Kerukunan Beragama dan Toleransi, Dalam Demokrasi Hanya Ilusi




Oleh : Hasna Hanan

Terus terjadi konflik antar umat beragama di negri ini, katanya selalu mengedepankan toleransi faktanya jauh panggang dari api. Baru-baru ini terusik kembali kerukunan beragama, dimana  Setara Institute meminta aturan terkait perizinan pembangunan rumah ibadah diubah, pascakasus pembubaran ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD), Bandar Lampung pada Minggu (19/2/2023).
" Dengan revisi PBM [Peraturan Bersama Menteri] 2 menteri, khususnya dengan mencabut syarat administratif dukungan 90 orang jemaat dan 60 orang di luar jemaat [untuk bangun rumah ibadah]," tulis SETARA.
Mereka  juga mendesak perizinan pendirian rumah ibadah jadi kewenangan pemerintah pusat, dengan mekanisme yang dipermudah dan disederhanakan di Kementerian Agama.(Bisnis.com, JAKARTA,22-2-2023).

Tuntutan pihak lembaga ini menjadi rentetan kejadian yang tidak pernah selesai dalam menyelesaikan persoalan tempat ibadah, sementara keberadaan tempat ibadah kaum muslimin pun juga pernah mengalami pengrusakan sebagaimana yang terjadi di  Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) pada Rabu malam (29/1/2020). Tak khayal aksi tersebut memicu reaksi keras umat Islam tak hanya yang berada di Sulawesi Utara, tapi juga umat Islam di Poso Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi. Kejadian ini diunggah dalam video   youtube  melalui media (indopolitika.com) yang menggambarkan  membanjirnya ribuan umat muslim mendatangi Masjid Al Hidayah tersebut. Adapun sebab terjadinya pengrusakan Mushalla tersebut pemicunya juga terkait surat perizinan dan persyaratan resmi pendirian tempat ibadah (Mushalla). 

Dari peristiwa- peristiwa diatas menunjukkan ilusi demokrasi mampu membangun kerukunan antar umat beragama sebaliknya  konflik antar umat beragama tidak pernah bisa terselesaikan karena lemahnya pembangunan kerukunan umat beragama di negeri ini, slogan-slogan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan mencintai keberagaman tak ubahnya hanya slogan pemanis semata. Karena pada praktiknya berbagai konflik kerap bermunculan di antara umat yang berbeda agama.

Sekulerisme Biang sulitnya kerukunan Beragama

Dalam sistem sekulerisme-demokrasi tidak akan pernah mewujudkan kerukunan antar umat beragama, selalu saja terjadi tuntutan demi tuntutan terkait perizinan tempat ibadah dimana diketahui Indonesia mempunyai catatan panjang soal kebebasan mendirikan dan memiliki rumah ibadah, khususnya bagi umat agama yang minoritas. Imparsial mencatat ada 31 kasus pelanggaran terhadap hak KKB di Indonesia dalam setahun terakhir. Sebanyak 11 di antaranya merupakan perusakan terhadap rumah ibadah.

Dipicu juga hingga sampai saat ini Peraturan Bersama Dua Menteri -dikenal dengan SKB Dua Menteri- yang dinilai menjadi pangkal masalah izin pendirian rumah ibadah, masih dipertahankan.
"Aturan-aturan diskriminatif tersebut menjadi pemicu bagi terjadinya penolakan dan pembatasan hak seluruh agama (khususnya kelompok minoritas) untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah, seperti yang diutarakan oleh Presiden," kata Halili Hasan.(www.bbc.com, 19-januari-2023)

Sedangkan adanya FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) belum cukup untuk mewakili keberadaan kaum minoritas agama dalam memenuhi hak-haknya dalam mengatur pendirian tempat ibadah mereka selama ini, justru menurut mereka  FKUB selama ini malah mempersulit karena FKUB juga memberikan rekomendasi kepada kepala daerah perihal pendirian rumah ibadah.

Namun, dalam praktiknya, satu orang saja menyampaikan penolakan adanya pendirian rumah ibadah, maka itu berlaku secara keseluruhan, sehingga yang dibutuhkan mereka adalah aturan yang memberikan kemudahan dalam pendirian tempat ibadah tersebut.

Oleh karena desakan  tuntutan keresahan dan sulitnya mendirikan rumah ibadah itu, maka Kementerian Agama menargetkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama yang di dalamnya bakal mempermudah izin pendirian rumah ibadah terbit tahun ini.

Juru bicara Kemenag, Anna Hasbie, mengatakan beberapa hal yang berubah di aturan itu yakni pendirian rumah ibadah hanya cukup dengan satu rekomendasi dari kepala kantor Kemenag di daerah setempat.(7-juni-2023, www.bbc.com)

Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) setuju dengan perubahan tersebut.
Akan tetapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar aturan anyar ini didiskusikan terlebih dahulu dengan majelis-majelis agama agar tidak memicu konflik di lapangan.

Islam solusi haqiqi kerukunan beragama dan toleransi

Islam sebagai agama yang Syamil dan Kamil memberikan pengaturan yang akan menjadikan kerukunan antar umat beragama dan toleransi indah dalam suasana keimanan dibawah ikatan hukum-hukum Islam yang akan menjamin mereka warga non muslim tetap bisa menjalankan ibadahnya dan mendirikan tempat ibadahnya sesuai dengan kesepakatan yang dikehendaki mereka kaum minoritas dengan negara, tanpa adanya diskriminasi, dan perbedaan perlakuan dalam pemenuhan kebutuhan, kesejahteraan,dan jaminan keamanan dalam beribadah,  asalkan tidak keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan oleh negara Islam  kepada mereka.

Adalah Rasulullah ﷺ meneladankan sikap toleransi terhadap kaum Nasrani bahkan Yahudi yang telah menjadi dzimmi dengan memberikan jaminan khusus. Yakni memperoleh perlindungan Islam bagi keluarga, harta benda, cara makan, cara pernikahan bahkan cara peribadatan mereka. Sangat simetris dengan hadits beliau, "Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (non muslim yang tidak memerangi umat muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR. Imam Thabrani).

Maka didalam Islam tidak akan pernah ditemui istilah toleransi beragama karena Islam telah menempatkan semua pada porsinya sesuai aturan sang Kholiq dalam menempatkan kedudukan muslim sebagai Khoiru Ummah dan non muslim yang mereka disebut sebagai kafir dzimmi yang hidup berdampingan  dengan kaum muslim tanpa adanya perselisihan ataupun konflik terkait tempat ibadah dan kalaupun ada perselisihan  akan diselesaikan dengan adil sesuai hukum Islam, tidak sebagaimana hari ini dimana muncul sikap intoleransi yang itu hanya disematkan pada kaum muslimin ketika terjadi pengrusakan tempat ibadah oleh non muslim maupun izin pendiriannya, justru  disikapi biasa-biasa saja oleh pemerintah, padahal dengan adanya perlakuan yang berbeda akan  dapat berpotensi memunculkan sebuah sekat dan pertikaian bahkan permusuhan antara umat Islam dan pemeluk agama lainnya.

Inilah sistem sekuler demokrasi yang menjamin kebebasan beragama tidak berpihak pada kaum muslimin, sebagai contoh tuduhan miring kerap pemerintah arahkan terhadap individu atau kelompok muslim yang sedang berdakwah menyuarakan penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. maka stigma radikal, Intoleran, ekstrimis, anti Pancasila serta segudang stempel negatif lainnya serta merta akan disematkan kepada mereka hal ini menjadikan rentan menimbulkan konflik dan perpecahan antar umat beragama. Hubungan yang terjalin antara masyarakat dipenuhi oleh ikatan-ikatan yang lemah dan hanya didasari suatu kepentingan sesaat semata yang kerap menimbulkan berbagai polemik dan ketidakadilan. 

Sejarah juga mencatat  bagaimana toleransi yang ditunjukan oleh Islam pada masa Kekhilafahan Utsmani.  Hal ini sampai diakui kebenarannya oleh seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold yang berkata, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe(Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).” Ia pun mencatat bahwa keadilan Khalifah Islam sampai membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khalifah Islam dibanding dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen. (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 1).

Sungguh hanya kembali kepada kehidupan Islamlah yang akan menyelesaikan munculnya problem kerukunan beragama dan apa itu toleransi beragama, bagaimana indahnya toleransi yang diajarkan oleh Islam untuk mengatur pluralitas atau keberagaman yang ada, tanpa adanya sikap diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Karena Islam Rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu A'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak