Oleh : Venti Budhi Hartanti, S.Pd.I
Kasus pelecehan, kekerasan, cacian, makian, pada anak memang tidak terjadi baru-baru sekarang. Kasus Bully sebenarnya jauh sebelumnya sudah sering terjadi. Dari usia SD hingga Perguruan Tinggi. Cuma memang diakui kasus bully yang terjadi dulu tidak separah anak-anak jaman sekarang. Dulu hanya sebatas olokan sekarang amat sangat parah bisa sampai kepada kematian. Dan baru-baru ini terjadi pada MHD (9), bocah kelas 2 SD di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tewas akibat dikeroyok oleh sejumlah kakak kelasnya. Penganiayaan diduga dilakukan pada Senin (15-5-2023).
Kakek korban mengatakan, cucunya meninggal pada Sabtu (20-5-2023) setelah mendapatkan perawatan medis selama tiga hari di rumah sakit
“Hasil visum, korban mengalami luka pecah pembuluh darah, dada retak, dan tulang punggung retak,” katanya.
Peristiwa ini turut mendapat perhatian dari pengamat masalah perempuan, anak, dan generasi dr. Arum Harjanti. Ia menyesalkan nasib tragis korban, apalagi pelakunya adalah kakak kelasnya sendiri.
“Sungguh tragis nasib MHD. Mirisnya, pelaku pengeroyokan adalah kakak kelasnya, dan lebih miris lagi mengetahui hasil visum yang sangat parah,” ungkapnya kepada MNews, Selasa (23-5-2023).
Ia menerangkan, parahnya kondisi korban menggambarkan betapa dahsyatnya kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak pelaku pengeroyokan.
“Fakta ini jelas menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa beberapa siswa SD melakukan tindak kekerasan yang demikian sadis? Apa yang ada dalam benak anak-anak kecil tersebut sehingga tindakan jahat itu dilakukan, bahkan di dalam lingkungan sekolahnya?” tanyanya beruntun.
Ia menyatakan, peristiwa memilukan ini harus dilihat dalam perspektif yang luas dan tentu ada banyak faktor penyebab.
“Di antaranya adalah ungkapan ‘children see children do’, Anak melakukan apa yang biasa ia lihat. Dan itulah yang sesungguhnya terjadi pada saat ini. Anak- anak terbiasa melihat tindak kekerasan, baik secara virtual—game bergenre kekerasan, tayangan media sosial—maupun secara nyata, pertikaian dan kekerasan di sekitarnya, bahkan bisa jadi kekerasan dalam rumah tangga,” urainya.
Hanya saja, imbuhnya, mengingat pelaku masih anak- anak, maka tidak bisa dimungkiri perilaku kejam tersebut bisa juga dipengaruhi kondisi pengasuhan dalam keluarga, termasuk interaksi dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Karena semuanya ini juga kembali pada pola asuh anak dirumah. Peran keluarga orang tua sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Karena orang tua juga berkewajiban menanamkan aqidah yang kuat,menanamkan rasa kasih sayang sesama makhluk ciptaan Alloh.
“Keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak tentu berperan penting dalam membangun karakter anak. Penanaman keimanan dan akhlak oleh orang tua akan menjadi dasar kepribadian anak yang baik. Namun, fakta yang kita dapati hari ini nyatanya menunjukkan para ibu juga harus berjuang mencari nafkah, bahkan menjadi buruh migran di luar negeri demi menjaga agar dapur tetap ‘ngebul’. Akibatnya, peran ibu sebagai pendidik generasi terabaikan. Sementara itu, ayah pun tak punya waktu untuk mendidik anak-anaknya karena mengejar setoran,” jelasnya. Belum lagi ditambah dengan perekonomian yang semakin sulit, semua harga barang naik terlebih bahan pokok makanan. Sehingga lagi-lagi peran orang tua juga menjadi terpecah. Disatu sisi memikirkn kondisi kehidupan dirumah disatu sisi juga harus mendidik anak biar jadi anak yg sholih sholihah.
Dan disini peran penguasa juga ikut andil dalam menjaga aqidah umatnya. Dalam menjaga kesejahteraan umatnya.
Selain itu, ia menilai, kurikulum pendidikan sekuler yang makin kuat dengan moderasi beragama, membuat anak makin jauh dari tuntunan agama.
“Pembiaran negara atas berbagai tayangan yang tak layak anak, menjadikan kekerasan terus merasuk dalam benak anak yang masih berkembang, tak mampu membedakan benar salah, terpuji dan tercela. Berbagai faktor tersebut membentuk pola pikir anak bahwa kekerasan adalah hal biasa,” kritiknya.
Selanjutnya, ia mengingatkan, semua hal tersebut terjadi karena negeri ini telah dicengkeram kuat oleh sekularisme dalam semua aspeknya. “Semua pihak, termasuk anak-anak tanpa sadar masuk dalam jeratnya. Rusaknya akhlak adalah buah semua keburukan tersebut, maka rusaklah fitrah kepolosan dan kebaikan anak,” cetusnya.
Sebaliknya, ia menegaskan, kondisi rusak ini tidak akan terjadi apabila keimanan kepada Allah menjadi asas semua perbuatan manusia, termasuk menjadi asas negara.
“Negara yang menerapkan aturan Islam akan memenuhi kebutuhan manusia dengan cara yang mulia, tidak hanya fisiknya, namun juga psikis dan spiritualnya sesuai fitrah dan martabat kemanusiaan yang mulia. Pun demikian anak akan terjaga fitrahnya dan tumbuh dengan siraman kebaikan sehingga tumbuh menjadi anak yang beriman dan berakhlak mulia,” tuturnya.
Semua itu, tandasnya, menjadi satu keniscayaan ketika negara menjalankan aturan Islam dalam semua aspeknya, yaitu dalam bangunan Khilafah Islamiah.
Tags
Opini