Oleh Nur Sila
(Aktivis Muslimah)
Kita tidak bisa menafikan bahwa saat ini muda-mudi Indonesia tengah dilanda euforia menyambut konser Coldplay yang direncanakan akan berlangsung pada Bulan November 2023 mendatang. Meski promotor menawarkan tarif tiket yang mahal, masyarakat tampak antusias bahkan siap “war” untuk mendapatkannya.
Melansir cnnindonesia.com (11/5/2023), berdasarkan daftar harga tiket mulai dari Rp800 ribu hingga yang termahal dibanderol seharga Rp11 juta dari 11 kategori.
Tidak menunggu waktu lama seluruh tiket atau sekitar 50 ribu tiket konser ludes dalam waktu sekian menit, termasuk kategori Ultimate Rp11 juta dengan tambahan pajak yang disediakan promotor. Akan tetapi, di balik fenomena tersebut terungkap fakta bahwa ternyata banyak calon penonton yang tidak memiliki cukup uang rela melakukan apa pun demi mendapatkan tiketnya. Mulai dari menggunakan dana darurat seperti mengambil tabungan, berutang, nekat mengajukan pinjaman online (pinjol), hingga rela menjual perabotan rumahnya.
Terkesan konyol, namun demikianlah realitanya. Puluhan ribu penggemar, termasuk mereka yang sekadar pencinta hiburan rela mengorbankan apa saja agar tidak melewatkan pentas band asal Inggris tersebut. Bahkan sebagian menganggap bahwa tidak ada salahnya mengeluarkan uang untuk self reward karena selama ini sudah bekerja keras.
Di tengah serba-serbi konser tersebut tentu saja mengundang tanda tanya besar di benak kita, mengapa masyarakat Indonesia begitu mudahnya mengorbankan harta mereka yang tidak sedikit, merogoh kocek sangat dalam demi selembar tiket? Apabila memikirkannya dengan akal sehat, antara penonton dengan band asing itu tidak ada hubungan apa pun, dan juga tidak memberikan sesuatu yang besar manfaatnya untuk hidup para penggemarnya. Hal paling sederhana dan satu-satunya yang didapatkan tidak lebih dari kesenangan yang sifatnya pun sementara.
Inilah wujud dunia sekuler kapitalistik yang menggaungkan nilai liberalisme. Atas landasan kebebasan, membentuk manusia yang hedon (pemuja kesenangan duniawi) yang menganggap dunia sekadar panggung untuk hura-hura, menghamburkan harta, kemudian mendapatkan kepuasannya. Kehidupan yang mengondisikan keringnya nilai-nilai agama dari jiwa-jiwa mereka, menjadikannya tidak takut berbuat dosa, melainkan dengan sadar memilih untuk menenggelamkan diri dalam segala bentuk kemaksiatan.
Terkait kabar band Coldplay yang mengibarkan bendera pelangi sebagai simbol dukungan mereka terhadap kaum Nabi Luth, L967, masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ini juga tetap “kekeh” dengan pembenarannya, bahwa mereka sekadar menonton konsernya bukan mengikuti misi yang dibawanya. Sekali lagi, manusia yang telah menancap kuat pemahaman sekuler-liberal kepadanya tidak akan menganggap kemaksiatan sebagai sesuatu yang sepenuhnya salah selama dapat membuatnya bahagia.
Fatalnya dalam kehidupan yang dimaksud, negara turut memfasilitasi budaya hura-hura tersebut. Dalih pembenarannya satu, yaitu dapat menghasilkan uang. Negara mengklaim bahwa acara ini akan memberi dampak ekonomi bagi pelaku UMKM. Hanya saja hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pihak yang paling diuntungkan adalah para pengusaha besar, seperti pemilik hotel, dan penyelenggara konser, sementara UMKM sekedar mendapatkan temah-remahnya.
Wajar dan logis bahwa fenomena yang membuat kita mengelus dada ini tercipta dari penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memandang hidup itu serba boleh. Kesenangan dan kebebasan yang dijunjung setinggi-tingginya menjadikan seseorang rendah cara berpikirnya, hanyut dalam gemerlap dunia, mencari kenikmatan semu, tanpa mempertimbangkan lagi sesuai koridor agama atau tidak. Terjadilah malapetaka universal berupa kemerosotan martabat manusia, utamanya pemuda-pemudi yang seharusnya menjadi tumpuan peradaban di masa mendatang.
Apalah daya, pemahaman yang keliru berhasil mengikis potensi mereka sampai tidak tersisa. Negara juga harus memahami bahwa euforia semacam ini tidak ada pengaruhnya sama sekali untuk keuangan, pendapatan pas-pasan dan perekonomian pun tetap krisis.
Atas kondisi di atas, hal pertama yang wajib dipahami oleh muda-mudi kita, termasuk masyarakat secara umum adalah bagaimana standar syariat Islam atas setiap perbuatan manusia. Bukankah daripada berbondong-bondong mendapatkan tiket konser yang hanya melalaikan, sebaiknya mengupayakan secara maksimal berbuat kebaikan yang diridai Allah Swt., untuk mendapatkan tiket surga-Nya? Inilah tiket yang layak untuk kita perjuangkan dengan segenap raga, jiwa dan harta.
Harta benda akan bernilai ibadah apabila peruntukkannya untuk hal-hal yang Allah Swt. perintahkan. Dalam hal ini perlu peranan ilmu sebagai pondasi mendasar dalam memahami prioritas yang dibenarkan dalam beramal.
Selanjutnya sebagai seorang Muslim, Islam mewanti-wanti agar tidak terjerumus dalam budaya hura-hura, membuang banyak harta untuk konser asing yang sejatinya tidak penting. Allah Swt., memerintahkan kepada umat Islam yang cukup untuk menginfakkan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan, seperti di dalamnya ada hak anak yatim. Pun, memberikannya kepada orang miskin ataupun yang lebih membutuhkan lainnya.
Islam tidak melarang seseorang untuk hiburan dan bahagia, tetapi standarnya harus jelas, yaitu bukan sesuai hawa nafsu manusia melainkan merujuk pada suka dan bencinya Allah Swt. , terikat halal atau haram menurut syariat. Di dalam Islam setiap perbuatan manusia ada batasannya, tidak membiarkannya serampangan menabrak koridor syariat atas alasan kebebasan. Maka seluruh umat Islam sangat penting memahami hal ini agar aktivitasnya dapat berbuah tiket menuju surga-Nya.
Keterikatan ini akan sempurna apabila penerapannya bukan hanya oleh individu per individu, atau kelompok tertentu, melainkan juga oleh negara secara kafah. Dengannya, tentu negara tidak akan mengizinkan aktivitas yang mengandung keharaman di dalamnya, seperti konser yang berpeluang adanya campur baur, dan tidak juga mengizinkan masuknya pemikiran asing dalam negeri.
Tetapi kondisi tersebut mustahil terwujud dalam sistem sekuler kapitalisme layaknya saat ini, melainkan hanya akan terwujud apabila umat manusia mengambil aturan Islam secara total di bawah naungan sistem Islam. Untuk mewujudkannya perlu kontribusi dakwah Islam yang akan mencerdaskan umat, mengubah pemikiran mereka agar sesuai dengan tuntunan Islam.
Wallahu a’lam bishawwab.