Menyoal Ekspor Pasir Laut, SDA Kian Surut




Oleh : Eti Fairuzita



Kebijakan Presiden Joko Widodo yang membolehkan ekspor pasir laut menuai polemik. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 PP tersebut menyatakan hasil sedimentasi yang dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Dalam ayat 2, hasil sedimentasi tersebut bisa digunakan untuk ekspor. “Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 9 ayat 2 huruf d sebagaimana dikutip dari JDIH Setneg. 

Sontak, hal tersebut mendapat banyak kritik. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi bahkan mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan izin ekspor pasir laut. Sebab, kata dia, izin ekspor pasir laut berpotensi merusak lingkungan. “Presiden Jokowi sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarkan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang mengerutkan wilayah daratan Indonesia,” kata Fahmy dalam keterangan tertulis, Rabu (31/5/2023).

Dibalik potensi keuntungan, ada harga yang harus dibayar yaitu kerusakan ekosistem. Para ahli dan akademisi mengingatkan hal ini. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin mengatakan bahwa PP tersebut akan beresiko mengurangi pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia. Sebab, sedimen pasir yang dikeruk dapat merusak ekosistem pantai dan menimbulkan abrasi. Menurut catatan WALHI, ada sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lainnya yang sudah tenggelam.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Ratulangi, Rignolda Djamaludin mengatakan ia tidak bisa atau sulit memahami kebijakan pemerintah tersebut. Kalau itu dikatakan menyehatkan, seperti apa? Justru yang terjadi keseimbangan laut itu akan hancur. Ia menjelaskan, ketika sedimen tersebut diangkat maka lingkungan di sekitar perairan tersebut kualitasnya akan menurun karena bahan-bahan alamiah yang dibutuhkan untuk keseimbangan ekosistem akan hilang terkuras.

Mindset kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan materi membuat pemerintah menjadi abai terhadap potensi kerugian ini. Alih-alih menghentikan, pemerintah justru melanjutkan tersebut. Mereka hanya memberikan janji akan menghentikan program tersebut jika menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan keberlangsungan hidup di wilayah perairan. Pemerintah juga mengklaim akan memastikan pasir yang dikuras tidak di pesisir pulau-pulau kecil, terutama yang terancam tenggelam. Sejak tahun 2003 lalu, kebijakan sudah dilarang melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003, larangan ekspor itu pun dipertegas pada 2007.

Ekspor pasir menyebabkan 'Pulau Nipah' dan 'Sebatik' sempat hilang karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Karena itu proyek sedimentasi yang diklaim sebagai penyehatan ekosistem, sejatinya hanya kebijakan memuluskan kepentingan ekonomi para kapital. Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam, yakni Khilafah dalam membuat kebijakan tentang pengelolaan lingkungan.
Khilafah, sebagai institusi yang menerapkan syariat secara kaffah, akan senantiasa menetapkan kebijakan berdasarkan nash-nash syariat.

Terkait pengelolaan lingkungan Allah Swt memerintahkan manusia agar memanfaatkan sesuai kebutuhan mereka.
Allah Swt Berfirman :"Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu yang menurut ukuran,"
"Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup. Dan kami menciptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya,"
(Qs. Al-Hijr : 19-20).

Selain itu, manusia juga dilarang berbuat kerusakan di muka bumi sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga. "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik,"(Qs. Al-Araf : 56).
Dari dalil-dalil inilah, Khilafah membuat kebijakan dalam mengatur pemanfaatan kekayaan lingkungan, termasuk pengelolaan sedimentasi laut.

Sedimentasi laut merupakan proses pengendapan yang terjadi di laut, dimana material-material dipindahkan oleh kekuatan air laut.
Sedimentasi ini bisa terjadi karena beberapa hal seperti perubahan arus laut yang mengendapkan material ke dasar laut atau pun karena adanya pasang surut air laut. Hal ini berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama.
Jika proses sedimentasi tidak menimbulkan kerusakan ekosistem dan tidak mengganggu aktivitas sosial ekonomi maka Khilafah akan membiarkan hal tersebut. 

Namun jika proses sedimentasi ternyata merusak ekosistem dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi warga semisal berasal dari penggerusan di garis pantai, Khilafah akan melakukan tindakan khusus yakni melakukan pengendalian proses abrasi dengan coastal engineering atau yang lain. 
Dan untuk menentukan apakah hasil sedimentasi menimbulkan kerusakan atau tidak, tentu diperlukan kajian khusus oleh para ahli dan akademisi, sebab dinamika wilayah pantai dan daerah pesisir dangkal sangat beragam.
 
Hasil dari kajian inilah yang akan digunakan Khilafah dalam membuat kebijakan. Peran Khilafah dalam mengelola sedimentasi laut di daerah pesisir, prinsip pengelolaan tidak didasarkan pada keuntungan ekonomi, sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini. Melainkan pengelolaan yang mengedepankan kelestarian lingkungan hidup dan kebutuhan manusia. Karena itulah Khilafah dikenal sangat melindungi manusia, kehidupan, dan alam semesta.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak