Bansos Salah Sasaran, Seriuskah Negara Mengentaskan Kemiskinan?




Oleh : Hasna Hanan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menilai, sistem pendataan penerima bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial (Kemensos) masih buruk. Sebab, diduga ada ribuan pemilik perusahaan yang terdaftar sebagai penerima bansos.

"Ada nama 10 ribu (orang) yang disebut beneficial ownership, pengendali perusahaan, padahal penerima bansos di Kemensos," kata Koordinator Pelaksana Stranas PK, Pahala Nainggolan di Jakarta, Rabu (14/6/2022).

Sementara itu dilansir juga oleh
JawaPos.com – Kementerian Sosial (Kemensos) kembali menemukan daftar penerima bantuan sosial (bansos) yang sejatinya tidak berhak. Kali ini terdeteksi 10.249 keluarga penerima manfaat (KPM) penerima bansos sembako/bantuan pangan nontunai (BPNT) yang tidak layak menerima bansos.

Data itu terdeteksi melalui sistem di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) setelah dilakukan pemadanan data penerima bansos oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di antara nama-nama tersebut, ternyata ada yang menempati jabatan direksi atau menjadi pejabat tertentu di sejumlah perusahaan.

Ditemukannya sejumlah fakta penerima bansos yang salah sasaran menunjukan bahwa pemerintah tidak melakukan pendataan yang teliti, terarah dan terpadu terhadap warga masyarakat yang berhak menerimanya, padahal pendataan tersebut adalah bagian dari keseriusan pemerintah untuk berupaya mengentaskan kemiskinan dan memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya, tetapi di sistem kapitalisme-sekuler hal tersebut sepertinya sulit terwujud.

Sebagaimana sebuah perintah dalam menyelesaikan urusan masyarakat maka menjadi kewajiban aparat pemerintah daerah (pemda) memainkan peran kunci dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar penyaluran Bansos tepat sasaran. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang menetapkan peran pemda dalam melaksanakan pemutakhiran data kemiskinan. Pemda dan jajarannya sampai tingkat desa/kelurahan memiliki kewenangan penuh menentukan siapa yang layak menerima bantuan dan siapa yang tidak.

Inilah yang terjadi ketika suatu amanah tidak terikat dengan keimanan dan ketaqwaan individu dalam menjalankan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya, maka hanya akan di lakukan asal-asalan apalagi sistem yang diterapkan saat ini memberi peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan juga kekuasaan,
Sehingga tidak mengherankan apabila dalam penyaluran dana bansos terdapat manipulasi data yang tidak terverifikasi dengan benar ditingkat lokal, yang akhirnya di verifikasi ulang lagi ke pusat, menurut Kemensos Tri Rismaharini sebenarnya ini tidak perlu terjadi bila masyarakat sudah masuk data penerima bansos sesuai dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor Kartu Keluarga (KK), nomor kepegawaian, dan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan, tinggal untuk cek ulang penerima bansos lewat KK dan KTP asli melalui aplikasi cek bansos.

Namun yang terjadi Kemensos memutuskan untuk mencoret 5,8 juta data penerima Keluarga Penerima Manfaat (KPM)  khususnya Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dari DTKS.
Data penerima bansos Kemensos dari DTKS diperbarui karena beberapa data dianggap tidak valid dan terjadi manipulasi, banyak kasus di mana ketua RW atau kepala desa dipaksa oleh warga yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai penerima untuk segera mendaftarkan mereka, 
hal ini menyebabkan beberapa individu yang sebenarnya mampu menerima dana bansos Kemensos. Di sisi lain, warga yang seharusnya memenuhi syarat sebagai penerima manfaat malah tidak menerima bansos Kemensos sama sekali karena adanya manipulasi data penerima.(AyoPalembang.com, 17-Juni-2023).

Islam memandang jabatan sebagai amanah

Kemiskinan akan menjadi PR besar dalam suatu negara bila tidak diselesaikan dengan sistem yang berasal dari sang Kholiq yang Maha Mengetahui dan yang berhak mengatur ciptaannya yaitu Islam, Islam agama yang Syamil dan Kamil selama 14 abad lamanya telah mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, menjadikan pondasi Aqidah Islam sebagai landasan setiap pemikiran dalam menyelesaikan problematika kehidupan manusia.

.. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.

Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti.  Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.

Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)

Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).

Nabi pun konsisten dengan kriterianya.  Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Nabi saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Siapa saja yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya.(HR Muslim). 

Disinilah Islam menjadikan seseorang yang diberikan suatu pekerjaan akan profesional dan serius menjalankannya apalagi mereka sebagai para pemangku jabatan yang diserahi untuk mengurusi rakyatnya dalam mengentaskan kemiskinan, baik pengelolaan data warga miskin dan semua pekerjaan yang terkait dengannya maka  semua amal akan dimintai pertanggungjawabannya, dan  persoalan kemiskinan hanya akan selesai bukan PR jika kembali kepada sistem perekonomian Islam karena dalam Islam mewajibkan negara mewujudkan kesejahteraan rakyatnya dan menjamin kesejahteraanya maka Islam akan  menciptakan pemimpin-pemimpin yang amanah untuk memenuhi kewajiban dan  tanggung jawab tersebut .

Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak