Ekspor Pasir Laut untuk Atasi Sedimentasi atau Efek Kapitalisme?



Oleh: Mirna



Salah satu syarat sebuah negara dikatakan maju adalah pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang meningkat. Sedangkan dalam teori pehitungan pendapatan, perhitungan berdasarkan pengeluaran juga menjadi salah satu acuan. Dimana jumlah ekspor yang tinggi dibandingkan impor menjadi tolak ukur berhasilnya negara dalam mengelola SDA hingga angka PDB meningkat dan berimbas pada pendapatan perkapita. Kemajuan zaman dan industry ditambah selimut system kapitalisme membuat manusia menjadi lebih “kejam” pada alam. Konsep ini sejatinya tidak bisa disalahkan mengingat system kapitalis yang berbasis liberalis menekankan pada pentingnya materialistic value. 

Hingga wajar saat kebutuhan mendesak maka alam akan menjadi salah satu korban jarahan. Salah satu bad issue yang saat ini melanda dunia karena “kasarnya” manusia pada lingkungan adalah climate change yang ekstrime. Gelombang panas yang membuat banyak hewan dan tumbuhan mati serta membuat aktivitas manusia itu sendiri menjadi terhambat. Perubahan iklam dan cuaca yang tidak menguntung adalah hasil pembuangan limbah industry dan gas emisi. Saat manusia memproduksi barang mereka cenderung abai dengan kelestarian. Profit gentayangan dan menjadi main goal dalam kehidupan perekonomian. 

Maka persoalan ekspor pasir laut sebenarnya jika dipandangn dari kacamata dunia kapitalis, itu normal dan lumrah adanya. Wajar jika yang berkuasa di negeri ini membuat kebijakan semacam itu mengingat “liciknya” system yang menaungi. Korporate dan “untung”menjadi alasan seringkali kebijakan yang dibuat tidak sejalan dengan nurani dan konservasi alam. Yang paling terasa timbulnya kesenjangan sosial serta sikap individualisme yang tinggi. Kesenjangan sosial bisa terjadi karena hanya masyarakat yang memiliki modal dan mampu mengembangkan kegiatan usahanya, yang akan hidup makmur. Terlebih lagi dengan adanya persaingan atau kompetisi bebas. Tingginya sikap individualisme juga menjadi dampak negatif sistem ekonomi kapitalis.

Pasir laut merupakan komoditi penting bagi kehidupan mayarakat pesisir. Seperti diketahui bersama sejak dulu Indonesia dikenal dengan sebutan negara maritime, karena selain terdiri atas pulau-pulau Indonesia juga memiliki pantai dengan garis terpanjang nomor dua didunia setelah Kanada. Kondisi yang strategis bagi ekosistem laut yang kaya. Namun PP No 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Regulasi ini menitikberatkan pada substansi sedimentasi sebagai hal yang dapat dikelola atau di eskpor. 

Padahal aktivitas penambangan pasir dapat merusak lingkungan dan mengakibatkan dampak berkelanjutan di masa depan. Abaian perara sedimentasi, latar belakang regulasi ini juga melihat meski ada aturan yang melarang, kekayaan laut berupa pasir laut Indonesia terus dieksploitasi secara bebas dan ilegal, termasuk yang bukan dalam ekosistem sedimentasi. Praktik ilegal tersebut menimbulkan kerugian yang tidak hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga pendapatan negara hingga miliaran dollar AS.

Pemanasan global menyebabkan muka air laut meningkat. Selain risiko tenggelam, pulau-pulau kecil juga rawan terdampak cuaca ekstrem dan bencana yang makin sering terjadi. Laporan IPPC Climate Change 2023 menyebutkan bahwa 3,3-3,6 miliar orang hidup di wilayah rawan perubahan iklim dan kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang tinggal di kawasan pulau kecil dan pesisir. Dampak pemanasan global yang begitu besar ternyata diperparah dengan praktik penambangan pasir laut. Pasir notabene adalah proses alam yang terjadi secara dinamis selama jutaan tahun. Formasi pasir laut ikut menyusun lantai laut dangkal yang memiliki kedalaman 0-200 meter. Zona ini juga dikenal dengan nama zona eufotik, yaitu area konsentrasi perikanan komersial dan biota laut lain. 

Zona ini merupakan habitat bagi ribuan spesies biota laut, dimulai dari hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, hingga banyak spesies ikan dan penyu. Zona ini menerima sinar matahari secara utuh sehingga menjadi pusat siklus karbon, nitrogen, dan oksigen oleh plankton. Artinya, disrupsi terhadap zona eufotik akan menyebabkan kerusakan sistem ekologis perairan secara menyeluruh. Air laut menjadi sangat keruh, pohon-pohon bakau yang dulu rimbun mulai hilang dan terendam sepenuhnya oleh air laut. Padahal, ekosistem bakau adalah air payau, yaitu pencampuran antara air laut dan tawar.

Begitulah dampak negative berkepanjangan yang akan dirasakan oleh masyarakat karena proses pengerukan pasir laut. Memahami bahwa kebutuhan industry yang tinggi akan SDA alam memang penting, namun mengelola tanpa AMDAL dan system yang jauh dari aturan Tuhan sangat berbahaya. Padalah Allah telah ciptakan manusia sebagai khalifah yang diamanahi untuk menjaga bukan merusaknya. 

Pengelolaan SDA alam dalam islam selalu melihat perspektif Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidup.  Alam diciptakan oleh Allah swt untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan sebaik-baiknya. Sebagai khalifah di muka bumi ini seharusnya manusia mampu untuk menjaga dan memanfaatkan alam ini sebagai rasa syukur kita dalam menjalankan perintah dan amanat-Nya sesuai dengan ajaran Islam.

Sistem perekonomian Islam, merupakan alternatif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan cara memanfaatkan SDA seperti mengelola (menggarap) lahan mati atau lebih dikenal rehabilitasi lahan tandus. Pada masa awal Islam, khalifah sebagai pimpinan berperan penting dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, seperti menyediakan bantuan khusus kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara arif dan bijak. Khalifah memberikan tanah serta bantuan kepada masyarakat untuk dapat mengelola sumber daya alam dalam memenuhikebutuhan umat. wallahu alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak