Oleh : Eti Fairuzita
Kejaksaan Agung Indonesia telah menetapkan tiga perusahaan kelapa sawit sebagai tersangka dalam penyelidikan korupsi, atas dugaan pelanggaran dalam memperoleh izin ekspor pada saat pengiriman dibatasi.
Penyelidikan dilakukan setelah Mahkamah Agung bulan lalu menguatkan pengadilan yang lebih rendah untuk memenjarakan para eksekutif di perusahaan-perusahaan tersebut karena memanipulasi dokumen atau mengirim data-data palsu untuk mendapatkan izin ekspor.
Indonesia, yang menyumbang sekitar 60 persen dari pasokan minyak sawit dunia, memberlakukan langkah-langkah pengetatan ekspor tahun lalu, termasuk larangan pengiriman selama tiga minggu, untuk mencoba mengamankan pasokan domestik guna mengendalikan harga minyak goreng lokal yang melonjak.
Jaksa mengatakan tindakan para eksekutif itu atas nama perusahaan-perusahaan mereka, yakni Wilmar Group WLIL, SI yang berkantor pusat di Singapura serta Grup Musim Mas dan Grup Permata Hijau yang berbasis di Medan.
Penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut, menurut jaksa, adalah bagian dari usaha memulihkan kerugian negara. "Ketiga perusahaan harus bertanggung jawab," kata Ketut Sumedana, Juru Bicara Kejaksaan Agung, dalam keterangan tertulis, Kamis.
Grup Musim Mas, Jumat (16/6) mengatakan menghormati proses hukum dan sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berwenang.
Wilmar Group mengatakan tidak ada tuntutan resmi yang diajukan dan perusahaan telah mencari kejelasan tentang masalah tersebut. Permata Hijau tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Seorang pejabat senior kementerian perdagangan juga telah dipenjara dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan. Bulan lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mendenda tujuh perusahaan minyak goreng karena membatasi penjualan selama periode kelangkaan minyak goreng.
Kasus korupsi minyak goreng sudah terjadi sejak lama, namun penetapan tersangka baru diumumkan belum lama ini bahkan saat terkuak kasus ini ternyata melibatkan perusahaan besar dan sejumlah pejabat. Fakta tersebut tentu menjadi bukti kesekian kalinya betapa bobroknya pejabat dan jahatnya penguasaan oligarki dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini.
Kasus korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis, tidak akan pernah bisa dihentikan kecuali dengan sistem pemerintahan yang asasnya shahih yakni sistem Khilafah. Sistem Khilafah berdiri di atas akidah Islam dan menjadikan hukum syariat sebagai sumber kebijakan. Dari asas ini, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya 'Asy syaksiyah juz 2 halaman 95 memberikan tiga indikator kriteria penting yang harus dimiliki seorang pejabat yakni, al-quwwah (kekuatan), at-takwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra'iyyah (lembut terhadap rakyat) dan tidak menyakiti hati.
Al-quwwah (kekuatan) bermakna kuat secara aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Sehingga seorang pemimpin itu bisa melahirkan kebijakan yang benar sesuai syariat dan tidak tergesa-gesa, serta tidak emosional dalam memutuskan sebuah perkara. Kriteria at-taqwa (ketakwaan) akan menjadikan pemerintahan dalam Khilafah diisi oleh para pejabat yang amanah terhadap tugasnya, bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan Allah ta'ala kelak di hari kiamat. Adapun al-rifq ar-ra'iyyah berarti lemah lembut dan tidak menyakiti hati. Kriteria ini menjadikan para pejabat makin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dengan kriteria ini, pihak-pihak yang mengurus urusan umat adalah orang-orang yang terpercaya dan bekerja hanya untuk kepentingan Islam dan kaum muslim.
Meski sistem dan para pejabatnya disuasanakan baik sesuai dengan porsnya, namun Islam tidak menafikan adanya kemungkinan oknum yang masih bisa melanggar aturan. Karenanya, Islam akan membentuk dewan keuangan untuk mengawasi jumlah harta para pejabat Khilafah agar jumlahnya sesuai dengan yang seharusnya. Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Secara teknis, BPK Khilafah akan melakukan pembuktian terbalik untuk menyelidiki pejabat yang diduga melakukan korupsi.
Pembuktian terbalik adalah mencatat harta kekayaan di awal dan di akhir masa jabatannya, bila ada kenaikan harta yang tidak wajar dan yang bersangkutan tidak dapat menjelaskan sumber harta tersebut, maka kelebihan harta itu dihukumi sebagai harta 'ghulul' yang akan dimasukkan ke dalam pos kepemilikan negara Baitul Maal dan pelakunya akan dikenai ta'zir oleh Khilafah. Cara inilah yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab semasa beliau menjadi Khalifah. Pembuktian terbalik ini tentu sangat efektif dan mekanismenya tidak berbelit sehingga kasus korupsi akan mudah terindentifikasi.
Selain itu korporasi dalam Khilafah tidak seperti korporasi dalam sistem kapitalisme saat ini yang mereka bisa saling bekerja sama dengan penguasa dan menguasai sumber daya alam. Korporasi dalam Khilafah merupakan pembantu Khilafah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Mereka tidak diperbolehkan untuk menguasai sumber daya alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.
Seandainya mereka berbuat kecurangan hingga merugikan negara seperti melakukan korupsi, monopoli, penimbunan, dan sejenisnya, maka
Khilafah akan menindak korporasi korupsi ini dengan memberikan sanksi ta-zir. Beginilah cara Khilafah dalam menumpas kecurangan baik di tingkat sistem pemerintahan, pejabat, dan korporasi. Alhasil, kehidupan masyarakat menjadi tentram dan sejahtera sehingga mereka bisa menikmati minyak goreng dengan harga terjangkau karena tidak ada lagi permainan monopoli, korporasi maupun oligarki.
Wallahu alam bish sawab
Tags
Opini