Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan atau Kemendag Isy Karim mengungkapkan sejumlah harga bahan pokok mulai naik menjelang Hari Raya Idul Adha 2023.
Berdasarkan laporan perkembangan harga rata-rata nasional barang kebutuhan pokok per Senin, 5 Juni 2023, disebutkan bahwa komoditas yang terpantau naik yakni daging ayam ras, telur ayam ras, cabai merah, dan bawang putih.
Harga daging ayam ras naik 7,84 persen menjadi Rp 38.500 per kilogram, sedangkan telur ayam ras naik 6,67 persen menjadi Rp 32.000 per kilogram. "Harga telur dan daging ayam ras masih relatif tinggi disinyalir terjadi akibat kenaikan harga jagung dan bekatul sebagai bahan baku utama pakan ayam petelur," kata Isy saat dihubungi, Selasa, 6 Juni 2023.
Selanjutnya, harga cabai merah keriting naik 9,47 persen menjadi Rp 39.300 per kilogram dan cabai merah besar naik 8,38 persen menjadi Rp 40.100 per kilogram. Cabai rawit merah juga ikut naik 8,25 persen menjadi Rp 44.600 per kilogram.
Meski demikian, Isy menerangkan jika kenaikan harga cabai ini menuju ke kisaran harga wajar. Pasalnya, harga cabai terbilang turun di bawah harga acuan. (www.tempo.co, 7 Juni 2023)
Ada hal menarik yang perlu dikritisi. Bagaimana mungkin kenaikan harga sedemikian tinggi dianggap kewajaran? Pernyataan tersebut menunjukkan ketidakempatian pemerintah terhadap kondisi rakyat, dimana rakyat menjerit dengan kondisi lonjakan harga. Apalagi kenaikan harga tidak hanya terjadi pada satu bahan pangan, tetapi pada sejumlah bahan pangan penting lainnya, seperti telur ayam, bawang putih, dan lain-lain.
Kenaikan ini terjadi berulang-ulang. Di sisi lain, pendapatan mayoritas masyarakat tidak bertambah, bahkan justru berkurang dengan terjadinya PHK besar-besaran dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Dan saat harga naik, kenaikan harga tidak sepenuhnya dinikmati peternak sebab kenaikan harga pakan jauh melebihi keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga. Pemerintah seharusnya mencari solusi tuntas yang bisa mengakhiri lonjakan harga, namun juga menyejahterakan bagi peternak.
Kalau kita perhatikan, sektor peternakan di Indonesia saat ini dikuasai oleh segelintir korporasi sehingga berlakulah pasar oligopoli. Menteri perdagangan sendiri, pernah menyebut ada tiga perusahaan peternakan besar yang menguasai 60—70% pasar sektor peternakan.
Perusahaan ini berbentuk perusahaan integrator yang membangun rantai bisnis dari hulu ke hilir. Bahkan, kesulitan peternak kecil mendapatkan bahan pakan, khususnya jagung juga disebabkan penguasaan langsung oleh korporasi tersebut di sentra-sentra produksi jagung.
Begitu pula, kebutuhan DOC (anak ayam yang berumur satu hari-red.), vitamin, hormon, dan lain-lain yang dibutuhkan sebagai input peternakan, juga berada dalam kooptasi korporasi tadi.
Bahkan, guritanya juga menyentuh aspek distribusi hingga konsumsi, yakni retail-retail penjualan produk peternakan, seperti telur, karkas ayam, dan sebagainya sehingga kendali harga secara tidak langsung juga berada di pihak korporasi.
Demikianlah wajah peradaban kapitalis dalam mengatur kehidupan rakyatnya. Penguasa seakan hanya sebagai pengamat yang tidak ada kuasa dalam mengatur negara. Negara seharusnya bertanggung jawab penuh mengurusi seluruh rakyat termasuk kebutuhan para peternak. Peran mereka juga sangat penting dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, khususnya pemenuhan protein hewani seluruh rakyatnya.
Maka sampai kapankah, kenaikan harga akan terus berlanjut tanpa ada penyelesaian yang pasti? Belum saatnyakah kaum muslimin berharap pada Islam yang pasti akan menyejahterakan mereka?
Wallahu a’lam bi ash showab.