Oleh : Linda Pusparini (Ibu Rumah Tangga)
Agaknya drama MinyakKita belum juga usai. Pedagang sembako masih mengeluhkan pembelian yang dibatasi bahkan menggunakan persyaratan bundling dengan minyak brand lain. Hal ini pula yang menyebabkan harga jual di konsumen semakin naik.
MinyakKita dijual seharga Rp 16.000 per liter di Pasar Tradisional Jakarta. Harga tersebut berada di atas Harga Eceran Tertinggi yang ditetapkan Kementrian Perdagangan senilai Rp 14.000 per liter. Berdasarkan pantauan Katadata.co.id di Pasar Tradisional Pondok Labu, Jakarta Selatan, MinyakKita masih tersedia di beberapa lapak, namun jumlahnya sedikit.
Aalah satu pedagang sembako, Via Amalia mengatakan, MinyakKita dalam seminggu hanya bisa tersedia sebanyak dua dus. Satu dus tersebut berjumlah 12 MinyakKita. " Makannya sekarang saya beli MinyakKita dari tangan ke tiga, jadi harganya lebih mahal." ujar Via kepada Katadata.co.id, di Pasar Tradisional Pondok Labu, Jakarta, (Katadata.co.id/31/5/23).
Padahal pemerintah telah mengklaim bahwa MinyakKita merupakan solusi atas mahalnya harga minyak untuk rakyat kecil. Namun lagi-lagi gagal karena pada faktanya MinyakKita masih mahal dan sulit didapatkan.
Hal ini mengindikasikan adanya kesalahan dalam regulasi distribusi. Apalah lagi ditambah dengan lemahnya kontrol dari pemerintah sehingga harga justru melambung tinggi diatas HET. Nampak pula dari skema produksi MinyakKita bahwa pemerintah dengan tata kelola ekonomi kapitalismenya menjadi regulator dan menyerahkan produksi pada perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Tentu saja mekanisme ini pada saat tertentu akan saling berbenturan dengan berbagai kepentingan dari para kapitalis dalam hal ini produsen kelapa sawit.
Dan sudah bukan hal asing lagi dimana dalam sistem kapitalis saat ini keuntungan lebih diutamakan daripada kebutuhan rakyat. Rakyat dipaksa mencukupi kebutuhannya sendiri sedangkan negara berlepas tangan terhadapnya bahkan sebisa mungkin menjadikan rakyat sebagai media penghasil cuan. Salah satunya melalui perdagangan minyak yang manipulatif ini.
Sesungguhnya memenuhi kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng meruoakan tanggung jawab negara. Tidak seharusnya negara berperan layaknya regulator dan menyerahkan mekanisme pasar kepada para pemilik modal yang telah terbukti menjadikan rakyat sebagai pihak yang dirugikan.
Dan melihat kembali berulahnha mafia minyak goreng ini mengindikasikan lemahnya sistem peradilan saat ini bahkan sama sekali tidak memberi efek jera yang pada akhirnya berulang-ulang kembali.
Hal ini tentu sangat jauh berbeda dari sistem pemerintahan Islam dimana khalifah menetapkan qadhi hisbah di tiap pasar untuk menindak kecurangan secara langsung dan tegas ketika menemukan kecurangan di pasar. Selain itu negara juga teliti dalam memilih bahan baku semisal energi atau pangan maka akan dicermati terlebih dahulu mana yang lebih dibutuhkan. Disamping itu negara dalam sistem Islam memiliki kemandirian dalam mengolah sumber daya alam sehingga mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah dan terjangkau. Ketika terjadi kelangkaan pun pemerintah langsung memenuhinya dengan mendistribusikannya dari daerah lain sehingga tidak ada istilah barang langka maupun sampai mengendap.
Kebijakan seperti ini hanya ada jika sistem Islam diterapkan dalam bingkai Daulah. Karenanya dakwah mengajak pada islam kaffah menjadi urgensi tersendiri bagi kaum muslim agar problematika semacam ini tidak berulang kembali. Waallahu a'lam