Oleh: Muflih Khofifah
SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Arief Anshory Yusuf mengatakan Angka kemelaratan di Negeri ini cukup tinggi tahun ini.
Menurut data BPS, pada Maret 2021 ada 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin ekstrem. Menurut perhitungan, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi, kemiskinan ekstrem pada 2024 bisa mencapai 2,6 atau 3,1 persen setara sekitar 7,2 - 8,6 juta jiwa.
Meski demikian Presiden tetap optimistis menghapus kemiskinan ekstrem. Hal ini akhirnya menuai pro kontra dan para ahli ekonomis merasa pesimis.
Arief menyampaikan, "Ngapain sih kita bersemangat melakukan sesuatu yang tujuannya hanya untuk meng-impresi berhasil, padahal ngga."
Pemerintah memang memiliki banyak program dan anggaran besar dalam menghapus kemiskinan ekstrem. Namun, justru karena berada di banyak tempat itulah, menurut Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penghapusan Kemiskinan (TNP2K), Suprayoga Hadi, koordinasi menjadi penting. Senada dengan tantangan yang disampaikan Jokowi sebelumnya. voaindonesia.com (10/6/2023)
Dengan demikian, target waktu penghapusan kemiskinan ekstrem dalam waktu singkat yaitu setahun sangatlah ambisius.
Apalagi melihat faktor penyebab terjadinya kemiskinan di negeri ini yang beragam. Lalu penetapan standar kemiskinan yang sangat redah yang diukur dengan paritas daya beli malalui besaran pendapatan sebesar US$ 1,9 perhari sejak 2011 hingga sekarang. Kemiskinan di negeri ini sudah tampak jelas dan membandel.
Semua yang terjadi ini adalah kemiskinan struktural, dimana kemiskinan yang dialami masyarakat karena struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Sehingga kemiskinan itu terjadi dan merata.
Kemiskinan struktural ini dampak dari penerapan sistem yang rusal yaitu Kapitalisme.
Sistem ini pertama telah menjadikan sumber daya alam dikuasai para kapitalis, alhasil kekayaan hanya berputar pada segelintir orang saja. Sementara mayoritas rakyat tetap miskin, sebab rakyat tidak mampu mengakses sumber daya alam yang melimpah disekitar mereka.
Kedua dalam sistem saat ini sadar tidak sadar secara umum meski rakyat sudah bekerja keras, rakyat tetap miskin. Hal ini turut dirasakan golongan lemah seperti perempuan, lansia, penyandang disabilitas, dan warga pelosok. Inilah penyebab kemiskinan ekstrem.
Tentunya semua masalah diatas tidak akan terselesaikan hanya dengan bantuan sosial yaitu pemberian uang maupun modal usaha. Karena kebijakan ini adalah kebijakan tambal sulam. Padahal akar masalah ini adalah ketimpangan ekonomi.
Ini Akibat penerapan sistem kapitalisme yang akan selalu gagal mewujudkan kesejahteraan, dan meniscayakan kemiskinan.
Saatnya kita kembali pada Islam Kaffah yang sangat rinci mengatur kebijakan ekonomi di masyarakat. Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada tiap individu secara menyeluruh. Disamping memungkinkan pemenuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuan.
Kebutuhan primer terbagi menjadi dua.
1. Sandang, pangan, papan.
2. Pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Islam menjamin pemenuhan kebutuhan primer dengan mewajibkan lelaki sebagai pemimpin keluarga yang mampu untuk bekerja.
Untuk memastikan terlaksananya kewajiban mencari nafkah, nagara memastikan tersedianya lapangan pekerjaan. Dengan posisi khilafah sebagai negara industri, yang mana dapat membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sembari negara mewujudkan iklim usaha yang kondusif.
Selain itu. Islam juga mengatur kepemilikan menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Agar tidak ada kesenjangan ekonomi yang drastis seperti dalam sistem saat ini, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Slogan ini tentu tidak ada didalam sistem islam. Sebab aturan islam datang dari maha adil dan maha mengerti. Jika kita kembali pada aturan Allah SWT yaitu islam kaffah. Kita tak perlu khawatir dengan kemiskinan. Sebab saat islam di terapkan dalam institusi Khilafah, semua merasakan keberkahannya.
Wallahu'alam Bishowab.
Tags
Opini