Bantuan Modal, Benarkah Solusi Tuntas atas Kemiskinan?




Oleh : Eti Fairuzita



Direktur Utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Arief Mulyadi mengatakan, pihaknya optimis dapat membantu pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem. Sebab sebesar 47 persen masyarakat miskin di Indonesia yang telah keluar dari status tersebut kebanyakan mendapatkan bantuan modal dari PNM untuk membangun usaha. "Pak Menko PMK sudah membuktikan sendiri, yang sudah beliau kunjungi itu Purbalingga, Wonosobo di Jawa Tengah yang bareng-bareng dengan kami, di Jawa Timur, lalu di Kalimantan Barat," ucapnya ditemui di Jakarta, Sabtu (27/5/2023).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghilangkan angka kemiskinan. Alih-alih selesai, angkanya malah makin naik. Presiden Jokowi menargetkan kemiskinan ekstrem di Indonesia terhapus tuntas pada 2024. Hal demikian sesuai dengan arahan Sustainable Development Goals (SDGs yang menargetkan pada 2030 dunia telah terbebas dari kemiskinan ekstrem.

Oleh karena itu, Presiden meminta PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM untuk terus membimbing warga miskin untuk bisa keluar dari kemiskinannya. Saat ini, PT PNM sedang menargetkan 16 juta nasabah aktif pada 2023 dengan penyaluran pembiayaannya sebesar Rp75 triliun. Per April 2023, nasabah aktif PNM telah mencapai 14,5 juta. Alhasil, Direktur Utama PNM Arief Mulyadi optimis pihaknya dapat membantu pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem.

PT PNM adalah lembaga keuangan milik negara yang dibentuk sebagai komitmen pemerintah dalam mengembangkan, memajukan, dan memelihara usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sumber pendanaanya berasal dari tiga sektor, sektor perbankan sebesar 52%, pasar modal 33% dan pusat investasi pemerintah (PIP) 15%.

Data Kementerian Ekonomi menunjukkan bahwa sektor UMKM berkontribusi besar dalam perekonomian Indonesia. UMKM memiliki jumlah lebih dari 64,2 juta unit usaha, menyumbang 61,9% pada produk domestik bruto (PDB), dan menyerap 97% tenaga kerja.

Industri besar hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 3% dan menyumbangkan PDB jauh lebih kecil dari UMKM. Artinya, berdasarkan hal tersebut, seharusnya perhatian penuh diberikan kepada UMKM, bukan malah pada perusahaan besar. Selain berjasa menyerap lapangan kerja, UMKM pun menjadi sumber keuangan negara.

Ironisnya, fakta berbicara lain, justru industri besarlah yang terlihat lebih diperhatikan. Misal, masalah pendanaan usaha. Jumlah suntikan dana bagi rakyat kecil tidak sebanding dengan industri besar. Lihat saja saat Sri Mulyani menyuntikkan dana dengan mudahnya sebesar Rp106,8 triliun kepada empat BUMN pada awal 2023. Bukan rahasia pula kepemilikan BUMN besar juga ada di tangan swasta.

Bandingkan dengan rencana suntikan dana untuk UMKM yang hanya Rp75 triliun untuk 16 juta nasabah. Jika dibagi rata, tiap orang hanya mendapatkan tidak lebih dari Rp5 juta. Jumlah tersebut belum dikurangi potensi adanya korupsi sebab PT PMN sebagai penyalur modal beberapa kali kena kasus korupsi.

Ditambah lagi, dengan hitung-hitungan bisnis, modal yang hanya Rp5 juta jelas tidak akan berdampak besar, kecuali sekadar untuk bertahan hidup. Berbagai kisah sukses UMKM yang hingga go international adalah satu dari sekian juta UMKM yang mangkrak tersebab ekosistem UMKM tidak mendukung mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Ekosistem usaha disebut tidak mendukung UMKM, selain karena akses modal yang terbatas, akses bahan baku pun dikuasai segelintir pihak. Pelaku UMKM tidak akan mungkin bisa mendapatkan bahan baku murah. Bayangkan, pebisnis dengan modal Rp5 juta jelas tidak akan mampu bersaing harga dengan pebisnis yang memiliki modal triliunan rupiah.

Pasar bahan baku pun kini banyak yang oligopoli, yakni sebagian besar pengusaha besar menguasai bahan baku hingga menguasai industri dari hulu ke hilir. Misalnya saja, struktur pasar tepung terigu di tanah air yang oligopolistik. Tepung terigu Bogasari telah memiliki pangsa pasar 57,3% yang merupakan pangsa pasar terbesar dalam industri tepung terigu. Sedangkan kita ketahui Bogasari adalah anak dari PT Indofood milik Salim Grup yang menjadi top fast (fast-moving consumer good) Indonesia. Perusahaan tersebut memproduksi banyak produk olahan, termasuk berbahan dasar tepung terigu, seperti mi instan dan camilan.

Lantas, bagaimana nasib UMKM yang produknya berbahan dasar tepung terigu juga? Sudah bisa dipastikan harganya tidak akan bisa bersaing dengan produk yang dihasilkan dari perusahaan besar. Inilah salah satu kendala yang dihadapi UMKM akibat ekosistem usaha yang sudah dikuasai industri besar.

Selain itu, banyak UMKM gulung tikar karena ongkos produksinya saja melebihi harga jual produk perusahaan besar. Ataupun bagi UMKM yang bertahan, harus rela membuka usaha hanya untuk bertahan hidup dengan laba yang sangat minim. Bandingkan dengan industri besar yang mengambil keuntungan sangat besar dan serapan tenaga kerja yang digadang-gadang akan masif, nyatanya hanya 3%.

Oleh karena itu, suntikan modal hanyalah solusi tambal sulam atas ketakberdayaan UMKM sehingga tidak bisa keluar dari kemiskinannya. Faktanya, kemiskinan yang terjadi bersifat sistemis, mulai dari ekosistem usaha yang buruk (akses modal dan bahan baku), hingga kebijakan yang tidak pro rakyat miskin.

Contohnya, kebijakan subsidi yang makin dikurangi, bahkan dicabut, misalnya kebijakan subsidi air, listrik, BBM, maupun saprodi (sarana produksi) yang semua itu diperuntukkan untuk rakyat kecil. Berbeda dengan subsidi untuk orang kaya, mudah sekali bagi pemerintah menggelontorkan subsidi triliunan untuk subsidi mobil listrik, bahkan pejabat eselon mendapatkan subsidi hampir Rp1 miliar untuk pembeliannya.

Berbanding terbalik dengan pajak. Sebagai tumpuan pembiayaan berjalannya negara, pada kenyataannya pajak terus menyasar rakyat miskin. Sebut saja pajak pulsa, pajak nasi bungkus, pajak sembako, juga pajak pendidikan yang sedang diusahakan. Semua itu terus “dioptimalkan”. Berbeda dengan pengusaha besar yang malah mendapat amnesti pajak.

Ketika berbicara skala global, negara berkembang terus saja dimiskinkan dan dibuat ketergantungan terhadap negara-negara supermakmur. Alhasil, negara berkembang tidak akan pernah maju sebab selalu berada di ketiak negara-negara makmur. Inilah paradoks era industri dalam asuhan kapitalisme. Pembangunan industri masif dengan investasi asingnya, tetapi tingkat pengangguran malah makin tinggi.

Hal itu makin mengonfirmasi kebohongan teori ekonomi kapitalisme yang mengatakan investasi berkorelasi positif dengan terciptanya lapangan kerja. Yang ada, makin tinggi investasi, hegemoni asing terhadap bangsa ini akan makin besar. Inilah sebab persoalan kemiskinan tidak kunjung usai.

Peradaban Barat telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan yang amat tinggi. Laporan organisasi internasional Oxfam mengungkap ketimpangan ekonomi antara orang-orang terkaya di dunia dan 99% orang lainnya. Satu persen orang-orang terkaya di dunia meraih hampir dua pertiga dari semua kekayaan baru yang diciptakan sejak 2020. Kekayaan satu persen orang-orang kaya tersebut sebesar $42 triliun atau hampir dua kali lipat dari penghasilan 99% populasi terbawah di dunia. (Liputan 6, 18-1-2023).

Persoalan ekosistem usaha yang buruk dan kebijakan yang tidak pro rakyat seperti di atas tidak akan ditemui dalam sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam berbasis pada kemaslahatan umat dan tidak pernah keluar dari batasan syariat. Islam memiliki cara untuk memudahkan UMKM untuk bisa mengakses modal sebab negara memiliki pos untuk itu. Negara bisa langsung memberikan dana usaha atau pinjaman tanpa menggunakan mekanisme riba.

Kekuatan baitulmal dan kebijakan yang independen, menjadikan fokus pemerintah pada kemaslahatan umat. Akses bahan baku pun akan adil. Regulasi kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam menjadikan kepemilikan umum haram dikuasai individu. Alhasil, kebutuhan dasar umat akan terpenuhi.

Islam juga memiliki mekanisme nonekonomi dalam mengatasi kemiskinan, salah satunya penyaluran zakat. Mekanisme ini terbukti efektif dalam pendistribusian harta dari hartawan kepada rakyat miskin. Jaminan negara atas kebutuhan pokok rakyatnya dan iklim usaha yang berkeadilan, menjadikan umat mudah bangkit dari kemiskinan dan hidup dalam kesejahteraan.

UMKM bukan hanya butuh modal usaha, melainkan juga kebijakan pemerintah yang pro rakyat dan berkeadilan. Hanya saja, semua itu mustahil bisa diterapkan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang justru senantiasa menciptakan kesenjangan. Oleh karena itu, bersegera menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Daulah adalah solusi tuntas mengatasi kemiskinan.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak