Oleh : Maulli Azzura
Rasanya kalau tidak mudik tidak asyik, tidak mudik galau menghampiri, perasaan sedih sampai-sampai menangis. Itu yang dialami mayoritas para perantau yang sudah menjadi tradisi tahunan di negri ini. Dijakarta saja 70% lebih setiap menjelang libur panjang Iedul Fitri, berbondong - bondong baik yang sudah menjadi warga DKI maupun perantau melakukan rutinitas tersebut. Namun apakah jalur mudik yang telah disiapkan oleh pemerintah sudah mencapai kata aman?.
Insfrastruktur terus digalakan demi menjamin kelancaran para pemudik ke kampung halamannya, selain itu pemerintah telah menyiapkan transportasi gratis mulai dari darat hingga laut, tentunya berharap bisa menekan angka laka lantas disaat mudik maupun balik. Pemerintah juga melakukan sejumlah rekayasa lalul intas jalan raya agar menjadi kondusif dan lancarnya rutinitas tahunan tersebut. Namun tetap saja banyak terjadi lakalantas baik darat maupun laut.
Dari data yang kami himpun dikutip https://ditpolairud.kepri.polri.go.id/2023/04/26/polri-catat-angka-kecelakaan-mudik-lebaran-2023-turun-19-persen-dari-tahun-lalu/ angka lakalantas disaat mudik tahun ini mengalami penurunan 19 persen dari tahun sebelumnya. Secara matematis tentu ini sebuah prestasi. Namun tetap saja keberhasilan pemerintah dalam menjamin keselamatan warganya masih tergolong minim dalam merekayasa lalu lintas disaat mudik. Selain itu mahalnya tarif toll tak lepas dari para pembisnis yang seharusnya bisa digratiskan kepada para pemudik. Belum lagi tunjangan hari raya ( THR ) yang ternyata terkena jeratan UU Omnibuslaw dengan dipotongnya tunjangan tersebut oleh fihak negara https://jdih.kemnaker.go.id/katalog-2299-Surat%20Edaran%20Menaker.html
Indonesia adalah negeri muslim. Lebih dari 85 % penduduknya memeluk agama Islam. Negeri ini juga dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Sangat disayangkan bahwa sumber daya alam yang melimpah ini tidak mampu untuk membuat sejahtera bagi rakyatnya. Negara telah melakukan salah urus dengan menerapkan sistem kapitalisme. Sumber masalah bukanlah berasal dari siapa yang berkepentingan untuk mengurus negara dan rayat, melainkan lebih bersifat sistemik. Sistem demokrasi kapitalis meniscayakan lahirnya pemimpin -pemimpin yang korup. Hal ini logis, karena bangun dasar untuk maju dalam bursa pemilihan pemimpin adalah kemanfaatan, bukan untuk kemaslahatan umat.
Berbeda jauh dengan kondisi pada era khilafah Islam eksis. Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam shalat tahajudnya sering membaca ayat berikut:
احشُرُوا الَّذينَ ظَلَموا وَأَزوٰجَهُم وَما كانوا يَعبُدونَ ﴿٢٢﴾ مِن دونِ اللَّهِ فَاهدوهُم إِلىٰ صِرٰطِ الجَحيمِ ﴿٢٣﴾ وَقِفوهُم ۖ إِنَّهُم مَسـٔولونَ ﴿٢٤﴾
(Kepada para malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS ash-Shaffat [37]: 22-24).
Nah inilah yang perlu kita soroti sampai saat ini, pemerintah seperti memanfaatkan momen tahunan tersebut sebagai ladang bisnis. Sehingga dalam pelaksanaannya mulai dari persiapan transportasi sampai pada individunya akan dimanfaatkan dan diambil keuntungan ( tarif toll, THR yang terpangkas pph 21 dll). Juga terkait pelaksanaannya. Harusnya negara ini mengacu pada investasi infrastruktur strategis seperti dalam perspektif islam yang diurai dalam 3 prinsip.
*Pertama* pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, tidak bolehdiserahkan ke investor swasta.
*Kedua* perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad sebagai ibukota dibangun sebagai ibu kota kekhilafahahan, setiap bagian kota diproyeksikan hanya untuk jumlah penduduk tertentu.
Di kota itu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tidak ketinggalan, pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan, menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
*Ketiga* negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak juga diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat. Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Dengan begitu pelayanan transportasi terutama yang paling efektif seperti rutinitas tahunan mudik, akan terjamin keselamatan, keamanan dan yang paling penting adalah kesemuanya berjalan sesuai syariat tanpa mengurangi esensi dari tradisi tahunan masyarakat khususnya umat islam di negri ini.
Wallahu A'lam Bishowab
*Ketiga* negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak juga diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat. Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Dengan begitu pelayanan transportasi terutama yang paling efektif seperti rutinitas tahunan mudik, akan terjamin keselamatan, keamanan dan yang paling penting adalah kesemuanya berjalan sesuai syariat tanpa mengurangi esensi dari tradisi tahunan masyarakat khususnya umat islam di negri ini.
Wallahu A'lam Bishowab