Oleh : Ummu Tsaqiif Dhiba Salma
Anak merupakan tunas negara, karena merekalah kelak yang akan memimpin dunia dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, negara dan seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif menciptakan kondisi ideal bagi setiap anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun kenyataannya, kasus kekerasan pada anak masih terus terjadi bahkan semakin parah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus. Itu terjadi sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023.
Dari 9.645 kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak tersebut, korban anak perempuan mencapai 8.615 kasus. Sementara jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.832 kasus. Jika diperinci berdasarkan jenisnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak menduduki peringkat pertama dengan 4.280 kasus. Lalu diikuti kekerasan fisik 3.152 kasus dan kekerasan psikis 3.053 kasus. (Media Indonesia, 4/6/2023).
Yang terbaru adalah kasus pemerkosaan terhadap seorang remaja putri berusia 16 tahun, yang dilakukan secara keji oleh 10 pria di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. (Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw8lw5nq0d0o)
Definisi Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual pada anak memiliki banyak definisi dan cakupan yang cukup luas. Namun pada dasarnya kekerasan seksual pada anak berarti keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, definisi kekerasan seksual:
“...adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Maraknya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual pada anak menjadi fenomena gunung es, dimana kasus yang muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang tidak terekspos. Hal ini terjadi karena para korban enggan melapor atau bercerita tentang perlakuan asusila yang di alami. Bahkan pada orang tua sendiri pun tidak berani, hal ini dilatari berbagai alasan, seperti ancaman dari pelaku atau perasaan takut sekaligus malu.
Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual Pada Anak
Menurut KPAI, kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan seksual yang di alami oleh anak-anak dan remaja menjadi perhatian tersendiri. KPAI menyebutkan adanya kekerasan seksual pada anak kerap terjadi karena :
1. Kurangnya Pengawasan Dari Orang Tua
Di zaman yang semakin modern seperti ini, tingkat pengawasan dari orang tua terhadap anak justru makin berkurang. Apalagi yang berhubungan dengan pengawasan dalam penggunaan gadget, media sosial, dan informasi yang membuat anak terpengaruh.
2. Kepedulian Masyarakat Masih Rendah
Penyebab kekerasan seksual pada anak terjadi karena tingkat kepedulian masyarakat dan lingkungan sekitar yang sangat rendah. Hal itulah kenapa predator anak dapat dengan leluasa mencari korban.
Tak hanya faktor eksternal saja, menurut data kekerasan seksual pada anak yang dimiliki KemPPPA, tahun 2020 setidaknya terdapat 419 kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak-anak. Dan lebih dari 60% kasus, pelaku adalah kerabat dekat korban.
3. Hukum Tanpa Efek Jera
Penegakan hukum yang tidak efektif pada kasus tindak pelecehan dan kekerasan seksual tidak memberikan efek jera bagi pelaku, bahkan banyak kasus umum maupun pada anak-anak khususnya, sering kali proses hukumnya tak ada kejelasan. Hal tersebut, membuat kasus-kasus tidak asusila terkesan dipandang sebelah mata.
Dari uraian diatas, bisa diketahui bahwa penyebab kekerasan seksual pada anak tidak pernah ada habisnya. Yang perlu diperhatikan adalah kekerasan seksual yang dialami oleh anak dapat berdampak dalam jangka panjang, misalnya hilangnya rasa kepercayaan pada orang dewasa, trauma secara seksual, perasaan tidak berguna, dan stigma yang menghantui.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih mendalam lagi, akar masalah dari kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah karena saat ini masih diterapkan sistem kapitalis sekuler, dimana dalam sistem ini memisahkan antara agama dari kehidupan. Adanya kontrol diri yang lemah sesungguhnya menunjukkan lemahnya keimanan kepada Allah SWT. Semua orang berusaha mendapatkan kesenangan tanpa mempedulikan halal haram, demi memuaskan keinginannya dan mengikuti hawa nafsunya semata.
Ini adalah kondisi ketika cara pandang kehidupan hanya berorientasi pada kehidupan dunia, dan menjauhkan agama dari kehidupan. Sistem kapitalis sekuler membuat manusia bebas untuk berbuat apa saja tanpa memperhatikan norma dan rasa malu. Sedangkan rasa malu adalah bagian dari iman. Inilah yang membuat manusia berada pada derajat terendah, bahkan lebih rendah dari binatang.
Berbeda dengan sistem kapitalis sekuler. Islam adalah agama dan sebuah sistem yang memiliki aturan yang baku, rinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan, yang berasal dari Allah, sang Pencipta alam semesta dan isinya. Upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak dalam Islam hanya bisa terwujud dengan tiga pilar. Yaitu ketakwaan individu dan keluarga, kontrol masyarakat dan peran negara.
Pilar pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Jika masing-masing individu dan keluarga istiqomah bertakwa kepada Allah, maka akan mendorong mereka untuk selalu terikat dengan aturan Allah. Dalam keluarga, wajib menerapkan aturan Islam, diantaranya yaitu membiasakan menutup aurat dengan sempurna, memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan sejak usia 7 tahun, tidak berkhalwat dan masih banyak lagi.
Pilar kedua yaitu kontrol masyarakat. Adanya pilar ini akan semakin menguatkan pilar pertama. Jika masyarakat selalu beramar makruf nahi munkar terhadap kekerasan yang terjadi pada anak khususnya, insyaAllah kejadian seperti itu tidak akan berulang, diminimalisir, bahkan ditiadakan.
Pilar ketiga yaitu peran negara. Negara berperan melindungi rakyatnya dari berbagai tindak kejahatan. Karena negara memiliki wewenang untuk menerapkan aturan Islam secara sempurna dalam setiap aspek kehidupan. Maka negara akan menjaga hal-hal yang dapat merusak agama maupun akhlak dari rakyatnya. Seperti pornografi-pornoaksi, narkoba, minuman keras dan sebagainya.
Dengan terwujudnya tiga pilar di atas, maka segala macam kasus kekerasan pada anak akan terminimalisir bahkan hilang dengan sendirinya. Hal yang amat jauh berbeda dengan saat ini dimana mayoritas kasus kekerasan yang terjadi berakhir begitu saja tanpa adanya penyelesaian yang konkret. Sebagaimana yang dilaporkan dalam studi kuantitatif barometer kesetaraan gender, bahwa 57% kasus kekerasan seksual berakhir tanpa penyelesaian.
Semua hal buruk tersebut terjadi karena sanksi dari aturan yang diterapkan dalam sistem sekarang, tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelaku ataupun orang-orang yang berpotensi menjadi pelaku. Sehingga kasus semacam inipun terus saja ada bahkan terjadi secara berulang-ulang.
Berbeda jika aturan Islam yang diterapkan. Aturan Islam terkait sanksi bagi pelaku kejahatan sungguh mampu berperan sebagai jawabir (pencegah) dan jawazir (penebus dosa). Inilah yang akhirnya memberi efek jera kepada para pelaku tindak kekerasan seksual pada anak ataupun orang lain yang berpotensi melakukan hal yang sama.
Negara berwenang memberi sanksi tegas bagi pelakunya. Pemerkosa mendapat hukuman cambuk 100 kali (jika belum menikah) dan hukum rajam (bila sudah menikah). Pelaku tindak sodomi dihukum dengan dibunuh. Jika pelaku melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan akan dikenakan denda sepertiga dari 100 ekor unta atau sekitar 750 juta rupiah, selain itu juga mendapat hukuman zina. (Sumber : Abdurrahman Al Maliki. 1990. Hal : 214).
Begitulah Islam mengatur urusan pemberian sanksi terhadap para pelaku kekerasan seksual. Hukuman yang tegas dan pastinya akan memberi efek jera. Sungguh hukuman tersebut telah diterapkan selama daulah Islam berkuasa di muka bumi, selama kurang lebih 13 abad lamanya. Yang mana selama masa tersebut, kasus-kasus kekerasan seksual dan perzinahan sangat minim terjadi, bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Wallahu A'lam bis Shawab
Tags
Opini
Masya allah
BalasHapus