Bioethanol, Kabar Gembira ataukah Pertanda Buruk bagi Rakyat?



Oleh: Auliyaur Rosyidah, Tulungagung



Dalam waktu dekat, Pertamina Persero akan meluncurkan produk barunya yaitu Bioetanol. Bioethanol itu adalah sebuah produk bahan bakar yang terbuat dari campuran Pertamax dan Etanol. Produk ini telah dilakukan uji coba terbatas di kota Surabaya Jawa Timur pada beberapa waktu yang lalu.

Terciptanya bioetanol mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Kementerian ESDM telah mengkonsolidasikan beberapa produsen etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo) menyusul rencana Pertamina untuk mengedarkan BBM jenis baru yang disebut Bioetanol ini. Konsolidasi tersebut ditujukan agar menjamin kepastian produksi BBM bioetanol tidak mengganggu suplai tetes tebu untuk industri pangan, khususnya gula.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan bahwa produksi Bioethanol ditujukan untuk mengurangi ketergantungan impor minyak sembari mewujudkan kemandirian energi domestik. Hal tersebut selaras dengan pernyataan pakar bioenergi ITB Prof. Tatang Hernas Soerawidjaja yang mengapresiasi langkah Presiden dan menyatakan campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia.

"Apabila kita mengambil contoh kesuksesan penggunaan substitusi impor diesel dengan program Biodiesel, maka kita juga dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar porsinya dibandingkan bahan bakar jenis diesel," kata Tatang

Hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar US$2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.

Penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol. Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.

Namun disamping hal-hal menyenangkan tersebut rupanya Bioetanol ini akan dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan Pertamax. Sebagaimana yang diungkapkan oleh VP Corporate Communication Fadjar Djoko Santoso bahwa bahan bakar baru yang juga dinamai E5 (sebab dicampur Etanol 5%) diperkirakan di atas harga pertamax saat ini karena Research Octane Number (RON) bioetanol lebih tinggi dibanding Pertamax.

Jika benar harga bioetanol di atas pertamax, maka kisaran harganya ada di atas Rp12.500 per liter. Pasalnya, harga BBM Pertamina dengan RON 92 itu resmi turun di Jawa dan Bali per 1 Juni 2023 dari Rp13.300 per liter ke Rp12.500 per liter. Hal ini menjadi pertanyaan, lantas siapakah pasar produk Bioetanol ini mengingat mayoritas warga memakai Pertalite karena harganya yang rendah. Bagaimana pula bila nanti Pertalite tak akan dipasarkan lagi dan digantikan oleh Bioetanol ini? seperti halnya bahan bakar Premium yang sekarang sudah tidak dipasarkan.

Memang benar bahwa inovasi bahan bakar ini perlu didukung agar terwujud perkembangan dan tersolusinya impor bahan bakar yang meninggi yang dilakukan Negara selama ini. Namun, bila produk yang diharapkan mampu mengurangi tekanan tinggi impor BBM negara ini mengharuskan pemasarannya dengan harga yang tinggi, maka bukankah masalah baru akan muncul? yakni terbebaninya warga karena harganya yang lebih mahal dibanding Pertamax. Hal demikian akan memberikan kecurigaan warga bahwasannya program rilis produk bahan bakar yang baru ini merupakan program yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja yang telah memberikan kesepakatan bagi hasil untuk pejabat yang membantu terealisasinya pemasaran Bioetanol ini.

Seharusnya Negara menjalankan perannya sebagai pemelihara rakyat dengan cara membuat berbagai kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya. Sebab sebagaimana yang telah diajarkan dalam agama Islam, Negara adalah sebagai Raa'in bagi rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme yang berjalan saat ini, hubungan antara penguasa dan rakyat layaknya antara penjual dan pembeli bukan sebagai pelayan dan yang dilayaninya seperti dalam sistem islam. Terlebih, bahan bakar merupakan salah satu unsur yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sudah seharusnya dikelola dengan baik oleh Negara agar dapat dimanfaatkan oleh rakyat dengan mudah.

Rasulullah saw. bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ »

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR Ibn Majah)

Sifat ketiga jenis barang tersebut merupakan marafiq al-jama’ah (sesuatu yang dibutuhkan publik atau merupakan fasilitas publik), maka termasuk dalam kepemilikan umum. Sudah saatnya masalah ekspor-impor BBM dan tata kelola bahan bakar ini dikembalikan kepada syariat Islam. Dengan demikian, rakyat bisa menikmati ketersediaan BBM yang murah secara berkelanjutan sehingga terjaga ketahanan dan kedaulatan energi umat. Bukan menjadikan umat sebagai prospek pasar untuk keuntungan elit politik dan para oligarki. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak