Oleh: Nabila Sinatrya
Eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA) terus dilakukan, baru-baru ini pemerintah membuka keran ekspor pasir laut.
Melansir dari cnbcindonesia.com (02/06/2023) Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Peraturan pemerintah (PP) ini menuai kritik, pasalnya hasil sedimentasi laut berupa pasir laut dimanfaatkan untuk diekspor keluar negeri. Hal ini tertuang dalam Pasal 9 Ayat (2) huruf D yang menyebutkan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Juru bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahyu Muryadi menyampaikan bahwa pengambilan dan pengelolaan terhadap sedimentasi itu segera dilakukan, karena mempengaruhi kesehatan ekosistem laut.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menyampaikan bahwa ekspor pasir laut berpotensi merusak lingkungan dan ekologi. Keuntungan yang diperoleh tak sebanding dengan kerusakan yang diakibatkan. Dampak lainnya menyengsarakan rakyat pesisir laut dan menenggelamkan pulau-pulau sekitar.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berharap keputusan membuka keran ekspor pasir laut ini dapat dibatalkan, karena kerugian lingkungan jauh lebih besar ditambah perubahan iklim yang sudah berdampak.
Kritik serupa dilontarkan Sekjen Koalisi Raykat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menurutnya dibalik alasan peraturan pemerintah ini untuk meningkatkan pendapatan negara, yang sebenarnya hanya akan merampok sumber daya laut.
Ekspor pasir laut meski dianggap ‘menguntungkan’ sesungguhnya merugikan ekosistem laut, yang pada akhirnya akan membahayakan kehidupan rakyat. Hal yang wajar terjadi dalam paradigma kapitalisme, cara pandang yang lebih mempertimbangkan untung dan rugi dibanding potensi kerugian. Pemerintah alih-alih menghentikan, malah memberi legalitas para kapital. Akibat dari ekspor pasir, Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang, karena pasir dikeruk dan dijual ke Singapura.
Klaim untuk penyehatan ekosistem dari sedimentasi hanyalah kebijakan untuk memuluskan ekonomi para pemilik modal. Sesungguhnya Indonesia memiliki sumber lain yang mampu memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ekspor pasir laut yaitu melalui pengelolaan SDA secara mandiri. Sayangnya saat ini SDA dikelola oleh asing.
Pasir laut termasuk sumber daya alam laut, sekalipun di dalamnya tidak ada barang tambang, namun berperan untuk keberlangsungan ekosistem laut dan Allah swt memerintahkan manusia untuk memanfaatkan sesuai kebutuhannya, Allah swt berfirman
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya,” (TQS Al-hijr ayat 19-20).
Menyikapi sedimentasi laut, maka negara haruslah melakukan pengkajian yang mendalam oleh para ahlinya. Jika sedimentasi itu tidak mengganggu kelangsungan hidup manusia dan sekitarnya, maka akan dibiarkan. Namun jika itu membawa kemudharatan, maka negara akan menentukan kebijakan sesuai hasil pengkajian.
Banyak negara membutuhkan pasir laut untuk kepentingan reklamasi, seperti Singapura. Dari sini jelas, ekspor pasir laut tidak dibolehkan dalam Islam karena bukan untuk kepentingan masyarakat dan berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan.
Tentu kebijakan ini hanya ada ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam institusi Khilafah, di mana yang menjadi tolok ukur membuat aturan sesuai dengan syariat Islam, sehingga tidak ada kepentingan individu selain untuk mengharap Ridho-Nya, termasuk pengelolaan ekosistem laut berdasarkan kelestarian lingkungan hidup dan kebutuhan manusia.
Wallahu’Alam Bishowab