Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Masalah minyak goreng masih belum usai. Bahkan pedagang sembako masih mengeluhkan pembelian yang dibatasi bahkan menggunakan persyaratan bundling.
Berdasarkan pantauan MNC Portal Indonesia di Pasar Baru Bekasi, Senin (29/5/2023), produk Minyakita tersedia di beberapa lapak, namun jumlahnya tidak banyak(IDX Channel,25/5/2023).
Di pasaran, minyakita sulit didapat, kalaupun ada harganya mahal. Selain itu juga dengan mekanisme bundling, beli minyakita harus juga beli produk lainya.
Klaim pemerintah yang menjadikan minyakita sebagai solusi atas mahalnya minyak untuk rakyat kecil gagal karena minyakita masih mahal dan susah didapat
Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam regulasi distribusi apalagi dengan lemahnya kontrol pemerintah sehingga harga justru melambung di atas HET.
Sebelumnya, harga minyak goreng sempat dijual murah mengikuti Harga Eceran Tertinggi (HET) yaitu berkisar Rp 11.500 hingga Rp 14.000 per liter. Namun, emak-emak tetap dibuat pusing dengan langkanya ketersediaan minyak goreng, sampai harus antri berjam-jam di minimarket maupun ritel-ritel modern.
Lalu, saat aturan HET dicabut oleh Pemerintah, rak-rak minyak goreng yang tadinya kosong, seketika langsung terpenuhi oleh minyak goreng dengan berbagai merek. Ibarat habis hilang ditelan bumi, seketika muncul kembali ke permukaan menampakkan diri.
Sayangnya jumlah yang berlimpah justru disusul dengan harga yang sangat melambung tinggi, hingga nyaris naik dua kali lipat dari harga sebelumnya. Dikutip dari Kompas.com (21/3/2022), setelah HET dicabut, minyak goreng kemasan dengan berbagai merek terkenal kini mulai memenuhi rak yang sebelumnya lebih sering kosong di sejumlah pasar swalayan. Selain itu, di beberapa ritel modern, harga minyak goreng kemasan 2 liter dibanderol nyaris Rp 50.000.
Sungguh sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Kok bisa harga minyak goreng sangat mahal sampai sempat mengalami kelangkaan. Padahal, Indonesia terkenal sebagai produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006, yang hasil produksinya mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Kemudian menjadi penyumbang devisa ekspor minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia (Kompas.com, 30/1/2022).
Ini jelas membuktikan ada permainan pasar di dalamnya. Saat harga murah, terjadi kelangkaan. Dan saat HET dicabut, tiba-tiba sangat berlimpah. Demi mendapat keuntungan lebih besar, penimbunan tentu menjadi jalan yang diambil oleh para produsen dan pemilik modal di sini.
Sebagai bukti, dikutip dari CNN Indonesia (21/2/2022), Satgas Pangan Polri mengungkapkan terdapat dugaan pelanggaran dalam pendistribusian minyak goreng yang terjadi di empat Provinsi dalam beberapa waktu terakhir. Empat provinsi itu yakni,Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Di samping itu, beberapa waktu lalu aksi bagi-bagi minyak goreng murah bahkan gratis dilakukan oleh beberapa partai politik. Hal yang akhirnya menjadi polemik dan menimbulkan pertanyaan, dari mana mereka mengambil minyak goreng dalam jumlah besar sementara terjadi kelangkaan yang cukup parah? Sehingga, wajar jika kemudian ada masyarakat yang sampai berspekulasi bahwa partai politik itu pun turut ikut melakukan penimbunan(tintasiyasi,26/3/2022).
Teramat kejam sekaligus ironis menyaksikan polemik naik-turunnya harga minyak goreng. Semuanya tidak lepas dari akal bulus kapitalisme yang rakus meraup fulus. Terlebih, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi kapitalisme untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Jadi, adanya polemik minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme, pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain sehingga dapat meraih profit sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.
Tidak heran, para pemodal dalam kapitalisme akan menciptakan mekanisme harga atau struktur harga komoditas di pasaran, karena menurut mereka harga akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara otomatis.
Hal ini tentu berbeda dengan tata aturan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, Allah Swt. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Ini sebagaimana hadis, “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR Ibnu Majah).
Namun, ketika negara mematok harga untuk umum maka Allah Swt. telah mengharamkan. Allah melarang tindakan pemberlakuan harga tertentu barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi jual-beli sesuai harga patokan tersebut.
Ini sebagaimana hadis, “Harga pada masa Rasulullah saw pernah membumbung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini).’ Beliau saw menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah.’” (HR Ahmad)
Kondisi melambungnya harga barang memang suatu realitas yang kadang tidak bisa kita hindari. Hal ini misalnya terjadi pada masa peperangan, krisis politik, dsb. yang memang merupakan akibat tidak tercukupinya barang di pasaran karena adanya penimbunan barang atau karena barangnya memang sedang langka. Namun, solusi masalah ini bukan dengan mematok harga.
Jika kelangkaan barang terjadi karena penimbunan, penimbunan tersebut jelas Allah haramkan. Jika kelangkaan barang terjadi karena barangnya memang langka, penguasa harus melayani kepentingan umum tersebut.
Penguasa semestinya berusaha mencukupi pengadaan barang tersebut di pasaran dengan cara mengusahakannya mengambil dari kantong-kantong logistik barang yang bersangkutan sehingga keberadaan barang terjaga, tidak harus menjadi langka. Dengan demikian, melambungnya harga dapat terhindarkan.
Wallahu'alam bishawab.
Tags
Opini