Oleh : Kai-Zen
Pembunuh Yang Menjadi Tersangka
Pria yang membunuh tujuh bayi hasil inses dengan anaknya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, telah ditetapkan sebagai tersangka.
R (57) mengaku melakukan perbuatan tersebut atas arahan guru spiritualnya.
Hal itu disampaikan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banyumas Kompol Agus Supriadi.
Polisi saat ini tengah mendalami peran guru spiritual R.
Selain itu, polisi juga mendalami motif R menghamili anak kandung, lalu membunuh bayi-bayi hasil insesnya.
Berdasarkan informasi awal yang diterima polisi, perbuatan yang dilakukan R tidak menutup kemungkinan terkait praktik perdukunan.
Agus menuturkan, R dikenal sebagai dukun pengobatan.
"Tersangka R ini sehari-hari sebagai dukun pengobatan. Aktivitas kesehariannya biasanya mancing di sungai," ujarnya, Senin (26/6/2023). (Tribunjateng.com 27 Juni 2023)
Menyoal Pergaulan Ayah-Anak Perempuan Hingga Pembunuhan Bayi
Tersangka R telah melakukan hubungan dengan anaknya sejak saksi korban E masih berusia 14 tahun. Beberapa media menuliskan sejak 2013 dan ada juga yang memberikan informasi sejak 2012. Pada intinya sejak sang anak berusia belia.
Saksi korban E merupakan anak pertama dari istri ketiga pelaku. Bahkan ibu kandung korban mengetahui aksi bejat tersebut namun tidak berdaya lantaran diancam akan dibunuh jika melaporkan kejahatannya. Meskipun Tersangka R memberikan Alibi bahwa perbuatan tersebut atas perintah guru spiritualnya. Hal ini tetap tidak membenarkan aksinya sebagai seorang ayah yang seharusnya melindungi kehormatan putrinya.
Dalam hukum pidana yang diadopsi oleh Indonesia pelecehan seksual terhadap anak adalah hal yang tidak dibenarkan. Secara khusus Indonesia mememiliki undang-undang tersendiri mengenai perlindungan terhadap anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak ini diatur bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Lima belas tahun mendekam di balik jeruji besi menurut penulis tak sebanding dengan apa yang dialami oleh korban. Mengingat peristiwa ini dapat membawa pengaruh yang sangat besar bagi si korban, dimulai dari gangguan fisik hingga gangguan psikologis yang akan dideritanya seumur hidup. Pendapat para ahli kesehatan didukung dengan hasil penelitian menyebutkan bahwa pelecehan seksual terhadap anak akan mengganggu proses tumbuh dan berkembangnya anak tersebut.
Dampak buruk psikologis yang dapat dideritanya antara lain dapat berupa depresi, trauma pasca kejadian, paranoid akan hal-hal tertentu seperti pergi ke kamar mandi atau bertemu orang-orang. Selebihnya, hal ini bisa menurunkan performa belajar, depresi, dan rendah diri. Apabila trauma psikis ini tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan tiga kemungkinan efek jangka panjang.
1. Korban bisa saja memandang hal ini sebagai sebuah keterlanjuran yang akhirnya mendorongnya terjun ke dalam pergaulan bebas. Apalagi saksi korban E bahkan pernah diusir oleh warga dan sempat berpindah-pindah kontrakan akibat diketahui hubungan gelapnya dengan tersangka R. Kita akan sulit membayangkan beratnya hidup tanpa kepercayaan dari masyarakat.
2. Mendorong korban melakukan suatu pembalasan dendam terhadap pelaku dan menumbuhkan perilaku menyimpang didalam dirinya.
3. Hal yang lebih parah adalah pembalasan dendam yang dilakukan di masa mendatang yang dilakukan oleh korban dengan melakukan hal yang sama kepada orang lain atau singkatnya kelak ia menjadi seorang pedofil. Menurut penelitian beberapa pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur ternyata pernah mengalami hal serupa ketika masih kanak-kanak.
Pelecehan seksual terhadap anak berdampak besar bagi kehidupan para korban dikemudian hari, pun terhadap nasib bangsa ini. Pada dasarnya, mereka yang merupakan korban ini adalah generasi penerus bangsa. Saksi Korban E jika tanpa adanya pelecehan yang Ia alami bisa jadi di usia nya sekarang menjadi seorang penggerak perekonomian yang berdampak bagi baik bagi masyarakat. Sebab apa? Kesehatan mental yang dimiliki mampu menghasilkan kejernihan berfikir sehingga dari itu ilmunya dapat bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.
Namun, nasi telah menjadi bubur saksi korban E bahkan sempat trauma cukup berat sehingga memberikan keterangan yang berubah-ubah pada polisi. Tidak bisa dipungkiri beban psikologis yang dialami saksi korban E cukup memilukan, apalagi setelah kasus hubungan inses dengan tersangka R viral di berbagai media elektronik.
Padahal di tahun 2012 atau 2013 Ia merupakan generasi baru yang seyogyanya disiapkan untuk membangun dan menjadi pemegang masa depan bangsa ini.
Perlindungan terhadap anak dan haknya harus dipahami secara serius karena berkaitan dengan kesejahteraan anak. Pelaku telah merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman.
Melindungi anak berarti melindungi potensi sumber daya dalam membangun Indonesia yang lebih maju, dan menghancurkan anak dengan pelecehan seksual di masa pertumbuhannya berarti mengahancurkan masa depan Bangsa.
Diketahui dari berbagai media bahwa yang semakin menggegerkan publik adalah bayi-bayi yang ditemukan kerangkanya ini adalah hasil hubungan sedarah antara ayah dan anak perempuan nya yang terjadi sejak 2012/2013. Indonesia pun telah memiliki regulasi tersendiri terkait hubungan sedarah. Pernikahan sedarah atau incest pada dasarnya adalah pernikahan yang dilarang dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (jika yang menikah beragama Islam). dalam UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata, perkawinan itu dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, dan berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
Di dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan sedarah ini dipertegas dalam Pasal 8 UU Perkawinan. Dalam konteks ini, untuk mencegah terjadinya perkawinan incest, pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan-perkawinan di atas dan Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari pasal di atas.
Terlebih dalam kasus Tersangka R dan saksi korban E tidak terjadi pernikahan, maka hal ini lebih terarah ke pelanggaran secara pidana yakni pelecehan seksual yang tidak beradab. Apalagi dari tindakan kriminal tersebut mendorong terjadinya kejahatan lainnya berupa pembunuhan terhadap 7 bayi yang dibunuh sesaat setelah dilahirkan oleh saksi korban E dengan cara membekap mulut bayi kemudian membungkusnya dengan kain dan menguburkannya di kebun dengan kedalaman kurang lebih 50cm.
Pembunuhan terhadap bayi sebenarnya juga telah diatur secara khusus baik dalam KUHP maupun dalam Undang-undang (UU) nomor 1 tahun 2023 meskipun UU tersebut akan berlaku 3 tahun kemudian atau pada tahun 2026 kelak. Namun demikian hal ini tidak mendapat titik temu dalam kasus pembunuhan terhadap 7 bayi yang dilakukan oleh tersangka R di mana dalam perbuatan pidana tersebut bahkan ibu kandung dari saksi korban E sempat membantu langsung persalinan dan mengetahui jika bayi-bayi tersebut dikuburkan hidup-hidup. Sebab dalam regulasi ini syarat terpenting dari pembunuhan tersebut adalah pembunuhan anak itu dilakukan oleh ibunya dan harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui kelahiran anak itu. Biasanya anak yang didapat karena berzina atau hubungan kelamin yang tidak sah. Apabila syarat ini tidak ada, perbuatan ini dikenakan sebagai pembunuhan biasa.
Sementara jika pembunuhan tersangka E terhadap ketujuh bayinya digolongkan sebagai pembunuhan biasa maka konsekuensinya tidak jauh dari KUHP pasal 338 dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara. Atau dijatuhi pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 340 dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Hubungan Ayah dan Anak Perempuan dalam Islam
Dikaruniai anak baik laki-laki maupun perempuan pada hakikatnya menimbulkan tanggungjawab yang sama bagi orangtua yakni mendidik dan membimbingnya agar ia menjadi insan yang bertaqwa terhadap Allah SWT, memiliki kestabilan emosi, kepribadiannya tangguh dan islami, berakhlak mulia, dan bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya.
Terkait hubungannya dengan anak perempuan, maka ada beberapa hal istimewa yang dijelaskan dalam hadis-hadis Rasulullah. Ketika Nabi berada di rumah atau di depan umum, dan putrinya ini menghampiri atau memasuki ruangannya, Nabi segera berdiri menyambut dan memperlihatkan secara terbuka kelembutan terhadapnya.
Baik orang Madinah maupun orang Makkah terkejut melihat perilaku Nabi terhadap anak perempuan karena dalam kebiasaan mereka tidak mendapat perlakuan semacam itu. Nabi Muhammad biasa mencium putrinya, lalu mendudukkannya di sisinya, tanpa memedulikan komentar orang lain. Perlindungan terhadap anak perempuan juga telah diteladankan oleh Baginda Rasulullah yang mana ketika tersiar kabar bahwa Ali bin Abi Thalib hendak meminang putri abu Jahal. Maka Nabi Muhammad SAW sebagai ayah dari Fatimah RA dengan tegas menolak rencana tersebut sebagaimana dilansir dari HR Bukhari dan Muslim.
Sehingga sudah sepatutnya Ayah menjadi orang terdepan yang melindungi anak perempuannya. Bukan justru sebaliknya dengan melecehkannya sampai mengandung dan bahkan membunuh bayi hasil hubungan tersebut. Sungguh keji nan biadab.
Kejahatan baik berupa pelecehan seksual terhadap perempuan atau anak perempuan kian bervariasi. Indonesia sebagai negeri dengan penduduk mayoritas beragama Islam sekalipun nyatanya selalu kecolongan, tidak berdaya melindungi muslimah yang tinggal di dalamnya. Berbagai aturan telah dibentuk, konon regulasi pun terus dirumuskan dan berkembang menyesuaikan zaman. Namun kesemuanya belum mampu menekan angka kriminalitas. Kejadian serupa masih terus terjadi. Pembunuhan terhadap bayi kini sudah sangat sering terdengar. Kejahatan semacam ini sudah semakin dekat dengan kita sebagaimana nadi. Tindakan kriminal semakin ngeri. Ketika pembunuhan terhadap bayi terus terjadi, di mana letak hukum pidana berdiri? Sementara kejadian yang sama terus terjadi berulang kali.
Sementara dalam Islam pembunuhan dilarang sama sekali. Membunuh satu jiwa sudah dianggap menghilangkan sebuah generasi. Untuk itu hukuman paling ampuh bagi pembunuh adalah hukuman mati. Kecuali ada maaf dari sang wali Korban, maka pembunuh cukup dibebankan denda untuk menggantikan hukumannya. Ini setimpal atas nyawa yang hilang dan rasa kehilangan yang dialami keluarga korban. Namun, hari ini itu tak pernah terjadi. Bahkan pembunuhan terus berulang dengan berbagai versi.
Tindak kejahatan yang berulang mengindikasikan adanya salah tata kelola hukum. Bukan hanya semata karena penegaknya yang tak amanah, melainkan lebih mendasar pada tiap pasal yang dirumuskan oleh manusia yang akalnya bersifat terbatas. Hal itu memungkinkan adanya pro-kontra pada regulasi yang telah terbentuk bahkan bisa pula menghasilkan kecacatan dalam produk hukum. Sehingga dari produk hukum yang dibuat oleh manusia tentunya akan sulit diperoleh keadilan dan kepastian.
Sementara dari mana keadilan dan kepastian bisa didapatkan jika bukan dari produk hukum buatan manusia? Maka keadilan yang pasti dapat diperoleh mana kala menggunakan regulasi yang bukan hanya rigid namun tak bisa diubah sesuka manusia yakni dari Yang Azali Yang Maha Pengatur Al Khaliq wal Mudabbir Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang telah menurunkan aturan Islam kepada Nabi Agung Muhammad SAW sebagai penyempurna terhadap agama-agama sebelumnya. Sehingga segala hukum yang Allah atur untuk manusia adalah parameter keadilan bagi semesta Alam.
Wallahu A'lam Bish Showwab
Tags
Opini