Oleh : Maya, Pemerhati Sosial, Butul Pacet - Kab. Bandung.
Pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pasalnya, para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang.
Hingga Selasa (30/05) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku.
Sementara itu pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan anak terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat, psikis korban anak hingga saat ini masih sangat terguncang. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatannya yang kian memburuk. Dalam sejumlah rangkaian pemeriksaan ditemukan adanya infeksi akut pada alat reproduksi korban anak sehingga harus dilakukan tindakan operasi untuk mengangkat rahimnya.
Di zaman yang semakin modern seperti ini, tingkat pengawasan dari orang tua terhadap anak justru makin berkurang. Apalagi yang berhubungan dengan pengawasan dalam penggunaan gadget, media sosial, dan informasi yang membuat anak terpengaruh. Oleh sebab itu KPAI mendorong orang tua untuk lebih aktif membangun komunikasi aktif dengan anak-anaknya terkait aktivitas penggunaan gadget secara intens.
Maraknya pemberitaan kasus mengenai kasus kekerasan seksual pada anak seperti tidak ada habisnya. Kasus ini menjadi fenomena gunung es, karena para korban enggan melapor atau bercerita tentang perlakuan asusila yang di alami. Bahkan pada orang tua sendiri pun tidak berani, hal ini dilatari berbagai alasan, seperti ancaman dari pelaku atau perasaan takut sekaligus malu.
Penyebab kekerasan seksual pada anak terjadi karena tingkat kepedulian masyarakat dan lingkungan sekitar yang sangat rendah. Hal itulah kenapa predator anak dapat dengan leluasa mencari korban.
Tak hanya faktor eksternal saja, menurut data kekerasan seksual pada anak yang dimiliki Kem PPPA, tahun 2020 setidaknya terdapat 419 kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak-anak. Dan lebih dari 60% kasus, pelaku adalah kerabat dekat korban.
Dengan fakta tersebut diperlukan kesadaran bersama untuk mengawasi dan melakukan tindakan untuk menyelamatkan korban kekerasan, dalam hal ini adalah anak-anak secara khusus.
Penegakan hukum yang tidak efektif dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku, bahkan banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik umum maupun pada anak-anak khususnya, sering kali proses hukumnya tak ada kejelasan. Hal tersebut, membuat kasus-kasus tindak asusila terkesan di pandang sebelah mata.
Dari uraian diatas inilah penyebab kekerasan seksual pada anak tidak pernah ada habisnya. Yang perlu diperhatikan adalah kekerasan seksual yang dialami oleh anak dapat berdampak dalam jangka panjang, misalnya hilangnya rasa kepercayaan pada orang dewasa, trauma secara seksual, perasaan tidak berguna, dan stigma yang menghantui. Karena dapat berpengaruh secara mental maupun fisik, kasus penyebab kekerasan seksual pada anak harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai lingkup, mulai dari keluarga yang dapat melindungi hingga penegakan hukum yang memberikan efek jera terhadap pelaku.
penyebab utama terjadinya kekerasan seksual adalah sistem kehidupan liberal yang tidak diatur oleh syariat. Karenanya, dalam Islam tidak akan diberikan kebebasan terhadap masyarakat untuk berbuat sesuka hatinya. Islam akan melakukan dua upaya untuk menyelesaikan masalah ini yakni upaya preventif dan kuratif. Sebagai upaya preventif (pencegahan), Islam melarang melihat aurat lawan jenis, maka setiap fasilitas tontonan yang menampakkan aurat akan ditutup dan dilarang.
Wajib bagi muslim menutup auratnya dengan sempurna baik laki-laki maupun perempuan (lihat Q.S al-Ahzab : 59) serta mewajibkan gadhul bashar (menundukkan pandangan) ketika melihat aurat lawan jenis.
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya.” (Q.S an-Nur: 30-31).
Upaya lainnya antar lawan jenis yang bukan mahramnya diharamkan berkhalwat (berdua-duan) dan ikhtilat (bercampur baur) tanpa ada hajat yang dibenarkan syariat. Semua aktivitas yang mendekati zina akan dengan tegas dilarang (Q.S Al-Isra : 32).
Sedangkan upaya kuratif, Islam memberikan sanksi yang tegas jika ada yang melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti sanksi untuk pelaku zina yaitu dengan 100 kali cambuk bagi yang belum menikah dan sanksi rajam sampai mati bagi yang sudah menikah (Q.S An-Nur : 2).
Bagi kasus pemerkosaan, sanksi yang diberikan kepada pelakunya sebagaimana sanksi orang yang berzina. Sedangkan pihak korban tidak diberi sanksi.
Sementara untuk kasus pelecehan seksual/pencabulan seperti sodomi diberikan sanksi dibunuh atau hukuman mati. Sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang kamu dapati dia itu melakukan perbuatannya kaum Nabi Luth, maka bunuhlah atau jatuhkanlah hukuman mati kepada keduanya. Dengan aturan-aturan yang bersifat preventif dan kuratif ini, maka orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berfikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
Penerapan aturan secara utuh ini tentu akan menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan seksual terhadap anak. Dan yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti ini hanyalah negara yang menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam semua aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Tags
Opini