Oleh : Ummu Aqeela
Paska-Lebaran 2023, angka perceraian di Mojokerto meningkat. Pengadilan Agama (PA) Mojokerto mencatat jumlah berkas permohonan perceraian yang masuk meningkat setelah Idul Fitri 1444 H/2023 dibandingkan sebelumnya. Seperti yang terjadi di sepekan paska-libur Lebaran 2023. PA Mojokerto mencatat sebanyak 110 perkara baru masuk di meja panitera. Dari jumlah itu, sebanyak 81 perkara merupakan perceraian. Padahal sebelum Lebaran 2023, rata-rata panitera menerima 12 atau 13 perkara per hari.
Panitera Muda Hukum PA Mojokerto Farhan Hidayat mengatakan, angka perceraian itu terhitung sangat besar jika disandingkan dengan akumulasi perkara di tiap bulan. Selama ini, PA hanya menerima kisaran 200 sampai 250 perkara baru selama 20 hari kerja setiap bulannya, dengan angka perceraian sebanyak 12-13 kasus. (Beritajatim.com, 10 Mei 2023)
Begitu pula di Padang, Pengadilan Negeri Agama Kota Padang mencatatkan terjadinya lonjakan angka perceraian pasca lebaran Idul Fitri 2023. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Pengadilan Agama Kota Padang Nursal.
“Pasca lebaran 2023, Pengadilan Negeri Agama menangani angka perceraian hingga mencapai 100 pasangan perhari. Hal ini berbeda sebelumnya, sebelum lebaran 2023 Pengadilan Negeri Agama mengurusi hanya 60 kasus perceraian saja setiap hari,” jelasnya saat di konfirmasi awak media.
Sesungguhnya ada dua hal yang selalu menjadi alasan dominan dalam sebuah perceraian. Faktor ekonomi dan pola interaksi sosial yang sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang.
Masalah ekonomi adalah problem yang paking banyak melatarbelakangi perceraian. Contohnya adalah ketika seorang suami tidak mampu memenuhi nafkah bagi kehidupan anak dan istrinya. Hal ini akan berakibat pada kehidupan rumah tangga yang menjadi oleng. Karena sejatinya kebutuhan pokok tersebut tak bisa ditawar-tawar lagi. Sementara, realitas kehidupan mengatakan betapa saat ini lapangan pekerjaan semakin sempit.
Disisi lain harga-harga kebutuhan pokok melambung. Akibatnya banyak profil keluarga-keluarga hari ini yang terseok-seok agar bisa bertahan hidup. Dan jika salah satu dari pasangan suami istri di keluarga ini merasa tak sanggup lagi bertahan. Maka perceraian lah yang menjadi keputusan.
Problem lainnya yang memicu perceraian adalah pola interaksi sosial yang terlepas dari tata aturan Islam. Bercanda antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi hal biasa. Ajang saling curhat bahkan fenomena pelakor pun menjamur. Inilah yang menyebabkan keretakan sebuah keluarga, hingga berujung perceraian.
Dua persoalan inilah yang menjadi problem klasik penyebab tingginya angka perceraian. Mengapa dikatakan klasik? Sebab meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya tidak lepas dari latarbelakang masalah ekonomi atau hadirnya orang ketiga (perselingkuhan).
Ironisnya di sisi lain, solusi atas persoalan ini tak kunjung hadir. Justru angkanya terus meningkat. Seiring angka kemiskinan yang juga meroket. Menjadikan sikap apatis terhadap kehidupan. Termasuk mengambil jalan bercerai sebagai solusi.
Perlu kita pahami bersama bahwa terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju." (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan idaman.
Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya.
Sebagian lagi memilih pasangan idaman hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya.
Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan idaman.
Pernikahan dalam Islam bukan hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan kata lain, pernikahan haruslah dipandang sebagai bagian dari amal salih untuk menciptakan pahala sebanyak-banyaknya, dalam kedudukan masing-masing. Tentunya melalui pelaksanaan hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya.
Kematangan pola pikir dalam memandang kehidupan sebuah pernikahan menjadi kunci utama yang harus dipegang. Hal ini memerlukan proses edukasi secara mendalam,terencan dan menyeluruh. Salah satu usahanya yaitu membina tiap-tiap orang agar mempunyai kesiapan untuk merajut kehidupan pernikahan yang mulia. Ditambah pula harus adanya kesiapan pemahaman tentang bagaimana mengarungi kehidupan seutuhnya.
Semua itu tidak bisa bertumpu hanya pada individu semata. Oleh sebab itulah dibutuhkan peran negara agar tercipta atmosfer keilmuan dan pembinaan di tengah masyarakat. Tentunya edukasi yang dijalankan harus dilaksanakan oleh negara sehingga atmosfer menuntut ilmu akan tercipta dengan baik.
Begitu pula dengan masalah ekonomi. Kapasitas sebuah negara tentu lebih besar pengaruhnya terhadap penyelesaian masalah ini. Sebab sekuat-kuatnya individu bekerja keras dan banting tulang mencari nafkah keluarga. Semua akan terkesan sia-sia jika pengeluaran kebutuhan sehari-hari tak terjangkau.
Oleh karenanya peran negaralah hendaknya sebagai penjamin ketersediaan lapangan pekerjaan dan terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Sebab negara adalah pelayan sekaligus pelindung bagi rakyat.
Seperti sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya” . (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Negara yang mempunyai visi ke depan. Mampu membawa rakyat yang ada di dalamnya menuju pada sebuah kejayaan hakiki. Tentunya negara disini harus mempunyai dasar yang kuat. Hanya dengan menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh, problematika ummat akan terselesaikan tanpa menimbulkan masalah lain.
Begitu pula dengan persoalan keluarga. Negara akan berusaha membina keutuhan rumah tangga dengan cara penanaman akidah yang kuat pada setiap individu masyarakatnya agar biduk rumah tangga dapat terkendali. Karena menikah tak hanya sekedar menyatukan dua insan yang saling memadu kasih, namun menjadi ibadah. Karena sejatinya dari sini peradaban sebuah bangsa akan dimulai. Semoga masa itu akan segera terwujud dan terlaksana dibawah naungan khilafah islamiyah. Karena hanya dibawah naungannya, umat teriayah secara kaffah dari individu, keluarga, masyarakat bahkan negara.
Wallahu'alam bishawab.