Oleh: Krisdianti Nurayu Wulandari
Sangat menyedihkan, R, seorang remaja 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, mengalami pelecehan oleh hingga 11 laki-laki di tempat dan pada waktu yang berbeda. Kejadian tragis ini dimulai ketika R membawa bantuan ke Desa Toroe, Parimo, dari Poso untuk korban banjir pada tahun lalu. Sayangnya, R bertemu dengan salah satu pelaku yang menawarkan pekerjaan di sebuah rumah makan.
Alih-alih memberikan pekerjaan, pelaku justru melecehkannya. Tidak hanya itu, pelaku juga mengajak orang lain untuk melecehkan R. Mereka mengiming-imingi R dengan berbagai hal, termasuk narkoba jenis sabu-sabu, dan bahkan mengancamnya dengan senjata tajam. Akibat pelecehan tersebut, R mengalami rasa sakit pada organ reproduksinya.
Pada bulan Januari 2023, R menceritakan kejadian pelecehan yang dialaminya kepada orang tuanya, yang kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polres Parimo. Saat ini, kepolisian telah menetapkan para pelaku sebagai tersangka. (Detik, 28-5-2023).
Lebih menyedihkan lagi, hasil penyidikan mengungkap bahwa beberapa pelaku seharusnya menjadi figur yang melindungi masyarakat, namun justru melakukan tindakan biadab. Salah satu pelaku (HST) adalah seorang anggota Brimob yang menjabat sebagai perwira polisi. Pelaku lainnya adalah HR, seorang kepala desa, dan ARH, seorang guru ASN.
Lebih lanjut, ada dugaan bahwa kasus di Parimo ini mungkin terkait dengan prostitusi anak. Dugaan ini muncul karena melibatkan banyak pihak dan adanya iming-iming uang dan pekerjaan bagi korban.
Kasus Parimo merupakan kasus kekerasan seksual terberat terhadap anak selama tahun 2023 karena melibatkan banyak pelaku dan berdampak serius pada korban. Saat ini, korban mengalami infeksi akut pada organ reproduksinya yang memerlukan operasi pengangkatan rahim. Di Banyumas, Jawa Tengah, juga terjadi kasus berat di mana seorang korban berusia 12 tahun diperkosa oleh delapan orang pada waktu yang berbeda.
Dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual terhadap anak. Menurut data Kemen PPPA, pada tahun 2022, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat secara drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus).
Jika kita mengamati lebih jauh, terdapat beberapa aspek yang membuat kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin memburuk. Pertama, sanksi hukum yang tidak cukup keras. Berdasarkan Undang-Undang 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan penipuan, menggunakan berbagai trik, atau mempengaruhi anak untuk melakukan atau membiarkan tindakan cabul dilakukan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp5 miliar.
Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak termasuk hukuman mati, melainkan hanya berupa hukuman penjara, bahkan pelaksanaannya pun dapat sangat ringan. Banyak kasus yang terlupakan jika tidak ada pengawasan ketat dari publik. Beberapa kasus dapat "dihentikan" tanpa penyelesaian hukum melalui tawaran sejumlah uang kepada keluarga korban. Hal ini berarti tidak ada efek jera bagi pelaku dan menyebabkan mereka atau orang lain dengan mudah melakukan kejahatan serupa karena tidak takut dengan ancaman hukuman.
Aspek kedua adalah perbedaan persepsi antara aparat terkait dalam mendefinisikan kasus. Perbedaan definisi kasus ini bisa menjadi kesalahan fatal karena berhubungan dengan penentuan hukuman bagi pelaku. Jika definisinya saja berbeda, bagaimana mungkin keadilan hukum dapat tercapai?
Ketiga, regulasi media massa yang buruk. Konten pornografi mudah ditemui di internet. Siapa pun dapat dengan mudah mengakses konten porno melalui ponsel mereka.
Keempat, sistem pendidikan yang kurang baik. Kurikulum pendidikan kita terlalu jauh dari nilai-nilai agama (sekuler), sehingga menghasilkan individu yang mengabaikan aspek agama. Mereka tidak mempedulikan halal-haram dan tidak takut akan hukuman neraka, apalagi menginginkan surga. Mereka merasa bebas untuk melakukan apa pun tanpa memperhatikan aturan syariat. Akibatnya, masyarakat liberal tumbuh subur dan berbagai jenis kejahatan muncul.
Anak-anak pun menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan ini. Selama negara ini masih menganut sistem sekuler, maka akan terus ada korban kejahatan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.
Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Diperlukan tindakan nyata untuk memutus rantai kejahatan ini, yaitu dengan mengganti sistem sekuler dengan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam didasarkan pada akidah Islam, di mana iman dan ketakwaan menjadi dasar penyelesaian setiap masalah.
Melalui sistem pendidikan Islam, akan tercipta individu yang bertakwa sehingga tidak mudah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan pria dan wanita, kecuali dalam situasi yang diizinkan oleh syariah. Tidak akan ada interaksi khusus antara pria dan wanita non-mahram kecuali dalam ikatan pernikahan. Praktik prostitusi akan dihapuskan sehingga tidak ada lagi istilah "prostitusi legal". Semua bentuk prostitusi adalah haram.
Dalam sistem media massa yang berlandaskan Islam, akan ada pencegahan terhadap konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak akan ada rangsangan yang dapat mendorong kekerasan seksual. Sistem ekonomi dalam Islam juga memposisikan wanita sebagai pihak yang dinafkahi, sehingga mereka tidak perlu berusaha keras mencari pekerjaan untuk mencukupi kehidupan mereka sendiri dan menghindari bahaya yang mungkin timbul.
Dengan implementasi semua sistem ini, kekerasan seksual, termasuk terhadap anak, dapat dicegah. Jika kasus kekerasan seksual terjadi, negara akan memberikan sanksi yang tegas. Jika tindakan pelecehan seksual tergolong sebagai zina, maka hukumannya adalah seratus kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari-Muslim, pada suatu waktu, ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah saw.. Laki-laki tersebut berteriak, "Wahai Rasulullah, saya telah berzina." Rasulullah saw. tidak menggubrisnya hingga laki-laki itu mengulang ucapannya sebanyak empat kali. Kemudian Nabi memanggilnya dan berkata, "Apakah kamu gila?" Laki-laki itu menjawab tidak. Kemudian Nabi saw. berkata kepada para sahabat, "Bawalah orang ini dan lakukan rajam terhadapnya."
Dalam Surat An-Nur ayat 2, Allah berfirman, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." Ini adalah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.
Namun, dalam kasus pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual yang melibatkan pemaksaan atau ikrah, hal ini tidak hanya tentang zina, tetapi melibatkan pemaksaan yang membutuhkan sanksi sendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, "Hakim dapat memberikan hukuman kepada pelaku pemerkosaan dan menjatuhkan takzir padanya sebagai hukuman atau sanksi yang dapat memberikan efek jera baginya dan orang-orang serupa dengannya."
Hukuman takzir ini diberlakukan sebelum penerapan hukuman rajam. Ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, termasuk di antaranya adalah dera dan pengasingan.
Demikianlah, hanya dengan menerapkan Islam secara kafah dalam negara Khilafah, kekerasan seksual terhadap anak dapat dicegah dan diselesaikan sampai ke akar permasalahannya. Wallahualam.
Tags
Opini