Kebijakan Ekspor Pasir Laut, Benarkah Solusi?




Oleh: Khusnul Hidayati

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang dikeluarkan Presiden Jokowi banjir kritik. Salah satu yang menjadi polemik dalam PP ini adalah pemanfaatan hasil sedimentasi laut berupa pasir laut untuk diekspor keluar negeri. Hal ini tertuang dalam Pasal 9 Ayat (2) huruf D yang menyebutkan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 Menteri Jokowi pun langsung merespons, berikut penjelasan mereka seperti dikutip, Kamis (2/6/2023).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun buka suara. Arifin membeberkan alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut, yaitu untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi akibat sedimentasi tersebut. "Yang dimaksud dan diperbolehkan itu sedimen, kan channel itu kebanyakan terjadi pendangkalan karena pengikisan dan segala macam. Nah untuk jaga alur pelayaran maka didalami lagi. Itu lah yang sedimen itu lebih bagus dilempar keluar dari pada ditaruh ditempat kita juga," kata Menteri ESDM, di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (31/5/2023).

Dia menjelaskan sedimen yang terjadi di dasar laut membuat pendangkalan alur pelayaran dan membahayakan bagi kapal yang melintas. Hal ini banyak terjadi yang dekat lintas pelayaran seperti yang terjadi di Selat Malaka sampai selat antara Batam dan Singapura. Selain itu pasir laut juga memiliki nilai ekonomi bagi negara. Terlebih sedimen yang berupa lumpur itu juga menurutnya lebih baik dijual ke luar negeri ketimbang menumpuk di jalur pelayaran. "Sekarang begini, kalau mengendap jadi apa? Sedimen aja dan membahayakan alur pelayaran. Kan dikeruk ada ongkosnya, ada nilainya dong. Maka ada yang mau nggak? Supply demand pasti ada," kata Arifin.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga buka suara soal ini. Menurut Luhut, kebijakan itu bertujuan untuk pendalaman alur laut. Sebab jika tidak, alur laut makin dangkal. "Jadi untuk kesehatan laut juga," ujarnya. Luhut lantas mengungkapkan kalau ada proyek besar berupa reklamasi Rempang di Batam, Kepulauan Riau, untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga surya. "Supaya bisa digunakan untuk itu. Ada industri besar untuk tadi itu untuk solar panel itu. Jadi gede sekali industri di sana," kata Luhut.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono blak-blakan soal ekspor pasir laut. Menurut Trenggono, nantinya akan ada aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) PP Nomor 26 Tahun 2023. Di dalam aturan turunan tersebut, dibentuk Tim Kajian yang terdiri dari KKP, Kementerian ESDM, KLHK, hingga LSM Lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace.

Tim Kajian ini menurut Trenggono yang akan menentukan apakah hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut bisa diekspor atau tidak. "Katakanlah mereka mengajukan untuk kepentingan ekspor, permintaan ekspor selama itu betul-betul hasil sedimentasi boleh saja, pengunaannya boleh dalam negeri boleh ke luar negeri gak apa-apa selama dia bayarnya mahal ke dalam negeri," ungkap Trenggono di Gedung KKP, Kawasan Gambir, Jakarta, Rabu (31/5/2023)
(cnbcindonesia.com, 2/6/2023) 

Kebijakan Presiden Joko Widodo yang membolehkan ekspor pasir laut menuai polemik. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 PP tersebut menyatakan hasil sedimentasi yang dimanfaatkan berupa pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur. Dalam ayat 2, hasil sedimentasi tersebut bisa digunakan untuk ekspor. “Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 9 ayat 2 huruf d sebagaimana dikutip dari JDIH Setneg.

Sontak, hal tersebut mendapat banyak kritik. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi bahkan mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan izin ekspor pasir laut. Sebab, kata dia, izin ekspor pasir laut berpotensi merusak lingkungan. “Presiden Jokowi sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang mengerutkan wilayah daratan Indonesia,” kata Fahmy dalam keterangan tertulis, Rabu (31/5/2023). (tirto.id, 1/6/2023) 

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berharap Presiden Joko Widodo membatalkan keputusannya dalam membuka keran ekspor pasir laut.
"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut," tulis Susi dalam akun resmi Twitternya, Senin (29/5). (cnnindonesia.com, 29/5/2023) 

Akhir- akhir ini mulai ramai berita terkait ekspor pasir laut meski hal ini dianggap  ‘menguntungkan’ sesungguhnya merugikan ekosistem laut, yang pada akhirnya akan membahayakan kehidupan rakyat. Karena pada dasarnya pasir laut memiliki fungsi tersendiri dalam ekosistem laut. Meskipun dibilang pasir laut yang ini merupakan endapan dari air sungai yang mengalir kelaut tapi bukan berarti dia membuat masalah baru. Tapi kejadian alam yang demikian rupa tapi ada hikmah dibalik Allah menciptakan fenomena tersebut. Kalau dikatakan pendangkalan karena adanya pasir tersebut akan menghalangi atau mempersulit perahu ketika bersandar, ternyata ini tidak bisa dilakukan dijadikan alasan untuk mengekspor pasir laut. Kenapa demikian, karena meski di satu tempat terjadi pendangkalan tapi pada waktu lain akan terjadi pengikisan pasir pantai dari ombak yang datang dari pantai. 

Otomatis jika penjualan pasir pantai dilakukan maka jumlah daratan Indonesia akan semakin berkurang karena juga akan terjadi pengikisan daratan dari ombak pantai, sehingga ini akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar pantai. Selain itu jika terjadi ombak yang sangat besar maka ombak itu akan langsung mengenai rumah penduduk. Karena tidak ada jarak yang memadai agar bisa menahan air laut menyentuh wilayah pemukiman masyarakat sekitar pantai. Kalau dihitung dari keuntungan yang didapatkan otomatis ini juga tidak akan memberikan keuntungan yang lebih dari pada kerugiannya. Yang akhirnya harus membuat kebijakan baru untuk menangani masalah yang ditimbulkan dari penjualan pasir pantai ini. Memang lebih murah menjual pasir pantai, tanpa perlu pengolahan terlebih dahulu yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Tetapi kerugian yang di akibatkan juga kan semakin besar pula. 

Sesungguhnya kalau kita mau berfikir lebih jeli dan lebih dalam lagi, sebenarnya Indonesia memiliki sumber lain yang mampu memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ekspor pasir laut. Dan melalui pengelolaan SDA secara mandiri akan lebih banyak menghasilkan, sehingga bisa menambah pemasukan devisa negara. Sayangnya saat ini SDA dikelola oleh asing, dan negara tidak bisa mendapatkan pendapatan yang lebih dari sana. Dimana setiap sumber daya alam yang sudah di kuasai oleh asing tidak akan ada pemasukan yang lebih untuk membangun negri. Hasil atau keuntungan dari pengolahan sumber daya alam tersebut kalau tidak bisa dikatakan semua, sebagian besar nya masuk kedalam kantong pengelola asing tadi. Sehingga disini, meski negri kita kaya akan sumberdaya alam tapi ternyata tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Bahkan kondisi masyarakatnya semakin terpuruk dan jauh dari kesejahteraan. 

Coba kita tengok sebentar bagaimana kabar tambang emas di Irian Jaya. Berapa penghasilan yang di dapatkan dari sana yang masuk ke pemerintah, dan seberapa penduduk Indonesia  mendapatkan kesejahteraan dari sumberdaya alam tersebut. Ini sangat memprihatinkan sekali, bahkan penduduk di sekitar tambang tersebut kehidupannya sangat jauh berbeda dengan yang berada dalam komplek tambang.

Benar-benar bagaikan bumi dan langit. Akan kah ini terus kita pertahankan seperti ini. Bukankah seharusnya hasil dari tambang tersebut bisa mensejahterakan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Irian pada khususnya, namun kenyataannya sangat jauh berbeda. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, yang bekerja di sana saja mereka bekerja hampir mirip kerja rodi. Sangat jauh dari kewajaran sebagai seorang tenaga kerja, bahkan gajinya sangat kecil dibandingkan dari tenaga kerja asing yang juga bekerja di sana. 

Hal ini sangat jauh berbeda dengan bagaimana Islam memberikan tuntunan bagi negara tentang sumber pemasukan negara, salah satunya dari hasil mengelola SDA. Dimana  pengelolaan sumber daya alam benar-benar harus dikelola oleh pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah tidak boleh memberikan sumber daya tersebut kepada asing atau individu. Sebagaimana yang bisa kita lihat dari masa Rosulullah dulu, beliau pernah memberikan tambang garam kepada salah seorang sahabat yang meminta tambang itu, dan waktu itu Rosulullah belum mengetahui bahwa banyaknya seperti air yang mengalir. Hingga akhirnya Rosulullah di ingatkan oleh salah seorang sahabat bahwa yang beliau berikan itu seperti air mengalir banyaknya. Sehingga beliau memerintahkan kepada sahabat tersebut untuk meminta kembali tambang tersebut dari orang yang pernah beliau beri. Inilah gambaran bagaimana seharusnya tambang itu tidak boleh diberikan kepada asing atau individu. 

Bahkan dari hasil pengelolaan ini, harus digunakan untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas gratis dalam layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang dan oligarki, karena dalam islam seluruh rakyat punya bagian untuk bisa merasakan hasil dari sumber daya alam tersebut. Cuma hasil ini tidak harus diberikan dalam bentuk uang. Tapi yang lebih utama diberikan dalam bentuk fasilitas, sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang terbaik untuk semua lapisan masyarakat dengan cuma-cuma. Karena yang punya kewajiban untuk mendistribusikan kekayaan negara atau hasil dari sumber daya alam adalah pemerintah. Sehingga disini pemerintah akan berfungsi sebagaimana mestinya, bukan malah sarana dan prasarana semua dikomersilkan dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. 

Sebagaimana pelayanan yang dilakukan pemerintahan islam dulu yang pernah ada. Umar bin Khattab menjadi pemimpin dan berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya tanpa harus pilih kasih. Semua hasil sumberdaya alam yang ada di negri itu di distribusikan untuk kesejahteraan rakyatnya tanpa terkecuali. Dengan berbagai cara dan metode supaya kesejahteraan bisa tercapai untuk rakyatnya. Dan itu terus dicontohkan sejak zamannya Rosulullah menjadi seorang pemimpin negara hingga masa setelah beliau hingga berlangsung kurang lebihnya 14 abad lamanya. Apakah kita masih akan menyangkan fakta sejarah tersebut. Bukankah seharusnya kita kembali kepada aturan yang dibuat oleh sang Pencipta manusia, yang paling mengerti dan memahami manusia. InsyaAllah kesejahteraan akan kita dapatkan jika kita mau menggunakan hukum dari Allah yang maha sempurna. InsyaAllah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak