Oleh: U Fathan Q
Kotak pandora terkait kekerasan individu berstatus pelajar rupanya kian terbuka lebar. Pasca ramainya pemberitaan kasus pelajar D yang dianiaya oleh mahasiswa berinisial MD di awal Maret lalu, kasus kekerasan kian memprihatinkan.
Terbaru dikabarkan ada anak kelas 2 SD yang tewas dalam perawatan lantaran sebelumnya ia diberitakan dikeroyok oleh kakak kelasnya. Kondisi ini tentu memerlukan perhatian ekstra, pasalnya usia pelaku semakin belia, sementara level keparahan korban sampai meninggal dunia, dan parahnya aksi tersebut dilakukan di sekolah tempat mereka sama-sama belajar.
Persoalan nyawa tentu bukan masalah biasa. Persoalan nyawa merupakan hal utama yang penjagaannya memerlukan ketegasan sempurna, melibatkan semua elemen. Hal ini pernah terjadi di masa keemasan Islam. Bahkan Islam menempatkan urusan nyawa dan badan manusia ini dalam ranah sanksi khusus, Jinayat.
Sanksi yang ditetapkan pun bermacam-macam. Tergantung dari bentuk penghilangan nyawa/pembunuhan yang dilakukan. Apakah berupa pembunuhan disengaja, pembunuhan mirip disengaja, atau pembunuhan tidak disengaja. Hukuman paling berat bagi kasus pembunuhan adalah jika ahli waris dari yang dibunuh (tanpa haq) menghendaki qisas, maka qisas akan dilakukan oleh negara yang berwenang saja, bukan oleh yang lain.
Dan pelaksanaan qisas ini diviralkan, yakni dengan dipersaksikan di hadapan khalayak. Tujuannya agar proses hukuman ini bisa membuat orang yang melihat prosesi hukuman tidak akan melakukan perbuatan serupa, mencegah kriminalitas semisal.
Namun jika ahli warisnya memaafkan, maka ditetapkan adanya diyat atau denda. Kadar diyat paling berat adalah memberi 100 ekor unta dengan 40 di antaranya dalam kondisi bunting. Sedangkan untuk kasus melukai badan, maka sudah ditentukan diyat nya sebagaimana yang banyak termaktub dalam kitab-kitab fiqih.
Hanya saja, terkait sanksi ini akan diberikan jika pelaku sudah dalam kondisi baligh. Sedangkan dalam kondisi seperti di atas, yakni pelaku masih usia sekolah dasar, maka sanksi Jinayat belum bisa diberlakukan. Dan untuk mereka memang membutuhkan penanganan khusus, agar sadar akan kesalahannya, agar mau berkomitmen untuk lebih baik ke depannya.
Maka sesungguhnya yang harus menjadi fokus adalah mencegah bagaimana kejadian seperti di atas tidak menimpa anak-anak lainnya. Faktor-faktor yang menyebabkan anak sampai bisa berlaku demikian harus dihilangkan. Entah itu dipicu oleh faktor kelemahan iman dan ketakwaan individu yang lemah, ataukah karena pola pikir mereka hanya terinstall oleh pendidikan sekuler.
Ataukah karena mereka meniru keburukan dari media yang tayangannya menemani keseharian tumbuh kembang mereka? Ataukah karena imbas acuhnya sikap masyarakat? Ataukah karena memang kekerasan di kalangan usia belia belum diperhatikan serius? Semuanya perlu diselesaikan.
Namun penyelesaian tidak bisa dipasrahkan kepada level individu, keluarga per keluarga semata. Karena kasus-kasus serupa sudah ada di beberapa wilayah dengan level kesadisan yang beragam. Sehingga mau tidak mau upaya penyelesaian harus dilakukan secara masif, serentak, melibatkan semua pihak, dan berkelanjutan hingga benar-benar faktor penyebabnya terselesaikan.
Untuk persoalan ketakwaan individu misalnya, tidak bisa hanya dipasrahkan pada satu dua lembaga, melainkan harus melibatkan tim dakwah yang banyak. Melibatkan personel yang bisa melakukan penyadaran pentingnya IsIam, iman, dan penerapan ajarannya terutama yang berkaitan dengan pemeliharaan nyawa. Proses pembinaannya pun harus disertai dengan pengawalan pelaksanaan/praktik dan pengontrolan rutin agar benar-benar terintegrasi antara konsep fikriyah yang dimasukkan dan realitas perbuatan yang nampak.
Selanjutnya individu yang berhasil dikondisikan bertakwa haruslah diletakkan dalam circle masyarakat yang sama-sama saling peduli, sama-sama ndak ragu untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah dari segala bentuk kemungkaran.
Habitat masyarakat yang aware, peduli dan sigap jika menemukan indikasi kasus yang diduga bisa membahayakan ke depannya.
Dan tentunya kedua elemen di atas harus didukung oleh komponen negara. Yang memastikan nilai ketakwaan terjaga, yang menjamin atmosfer amar makruf masyarakat tetap menyala. Pun hanya negara yang bisa menekan pengaruh buruk dari tayangan atau melakukan sensor media dari unsur-unsur membahayakan.
Negara pula yang memiliki powes dan sumber daya untuk menggariskan kurikulum pro kebaikan (bukan yang bernuansa sekuler lagi liberal). Dan jikalau pun seluruh upaya sudah dilakukan, namun masih ada yang nekat melakukan kekerasan, maka negara juga yang memiliki wewenang untuk memberi hukuman.
Namun sayangnya kerjasama mengatasi kekerasan anak ini hanya bisa dilakukan jikalau memang negaranya menggunakan IsIam sebagai fondasi pelayanan pada umatnya. Jika hanya berharap pada kondisi sekuler saat ini, maka ibarat pungguk merindukan bulan. Sebab tabiat sekularisme yang dijadikan landasan ini memang abai terhadap soal pengaturan berbasis agama. []
Sumber: antaranews.com