Ketika Pasir Laut Jadi Tumbal, Siapa yang Diuntungkan?




Penulis : Eyi Ummu Saif



Baru-baru ini peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan dan pemanfaatan hasil sedimentasi berupa pasir laut menuai pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat. Pasalnya ada ketentuan baru didalamnya yaitu dibolehkannya bagi siapapun untuk membeli dan mengelola pasir laut baik untuk kepentingan dalam negeri ataupun Ekspor.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan izin ekspor pasir laut, dalam keterangan tertulis dia mengatakan "izin ekspor pasir laut berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang mengerutkan wilayah daratan Indonesia,” (www.tirto.id)

Sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan terbukti hanya memakai asas untung rugi sebagai dasar negara dalam membuat peraturan. Kondisi keuangan negara atau APBN yang buruk dikarenakan negara tidak mampu mengelola dengan baik bahkan terkesan hanya mengandalkan pajak dan hutang, berimbas kepada kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit memenuhi kebutuhan mendasar semisal pendidikan, kesehatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, kebutuhan pokok yang serba naik menambah sesak rakyat untuk mampu bertahan hidup sehari-harinya.

Indonesia yang dikenal dengan julukan Zamrud khatulistiwa karena memiliki tanah yang subur dan hijau nampaknya tidak serta merta mampu memakmurkan rakyat dalam memenuhi setiap kebutuhan, padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, namun SDA (Sumber Daya Alam) yang dimiliki Indonesia tidak dikelola secara mandiri oleh pemerintah, negara justru memberikan perizinan kepada asing dan aseng untuk mengelolanya, dampaknya rakyat tidak bisa menikmati hasil dari SDA yang sejatinya adalah milik rakyat, bahkan pasir laut pun turut jadi tumbal untuk menambah kas negara.

Rasulullah saw. bersabda; “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Oleh karena itu Kekayaan alam yang memiliki kemanfaatan luas dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat seperti; garam, tambang batu bara, gas, sungai, laut hingga pasir laut, sejatinya adalah harta kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemaslahatan rakyat.

Dalam Islam terdapat 3 pos yang menjadi sumber pemasukan negara, yaitu pos kepemilikan umum, pos ini berasal dari harta sumber daya alam (SDA) yang dikelola secara mandiri oleh negara seperti pertambangan, minyak bumi, emas, dan perak, lalu ada kepemilikan negara yang berasal dari harta milik negara seperti harta rampasan perang, pajak tanah nonmuslim, bea cukai atau usyur, harta milik umum yang dilindungi oleh negara, harta haram milik penjabat atau pegawai negara, harta yang terpendam atau harta karun, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad. Selanjutnya yang terakhir pos zakat, pos ini berasal dari zakat umat muslim baik berupa zakat fitrah, zakat mal, infak, dan juga wakaf.

Oleh karena itu pasir laut adalah salah satu sumber daya alam yang diperlukan oleh umat, negara tidak mempunyai hak untuk memilikinya karena hasilnya harus dikembalikan kepada umat tidak boleh dimiliki oleh individu atau sekelompok orang saja, selain itu hal tersebut juga akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan merugikan masyarakat.

Islam adalah agama yang membawa rahmat ke seluruh alam sebagai sumber hukum untuk manusia. Ketika Islam di terapkan secara kaffah dalam kehidupan maka Islam akan menjadi solusi tuntas seluruh problematika yang dialami manusia karena sumber hukum yang diterapkan berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah yang diciptakan oleh sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT melalui insan mulia suri tauladan umat yakni Nabi Muhammad SAW.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Ma’idah 5: 50)

Wallahua’lam bisshawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak