021 yang sebesar 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa.

Meskipun ada pola yang menurun tapi ini masih  sangat besar jumlahnya dan untuk menjadikan 0% dihapuskan menurut pengamat Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai, target penurunan kemiskinan ekstrem tersebut terlalu ambisius. Sebab, hal itu akan sangat sulit diwujudkan dalam waktu singkat. “Targetnya terlalu ambisius ya. Perlu keajaiban untuk bisa mewujudkan nya,” kata Piter kepada Tirto.

Kemiskinan buah sistem kapitalisme sekuler 

Dengan strategi apapun yang diberlakukan tidak akan mampu menuntaskan atau menghapuskan tingkat kemiskinan menjadi 0%, menurut 
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kemiskinan ekstrem sulit dihapus dalam waktu dekat karena permasalahannya bersifat struktural, alias berskala besar dan mendasar yang sudah terjadi sejak lama. “Target pemerintah masih overshoot. Kemiskinan ekstrem sulit ditekan karena masalah kerak kemiskinan bersifat struktural seperti akses pendidikan dan kesehatan," ujarnya.

Namun ambisius pemerintah tetap merasa mampu untuk menurunkan dan menghapus tingkat kemiskinan dengan 
menerapkan tiga strategi kemiskinan ekstrem. Pertama adalah program yang sudah lama dijalankan, yaitu pengurangan beban masyarakat melalui bantuan sosial. Program kedua adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin ekstrem dalam program yang lebih berkelanjutan. Program kedua ini tidak memberikan bantuan konsumtif, tetapi modal usaha sehingga ada upaya kemandirian di penerimanya. Sedangkan program ketiga adalah mengurangi kantong kemiskinan.

Ambisius pemerintah ini ditanggapi oleh Profesor Arief Anshory Yusuf peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung 
Dia berpendapat pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem satu persen dalam satu tahun. Apalagi, target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasi dan dijangkau. Mereka, misalnya adalah kelompok terpinggirkan seperti perempuan, tinggal di daerah terpencil, dan memiliki disabilitas.

“Jadi tidak semudah yang dikira. Identifikasinya saja susah,” kata Arief.(www.voa.indonesia.com, 10-06-2023).

Selain itu ada faktor internal pemerintah sendiri yang  dalam menjalankan program- programnya masih carut- marut sehingga akan ditemui sejumlah persoalan yang  menghambat  diantaranya adalah terkait koordinasi di  dalam mensinkronkan program-program tersebut semisal  kesulitan mengidentifikasi penerima program yang kadang tidak jelas orangnya.Dan juga dalam pengolahan datanya, dimana database perlindungan sosial yang ada di Kementerian Sosial tidak terkoordinasi  baik dengan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang ada di Bappenas.

Sementara BPS mendata dalam laporannya ditemukan sejumlah penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan yang mengalami peningkatan, pada September 2022, diperkotaan meningkat sebanyak 0,16 juta orang dibanding Maret 2022 (dari 11,82 juta orang pada Maret 2022 menjadi 11,98 juta orang pada September 2022). Sementara itu, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat sebanyak 0,04 juta orang (dari 14,34 juta orang pada Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang pada September 2022) (bps.go.id, 16/1/2023). 

Inilah sistem kapitalisme sekuler yang  menjadikan kemiskinan secara struktural dan sistematis akan sulit dan menjadi mimpi untuk dihapuskan, dimana  kemiskinan ini sengaja  diciptakan oleh negara atau penguasa dalam lingkaran sistem,  memberikan jurang yang ekstrim dalam kesenjangan sosial kehidupan di masyarakat, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terpuruk, karena yang diterapkan adalah hukum rimba buatan manusia siapa yang kuat bertahan akan bisa hidup terus dan yang lemah akan menyerah kalah dengan tekanan hidup dan mati dalam ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidupnya, sistem yang membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang dalam bentuk privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya jutaan rakyat terhalang menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan alam tersebut, yang sejatinya adalah milik mereka dan untuk kesejahteraan mereka.

Islam menuntaskan problem Kemiskinan 

Sudah saatnya umat kembali pada syariat Islam yang berasal dari Allah SWT. Syariat Islam telah terbukti mampu menjamin keberkahan hidup manusia. Syariat Islam memiliki mekanisme yang khas dalam mengentaskan kemiskinan dalam sebuah negara. Dalam Islam tidak dinilai dari besarnya pengeluaran atau pendapatan. Tapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah secara perorangan. Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan tersebut secara layak. Baik itu kebutuhan asasiyah seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Yang pertama, secara individual Allah SWT memerintahkan setiap muslim yang mampu bekerja untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. "Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut..." (QS Al-Baqarah 233).

Rasullullah SAW juga bersabda, "Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain." (HR At-Thabarani).

Selain itu Islam juga  akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar orang orang yang miskin dengan menghidupkan peran dan tanggung jawab wali atau orang orang yang masuk dalam ahli waris si miskin. Maka, akan dicari siapa saja dari para wali dan ahli waris nya yang mampu serta telah tercukupi segala kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan nya, agar dia menanggung kebutuhan saudara nya yang miskin.
Jika tidak ditemukan wali dan para ahli waris nya yang mampu karena kondisi mereka juga miskin. Maka, kewajiban memenuhi nafkah orang yang miskin tadi beralih pada negara. Negaralah yang wajib memenuhi kebutuhan dasar mereka secara ma'ruf melalui pos dalam Baitul Mal.

Yang kedua, secara jama'i Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasullullah SAW bersabda, "Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan. Padahal ia tahu." (HR At-Thabarani dan Ak-Bazzar).

Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakkal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah SWT sebagai Zat pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT.

Ketiga, Allah SWT memerintahkan kepada penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Termasuk kebutuhan asasiyah mereka.

Rasullullah SAW bersabda, "Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Di Madinah, sebagai kepala negara Rasullullah saw menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman Beliau ada ahlus-shuffih. Mereka adalah para sahabat yang tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara. Saat menjadi khalifah atau amirul mukminin, Umar Bin Al-Khatab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir. Demi melindungi dan menjaga anak-anak.
Beliau juga membangun rumah repung (dar-ad-daqiq), bagi para musafir yang kehabisan bekal. Pada masa kekhilafahan Abbasiyyah, dibangun rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya. Yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.

Jika kemudian terjadi keuangan negara dalam kondisi minim. Maka kewajiban memenuhi kebutuhan dasar orang orang miskin akan beralih kepada seluruh kaum muslim melalui pengutipan dhoribah (pajak). Pengutipan dharibah ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya saja dalam islam. Dan pengutipan nya hanya sesuai kebutuhan dan tidak berlanjut.

Regulasi kepemilikan dalam Islam menetapkan bahwa harta yang merupakan kepemilikan umum seperti barang tambang dan fasilitas umum, tidak boleh dimiliki individu atau swasta. Kepemilikan umum wajib dikelola negara untuk dikembalikan pada kepentingan rakyat, dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara juga akan membuka lapangan kerja yang sangat luas bagi rakyat. Demikianlah syariah Islam ketika diterapkan secara kaffah dalam kehidupan Islam yang akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara individu per individu.
Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak