Oleh Eli Supriatin
Seakan tiada hentinya kasus korupsi dinegeri ini terus bermunculan. Yang teranyar, kasus yang sedang viral adalah korupsi di lingkungan Kominfo. Kasus korupsi proyek BTS yang merugikan negara tidak kurang dari Rp 8 triliun ini melibatkan banyak oknum pejabat dan tokoh partai. Bahkan Menkominfo dari Partai Nasdem telah dijadikan tersangka.
Tidak hanya itu, kasus korupsi bansos pun kini kembali mencuat. Kerugian negara dalam kasus ini juga cukup besar.
Tentu masih banyak kasus korupsi lainnya. Sebagian telah terbukti. Sebagian lagi merupakan dugaan kuat.
Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus (Dataindonesia.id, 21/3/2023).
Tentu tidak mudah untuk memberantas korupsi, berbagai cara pun tengah dilakukan pemerintah. Namun sayang, berbagai cara tidak mampu memberantas korupsi secara tuntas. Pasalnya, demokrasi yang kita emban kini yang secara teoretis mengklaim kedaulatan rakyat, namun dalam praktiknya, demokrasi selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal.
Alhasil, negara yang menerapkan demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’; karena di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah ‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.
Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.
Berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam pemilihan pemimpin dan para pejabat ditetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, tentu saja selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pemimpin maupun pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Mereka akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.
Mereka akan mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Dan dalam memberantas korupsi, Islam akan menerapan sanksi tegas yang berefek jera. Bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Dengan begitu, para koruptor maupun calon koruptor akan berfikir ulang dalam bertindak.
Sejatinya, sudah saatnya kita berantas korupsi sampai ke akarnya, agar tidak terus bermunculan. Yaitu dengan mencampakkan sistem yang jelas malah menumbuh suburkan korupsi seperti saat ini dan menggantinya dengan menerapan sistem syariah Islam secara kaffah. Dan upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak agar segera terwujud.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Tags
Opini