Oleh : Ummu Aimar
Selebgram Lina Mukherjee ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama karena mengucapkan bismillah saat makan olahan babi. Ia terancam hukuman enam tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar.
Ancaman hukuman diberikan setelah penyidik Subdirektorat V Siber Kepolisian Daerah Sumatera Selatan mendapatkan kecukupan barang bukti yang didukung keterangan beberapa orang saksi dan ahli.
Dirkrimsus Polda Sumsel Kombes Pol Agung Marlianto mengatakan penetapan Lina Mukherjee sebagai tersangka dugaan penistaan agama.
Iya benar, sejak kemarin status Lina Mukherjee sudah sebagai tersangka dugaan kasus penistaan agama," kata Agung. (Jumat 28 April 2023
https://www.cnnindonesia.com)
Di lihat dari kasus-kasus penghinaan agama yang sudah terjadi, bisa dilihat bahwa konsekuensi dari penghinaan agama ini tidak membuat orang tersebut jera. Sehingga yang terjadi permasalahan penistaan agama ini terus berlangsung, dan akan menimbulkan kegaduhan atau bahkan perpecahan umat beragama.
Hal ini akan terus terjadi disebabkan karena
masyarakat serta sistem negara yang mengadopsi liberalisme. Walaupun terdapat undang-undang tersediri terkait dengan larangan penodaan agama, namun hal ini tidak bisa dicegah malah semakin dianggap hal yang wajar dengan adanya kasus yang terus berulang. Dapat kita lihat secara kasat mata bahwa pemerintah sebenarnya tidak bisa banyak mencegah berulangnya penistaan agama apabila ajaran Islam ditempatkan sebagai sumber konstitusi dan perundangan.
Para penista agama dengan bentuk baru dan pemain baru selama kebebasan berpendapat masih dilegalkan. Kebebasan yang diberikan oleh perspektif demokrasi nyatanya hanya melahirkan orang yang berani menghina dan menghujat ajaran Islam yang pasti kebenarannya, seperti kebenaran Al-Qur'an.
Walaupun telah ada UU yang mengatur sanksi penistaan agama, namun suara para penista masih terdengar, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang membuat jera. Ini adalah bukti bahwa negara gagal menjaga kehormatan agama, semua yang terjadi akibat landasan sekularisme yang dianut oleh negara ini.
Sekularisme telah memisahkan kehidupan manusia dari perspektif agama. Agama hanya sebagai pelengkap semata tanpa dijadikan pijakan hidup seluruhnya, penista agama tidak akan ada jika Islam dijadikan landasan konstitusi dan arah pandang manusia.
Negara kerap bertindak lambat dan pasif dalam mengatasi masalah penodaan agama, berbeda halnya dengan pasal ujaran kebencian ataupun penghinaan terhadap para pendukung penguasa. Beginilah hukum yang terjadi di negeri kita yang tidak berpihak terhadap kepentingan Islam.
Lain halnya di dalam Islam, ketika ada penistaan terhadap nabi dan agama Islam yang bertindak tegas dan menghukum pelakunya dengan hukuman mati. Hanya di dalam Islam saja agama dilindungi dan dijaga tanpa berkompromi serta bersikap tegas terhadap penista agama.
Padahal Islam sendiri telah mengharamkan kita untuk menistakan agama, sebagaimana Allah SWT berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (TQS al-An’am [6]: 108).
Sudah tertulis dengan sangat jelas bahwa sebagai seorang Muslim kita tidak boleh memaki agama, juga kita harus mempunyai keyakinan terhadap apa yang telah diajarkan Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Ini akan dilaksanakan dengan mudah ketika negara ikut andil di dalamnya. Dengannya hidup kita akan tertata rapi sesuai dengan syariat Islam dan amar makruf nahi mungkar. Tidak ada lagi penistaan terhadap agama, karena dengan sistem ini seluruh umat beragama harus saling menghargai dan toleransi antarsatu sama lain.
Di sinilah peran negara dibutuhkan, negara yang mendapat amanah untuk mengurus sekaligus menjaga rakyat dan akidahnya. Negara haruslah tegas dalam bersikap dan bertindak ketika ada kasus yang melecehkan agama. Tidak hanya sebatas penangkapan dan hukum penjara saja namun perlu ada sanksi keras agar menimbulkan efek jera sehingga orang akan berpikir sejuta kali jika ingin melakukan penistaan terhadap agama apapun.
Kehidupan kapitalisme yang salah satu pilarnya adalah kebebasan akhirnya menghasilkan orang-orang yang selalu mencerca Islam dan ajarannya. Termasuk penghinaan terhadap Allah serta Rasul-Nya. Hukum manusia yang dibuat sebagai sanksi penistaan agama terkesan ringan. Karena untuk urusan agama tidak ada yang berkepentingan di situ. Bandingkan jika yang dinista adalah kepala negara, jangankan dinista, rakyat mengekspresikan kritiknya kepada pemerintah saja sudah pasti akan di beri hukum seberat-beratnya. Maka tak heran kasus penistaan agama pasti akan ada lagi dan lagi selama yang digunakan untuk menjerat pelaku adalah hukum buatan manusia.
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata, “Para ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82).
Begitulah Islam dengan tegas memberikan hukuman terhadap pelaku penista agama. Hukum Islam bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan penerapan hukum Islam hanya pada sistem pemerintahan Islam, Daulah Islamiyah.
Jadi apakah ada hukuman yang bisa menghentikan kasus penistaan agama? Jawabannya adalah ada yaitu dengan menerapkan sistem Islam, bukan hanya dari segi hukum namun di semua aspek kehidupan baik itu sosial budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab
Tags
Opini