Oleh : Eti Fairuzita
Berbicara pernikahan dini seolah tidak ada habisnya. Meskipun data prevalensi perkawinan anak di Indonesia menunjukkan penurunan setiap tahunnya, ternyata angka pernikahan dini masih tetap tinggi. Diperlukan upaya sistemis dan terpadu dalam menekan angka perkawinan anak untuk mencapai target 6,94% pada 2030. Data 2021 menunjukkan perkawinan anak Indonesia berada pada angka 9,23%. (Antara News).
Selama 2020—2022, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI mencatat perkara dispensasi kawin memang menurun setiap tahunnya, tetapi tetap tergolong besar. Pada 2022, tercatat sebanyak 52.095 perkara dispensasi kawin yang masuk dan sebanyak 50.748 diputuskan atau dikabulkan. Indonesia yang awalnya batas usia menikah 16 tahun, berubah menjadi 19 tahun mengikuti UU 16/2019 yang telah pemerintah revisi. (Situs Kemen PPPA).
Deputi Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA mengungkapkan, ada banyak faktor yang ditengarai berkontribusi dalam perkawinan anak. Di antaranya adalah faktor kemiskinan, geografis, pendidikan, dan ketaksetaraan gender; masalah sosial, budaya, dan agama; serta minimnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Sementara itu, angka pernikahan dini di Kabupaten Cilacap sendiri, nyatanya masih tinggi. Bahkan di sepanjang tahun 2022 lalu, terdapat 849 kasus pernikahan dini.
Hal itu diungkapkan oleh Hakim Pengadilan Agama Kelas I A Cilacap, Mafthukhin, Selasa (31/1/2023).
“Kategori di bawah umur itu, usia kurang dari 19 tahun bagi perempuan. Itu mengacu ke UU Nomor 1 Tahun 1974. Jadi jika belum mencapai usia tersebut, harus mengajukan dispensasi,” kata Mafthukhin kepada serayunews.com, Selasa (31/1/2023).
Ia menjelaskan, di sepanjang 2022 kemarin ada sebanyak 849 dispensasi pernikahan yang Pengadilan Agama Kelas I A Cilacap kabulkan. Menurutnya, hal tersebut sah dan tidak menyalahi aturan sepanjang tidak ada unsur paksaan dari kedua belah pihak.
“Sepanjang tidak ada paksaan dan usia sudah wajar untuk menikah, tentu sah-sah saja. Sudah bukan anak-anak lagi, buktinya dengan usia yang tercantum di KTP,” ujarnya.
Ia menyebutkan, dari ratusan kasus pernikahan dini tersebut, sebagian besarnya lantaran pihak perempuan hamil duluan di luar nikah. Sehingga harus menikah.
Mencuatnya tren perkawinan anak di Indonesia tidak hanya akibat kurangnya pemahaman anak dan orang tua akan bahaya dan ancaman dari perkawinan anak, melainkan juga dampak gerusan pergaulan bebas di kalangan anak dan remaja yang berisiko pada kehamilan tidak diinginkan (KtD). (Situs Kemen PPPA).
Pemahaman agama juga dinilai berkontribusi dalam menambah jumlah perkawinan anak. Oleh karenanya, mereka berupaya mencegah perkawinan anak dengan dalih bahwa perkawinan anak tidak diperbolehkan dalam Islam. Adapun mengenai hadis yang membolehkan, menurut mereka itu adalah hukum khusus bagi Nabi Muhammad saw. yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.
Prinsip pernikahan, menurut mereka, harus kembali kepada tujuan pernikahan, yaitu untuk membangun keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah yang tidak mungkin bagi orang-orang yang masih usia anak bisa melakukannya (lihat QS An-Nisa (4): 6 dan QS Ar-Rum (30): 21).
Ada tanggung jawab besar bagi seseorang dalam berumah tangga. Bagi laki-laki, ia harus menjadi suami yang bertanggung jawab terhadap istrinya sekaligus menjadi ayah bagi anak-anaknya. Begitu pun perempuan, dengan menikah, ia harus menjadi istri yang bertanggung jawab dan memiliki potensi menjadi ibu bagi anak-anak yang akan ia lahirkan. Pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. mereka anggap sebagai pengecualian.
Adapun menurut ulama perempuan yang tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), perkawinan anak dilarang karena ada ayat Al-Qur’an, Hadis, dan UU perlindungan anak. Di samping itu, menikah saat masih usia anak akan sulit mencapai tujuan pernikahan (maqashid asy-syariah fi al-nikah), yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga yang saling membahagiakan (sakinah, mawadah, dan rahmah).
Akar Masalah
Pernikahan dini sering berdampak pada keluarga muda yang bermasalah, yaitu tidak mencapai keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah. Kalau kita cermati dan analisis, hal ini disebabkan tiga faktor.
Pertama, mereka memang belum siap berumah tangga. Kedua, media dan lingkungan menjadi pendorong nafsu seks anak menjadi tidak terkendali. Banyak anak terpapar media yang sering mempertontonkan pornografi-pornoaksi. Ketiga, negara pun belum mengeluarkan aturan pergaulan dan haramnya zina, maupun haramnya hal-hal yang mendekatinya.
Secara fakta, maraknya pornografi-pornoaksi menjadikan makin meningkatnya rangsangan seksual bagi anak remaja. Di antara dampaknya adalah sebagian remaja terlibat pergaulan bebas, bahkan sampai hamil di luar nikah. Dari sini, sebagian berakhir dengan pernikahan, sebagian ada yang aborsi. Bahkan, tidak sedikit yang setelah aborsi, ibunya meregang nyawa.
Walhasil, sebagian remaja menikah dini karena memang ingin menjaga agamanya dan sudah siap bertanggung tanggung jawab sebagai suami istri. Akan tetapi, sebagian remaja lainnya juga ada yang menikah dini karena sering terpapar pornografi-pornoaksi, padahal mereka belum siap secara mental untuk memikul tanggung jawab sebagai suami istri.
Agar setiap keluarga, termasuk keluarga muda bisa mencapai keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah, maka semestinya tidak perlu terus-menerus mempermasalahkan pernikahan dini dan membatasi usia nikah. Justru yang harus diperhatikan adalah akar masalahnya dan solusi yang harus dilakukan.
Pertama, kurikulum di sekolah dan pendidikan keluarga harus mampu menyiapkan anak yang sudah balig agar mampu menanggung taklif hukum yang menjadi tanggung jawabnya. Kurikulum PAI (dari SD, SMP, SMA) harus membahas tentang pernikahan dan aturan pergaulan sesuai Islam. Dengan demikian, pemerintah wajib menyiapkan kematangan anak agar siap menikah, bahkan seharusnya memberi kemudahan menikah.
Berkaitan dengan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan, ajaran Islam mewajibkan menutup aurat, melarang khalwat, melarang komunikasi yang tidak ada kebutuhan syar’i antara keduanya, juga mewajibkan untuk menundukkan pandangan, atau dengan kata lain melarang pacaran dan pergaulan bebas. (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Ijtima’i fil Islam).
Dengan demikian, kurikulum harus membahas tentang pernikahan dan hal-hal terkait pernikahan. Pernikahan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsaqqan ghalizhan) untuk menaati perintah Allah. Melaksanakannya merupakan ibadah.
Rasululah saw bersabda,
Dari Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi saw memuji dan menyanjung-Nya. Beliau bersabda, "Tetapi aku pun salat, tidur, puasa, berbuka, dan menikahi wanita-wanita. Siapa yang tidak suka dengan sunahku, maka ia tidak mengikuti jalanku." (Muttafaqun ‘alaih).
Tujuan perkawinan adalah keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah, yaitu keluarga tenteram dan saling berkasih sayang karena Allah agar keturunannya lestari dalam ketakwaan.
Allah Swt Berfirman dalam QS Ar-Rum: 2, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Dalam Islam, tidak ada batasan umur pernikahan. Artinya, berapa pun usia calon suami istri, tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum balig sekalipun. Di dalam ilmu fikih, balig—jika dikaitkan dengan ukuran usia—adalah berkisar 15 tahun (laki-laki) dan 9 tahun (perempuan). Tidak tercapainya keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah bukan karena umur mereka yang masih dini, melainkan karena mereka tidak disiapkan secara matang untuk memasuki pernikahan.
Adapun yang berpendapat bahwa pernikahan Nabi saw dengan Aisyah ra. merupakan pengecualian dan khusus bagi Rasulullah dan tidak boleh dicontoh umatnya, ini adalah dalih yang tidak berdasar. Ini karena dalilnya umum, tidak ada satu dalil pun yang mengkhususkan. Bahkan, ulama bersepakat bahwa boleh untuk menikah dengan anak yang masih kecil.
Dari keterangan Ibnu Hajar,
"Gadis kecil dinikahkan oleh bapaknya dengan kesepakatan ulama. Tidak ada yang menyelisihi, kecuali pendapat yang asing." (Fathul Bari, 9: 239).
Terlebih lagi, pada masa Rasulullah saw., para sahabat juga ada yang menikahi istrinya yang masih usia anak-anak, dan Rasulullah tidak melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dini boleh bagi Rasulullah, boleh pula bagi umatnya.
Kedua, media seharusnya menjadi media edukasi bagi masyarakat. Artinya, media mendidik dan menjadikan masyarakat makin bertakwa, bukan malah sering mempertontonkan pornografi-pornoaksi yang menjadikan nafsu seks masyarakat makin membara, terlebih remaja yang memang masanya pubertas. Negara harus melarang segala bentuk pornoaksi-pornografi dan hal-hal yang mendekati zina. Jika ada yang melanggar, harus mendapat sanksi yang menjerakan.
Terlebih lagi, media porno berdampak pada liberalisasi seks yang makin merajalela. Hal ini jelas merupakan masa depan yang suram bagi generasi. Buramnya potret remaja Indonesia adalah akibat bergelimang dengan pergaulan bebas, aborsi, sampai terpapar HIV/AIDS.
Liberalisasi seks ini masalah serius karena banyak menimpa kalangan pemuda, yaitu kelompok umur terpenting dari sumber daya manusia. Pepatah mengatakan, “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.” Berdasarkan data statistik pemuda Indonesia oleh BPS 2020, jumlah pemuda di Indonesia (16—30 tahun) mencapai 64,50 juta penduduk. Jumlah ini sebesar 23,86% total penduduk Indonesia (270 juta jiwa).
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 (dilakukan per lima tahun) juga menunjukkan bahwa di antara wanita dan pria yang telah melakukan hubungan seksual pranikah, 59% wanita dan 74% pria melaporkan mulai berhubungan seksual pertama kali pada umur 15—19 tahun.
Sungguh, pergaulan bebas adalah fenomena gunung es yang sangat mengkhawatirkan. Jika tidak segera dihentikan, berarti negeri ini mengundang azab Allah.
Rasulullah saw bersabda :
"Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu negeri, sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri." (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani).
Islam tegas mengharamkan pergaulan bebas, perzinaan, dan hal-hal yang mendekati zina. Allah berfirman dalam QS Al-Isra: 32,
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."
Ketiga, pemerintah wajib mengeluarkan aturan pergaulan dan haramnya zina, larangan mendekatinya, serta memberikan sanksi sesuai Islam. Adapun sanksi yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
Pertama, bagi pezina yang belum menikah, wajib didera 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun.
Allah Swt Berfirman dalam (QS An-Nur : 2),"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."
Adapun dalil tentang diasingkan selama setahun adalah berdasarkan hadis Rasulullah saw.. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. menetapkan bagi orang yang berzina, tetapi belum menikah, diasingkan selama setahun dan dikenai had kepadanya. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 30—32).
Kedua, bagi pezina yang sudah menikah, maka harus dirajam hingga mati. Berdasarkan hadis Rasulullah Saw. bahwa ada seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi Saw. memerintahkan menjilidnya. Kemudian ada kabar bahwa ia sudah menikah (muhshan), maka Nabi Saw pun memerintahkan untuk merajamnya.
Adapun sanksi orang yang termasuk memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apa pun dan dengan cara apa pun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, juga akan dikenakan sanksi. Menurut Islam, sanksi bagi mereka adalah penjara lima tahun dan hukum cambuk. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, sanksinya diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 238).
Demikian solusi yang harus kita lakukan. Tidak ada jalan lain menyelamatkan negeri ini, kecuali kembali merujuk pada penerapan syariat Islam kafah agar negeri ini berkah, masyarakat sejahtera, dan bahagia dunia akhirat.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini