Oleh : Eti Fairuzita
Bioetanol, BBM baru milik Pertamina Persero yang bakal diluncurkan bulan ini terus menjadi pembicaraan hangat semua kalangan.
Seperti diketahui beberapa waktu lalu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan bulan Juni 2023 ini akan launching produk baru bernama bioetanol.
"Untuk bioetanol ini adalah campuran antara Pertamax dengan etanol," ungkap Nicke dalam Media Briefing Capaian Kinerja 2022, Selasa, 6 Juni 2023.
Sementara dikutip dari Kementrian ESDM, pakar bioenergi ITB Prof. Tatang Hernas Soerawidjaja mengapresiasi langkah Presiden dan menyatakan campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia.
"Apabila kita mengambil contoh kesuksesan penggunaan substitusi impor diesel dengan program Biodiesel, maka kita juga dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar porsinya dibandingkan bahan bakar jenis diesel," kata Tatang.
Hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar US$2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit.
Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.
Bahwa penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.
Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.
Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.
Meskipun bioetanol memiliki potensi besar, masih terdapat tantangan dalam pengimplementasiannya sebagai campuran bensin utamanya rendahnya produksi bioetanol di Indonesia.
Laporan ITB juga menyarankan penyesuaian kebijakan untuk menghidupkan implementasi bioetanol di Indonesia, utamanya penetapan kebijakan harga, pajak, dan subsidi yang tepat sasaran, penerapan terbatas di Jawa Timur dan Jakarta sebagai tahap awal dan penyusunan Badan Layanan Umum (BLU) seperti BPDPKS untuk mengembangkan industri bioetanol.
Roadmap ITB mempersiapkan pengimplementasian bioetanol dengan target jangka pendek selama (3 tahun), menengah (5 tahun), dan panjang. Adapun target jangka-pendek dari roadmap dimulai dengan introduksi campuran 5% etanol atau E5 secara terbatas di provinsi DKI Jakarta dan Surabaya.
Produksi bioetanol diklaim dapat mengurangi impor dan lebih ramah lingkungan, namun mengingat harganya yang lebih mahal dari pertamax lantas kebijakan ini sebenarnya untuk siapa, jika rakyat jutru terbebani. Sebetulnya proyek bioetanol sebelumnya sudah pernah dilakukan, yakni bioetanol dengan sumber bijih jarak, akan tetapi pada faktanya pabrik pengolahan yang dibangun oleh pemerintah daerah dan pusat justru mangkrak, malah perusahaan pengolahan bijih jarak milik orang asing yang berkembang. Produk itu dikemas untuk ekspor ke Jepang dan Jerman. Dan juga minyak jarak di tingkat petani dihargai amat rendah sekitar Rp500/kg.
Seperti inilah kebijakan dari negara yang diatur sistem kapitalisme. Kebijakan akan dibuat bukan untuk meringankan beban rakyat, namun melihat peluang keuntungan bagi para pemilik modal (swasta).
Negeri ini kaya akan migas namun justru impor migas dan rakyat harus menikmati BBM dengan harga mahal. Kapitalisme telah membuat kekayaan alam legal dikuasai oleh swasta.
Ditambah adanya UU SDA membuat sebagian hasil ekpolrasi migas wajib diekspor ke luar negeri. Inilah yang membuat kekayaan migas tidak dapat dijangkau oleh publik. Dan juga solusi energi terbarukan yang diklaim sebagai solusi energi fosil, seperti bioetanol juga menjadi ladang kapitalisasi bagi swasta. Lagi-lagi, kebijakan penguasa membebani rakyat.
Sangat berbeda dengan sistem Khilafah ketika mengurus kebutuhan rakyat. Khilafah sebagai pemimpin tunggal kaum muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat.
Rasulullah saw Bersabda :"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,"(HR. al-Bukhari). Atas dasar inilah Islam mewajibkan negara membuat kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya, karena negara adalah sebagai raa'in. Sehingga negara Khilafah akan mengurus keperluan rakyatnya dengan sepenuh hati.
Kebijakan negara Khilafah didasari asas pelayanan publik bukan berorientasi pada untung dan rugi sebagaimana sistem kapitalisme saat ini. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri negara Khilafah akan berpijak pada aturan syariat Islam yang mengaturnya. Sebagaimana yang diketahui, migas dan batu bara termasuk SDA yang menjadi penopang utama energi. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya 'Nidham Iqtishadiy' mengategorikan SDA adalah harta kepemilikan umum, tidak boleh dimonopoli pihak tertentu dan hasilnya harus bisa dinikmati seluruh kaum muslimin.
Dalilnya adalah "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api,"(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Karena itu, syariat mewajibkan negara yang menjadi pengelola, bukan pihak lain seperti swasta sehingga proses eksplorasi, eksploitasi, hingga pengelolaan hasil tambang berada di bawah kendali Khilafah. Selanjutnya Khilafah akan mendistribusikan hasil pengelolaan tersebut kepada warga negaranya secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bisa berupa subsidi BBM, listrik, dan kebutuhan energi lainnya, sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan mudah, murah, bahkan gratis. Adapun secara tidak langsung, keuntungan pengelolaan SDA akan dimasukan ke dalam pos kepemilikan umum Baitul Maal untuk membiayai kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Maka ketika pemanfaatan migas sebagai sumber energi dinilai menimbulkan emisi CO2 yang tinggi, negara berkewajiban menggunakan teknologi yang paling baik dan canggih. Islam tidak melarang pengembangan energi alternatif seperti bioenergi untuk mendukung pemenuhan energi warga. Namun pengembangan ini tentu tidak boleh dalam rangka bisnis dan tidak boleh menimbulkan bahaya lebih besar bagi rakyat seperti kesulitan pangan yang menyebabkan importasi atau bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan.
Demikianlah Khilafah mengatur dan mengelola kebutuhan energi untuk warga negara. Negara Khilafah bukan menjadi mesin regulator kapitalisme sebagaimana yang terjadi saat ini. Namun berdiri kokoh sebagai negara mandiri yang memiliki kedaulatan penuh dalam urusan negara dan rakyatnya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini