Oleh: Siti Aminah
Aktifivis Muslimah
Presiden Joko Widodo ingin mengentaskan kemiskinan ekstrem saat mengakhiri masa jabatannya tahun depan. Namun, pakar berpendapat target itu terlampau ambisius sehingga hampir tidak mungkin tercapai.
Optimisme Presiden Jokowi terkait penghapusan kemiskinan ekstrem bertabrakan dengan realitas, karena angka kemelaratan di tanah air masih cukup tinggi tahun ini. Pendapat itu disampaikan peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Arief Anshory Yusuf, “Kalau nol, beneran nol, ya berat lah. Kalau praktik mendekati nol, mungkin saja. Tetapi enggak juga, sekarang kan sudah 2023, angkanya masih di atas satu,” kata Arief (VoaIndonesia.com ,10/06/2023).
Prof Arief berpendapat pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem satu persen dalam satu tahun. Apalagi, target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasi dan dijangkau. Mereka, misalnya adalah kelompok terpinggirkan seperti perempuan, tinggal di daerah terpencil, dan memiliki disabilitas.
Dalam penjelasan pemerintah, kemiskinan ekstrem adalah kondisi dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi. Dalam angka, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) hanya mencapai $1,9.
PPP ini ditetapkan dengan menggunakan aturan kemiskinan absolut atau absolute poverty measure yang konsisten antar negara dan antar waktu. Dalam hitungan rupiah, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya ada di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan. Berdasarkan hitungan itu, satu keluarga yang memiliki dua anak, dinilai miskin ekstrem jika pengeluarannya setara atau di bawah Rp1,28 juta per bulan.
Target waktu penghapusan kemiskinan ekstrem hanya dalam waktu setahun sangatlah ambisius. Apalagi jika melihat faktor penyebab terjadinya kemiskinan ini, termasuk dalam jenis kemiskinan struktural. Tidak akan mampu hanya dengan beragam program, namun perubahan harus menyentuh akar persoalan, karena sistem ekonomi kapitalis memang meniscayakan terwujudnya kemiskinan .
Kemiskinan struktural disebabkan penguasa yang hanya sebagai regulator, tidak turun langsung untuk menyelesaikan masalah kemiskinan saat ini, keterpihakan penguasa hanya kepada pemilik modal sehingga tidak ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kekayaan alam yang melimpah yang seharusnya dikelola dan di manfaatkan untuk kepentingan rakyat malah di serahkan pada pemilik modal asing, hal inilah penyebab utama terjadinya kesenjangan sosial dan kemiskinan ekstrim di negeri . Terjadinya pengabaian rakyat kecil dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan , membuat rakyat semakin terpuruk pada kemiskinan. Salah satu contoh adalah kenaikan harga BBM disaat rakyat baru keluar pasca covid , pemecatan buruh di masa pandemi, usaha kecil yang gulung tikar, kenaikan dengan alasan ada kenaikan harga minyak mentah, padahal Indonesia kaya dengan minyak mentah.
Keadilan adalah pilar kehidupan yang amat berharga yang menjadi dambaan umat manusia. Termasuk keadilan dalam bidang ekonomi. Kehidupan ekonomi yang berkeadilan menjauhkan manusia dari kepemilikan harta secara zalim. Ekonomi yang adil tidak berpihak hanya pada kelompok tertentu, seraya mengabaikan kaum lemah. Sejatinya demokrasi kapital gagal menyejahterakan umat manusia. Kapitalisme pun menciptakan jurang ekonomi yang tinggi.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, setiap Muslim, termasuk penguasanya, menjalankan aturan Islam didorong oleh ketakwaan kepada Allah SWT, bukan semata karena motif ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan. Nabi saw. bersabda: "Pedagang yang senantiasa jujur dan amanah (akan dibangkitkan pada Hari Kiamat) bersama para nabi, shiddîqîn dan para syuhada" (HR at-Tirmidzi).
Para penguasa mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya. Demi menjaga kehati-hatian, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, sampai memperlakukan harta rakyat seperti harta anak yatim, yang tentu besar dosanya jika harta tersebut diambil secara zalim.
Islam mewajibkan negara untuk menghapuskan setiap peluang akumulasi kekayaan hanya pada elit tertentu. Sebagai kepala negara, Rasulullah saw., misalnya, pernah membagikan harta rampasan Perang Badar hanya kepada kaum Muhajirin; bukan kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja di antara mereka yang memang dhuafa. Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan perintah Allah SWT: "…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7)
Islam telah mengharamkan memakan harta orang lain secara zalim. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (zalim), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian" (TQS an-Nisa’ [4]: 29).
Ghashab, menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa, tanpa alasan yang benar. “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar, red.) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu untuk siwak).” (HR Ahmad).
Larangan ghashab ini berlaku umum, termasuk oleh penguasa. Dalam syariah Islam, negara diharamkan memungut harta, seperti berbagai pajak saat ini, tanpa keridhaan rakyat dan bertentangan dengan syariah Islam. Harta rakyat terlindungi oleh hukum-hukum Allah SWT. Negara hanya berhak memungut zakat dari kaum Muslim, jizyah dari warga non-Muslim, serta kharaj bagi warga Muslim ataupun ahludz-dzimmah yang tinggal di tanah kharajiyah saja.
Dalam Islam, pungutan pajak (dharîbah) hanya dipungut hanya ketika kas negara dalam keadaan krisis. Artinya, pajak bersifat temporer (sewaktu-waktu/tidak terus-menerus). Itu pun hanya diambil dari warga Muslim yang kaya saja (non-Muslim tidak dikenai pajak). Beda dengan pajak dalam sistem kapitalisme yang dipungut secara zalim dari semua warga negara, miskin dan kaya, bahkan dipungut dari beragam barang dan jasa, dan bersifat terus-menerus.
Pengetasan kemiskinan nol persen hanyalah sebuah mimpi di sistem demokrasi kapital, hanya penerapan Islam kafahlah yang akan mampu mengentaskan kemiskinan ekstrem, tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia. Wallahu a'lam bish showab.