Oleh: U. Diar
Idul fitri kali ini publik kembali dihebohkan dengan berita yang cukup mengusik. Yakni tentang pelaksanaan sholat ied di salah satu pondok pesantren yang dinilai nyleneh.
Sebab para jamaah sholat ied di sana menggabung antara jamaah laki-laki dan jamaah perempuan, bahkan terdapat jamaah perempuan yang berada di depan jamaah laki-laki.
Lembaga keagamaan setempat konon sudah pernah berdiskusi dengan pesantren, namun karena kekuasaannya sebatas mengingatkan, maka tak dapat mengambil tindakan lebih bahkan untuk sekedar melakukan intervensi atau melarang. Dan belakangan diketahui pula dari sosial media bahwa ketua pesantren tersebut mengaku bermazhab pada tokoh kebangsaan lokal, sehingga memiliki aturan yang berbeda dengan lainnya.
Apa yang terjadi ini merupakan bukti kesekian kalinya bahwa perihal penyimpangan agama relatif alot untuk diselesaikan. Kendati secara undang-undang sudah terdapat bahasan khusus tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, namun di lapangan kejadian terkait masih berpotensi bermunculan. Terlebih bila tidak ada respon dari masyarakat atau lingkungan yang merasa dirugikan atau terganggu.
Fenomena ini seakan menegaskan bahwa dalam ekosistem yang cenderung sekuler, urusan agama memang tidak begitu mendapat ruang perhatian. Bahkan ketika sekuler ini berkolaborasi dengan konsep kebebasan demokrasi, maka apapun yang berkaitan dengan ekspresi kebebasan terus dijalankan. Justru dengan adanya dalih kebebasan ini pula ada tameng berlindung bagi yang 'menyenggol' atau 'mengubah' ajaran agama tertentu.
Jika dalam merujuk pada pandangan Islam, penyimpangan dan penodaan ajaran agama (terlebih agama Islam), tidaklah dibenarkan. Sebab Islam diturunkan Allah sudah dengan dengan seperangkat aturan yang juga berasal dariNya. Artinya aturan yang diperuntukkan bagi pemeluk Islam adalah aturan Tuhan, yang diperjelas oleh utusanNya, Nabi Muhammad SAW. Aturan IsIam bukan aturan manusia, sehingga jika meyakini Islam maka aturan Allah yang dipahami dari penjelasan Rasulullah saja yang digunakan.
Islam mewajibkan bagi yang meyakininya dengan dalil aqliyah dan naqliyah untuk taat pada apa yang sudah ditetapkan. Jikapun ada ayat yang belum dipahami, maka penjelasannya harus merujuk pada ulama yang kapabel, yang memang mengetahui dan paham akan hal itu. Tidak dibenarkan atas nama kebebasan berpendapat setiap orang menafsirkan sendiri sesuka hatinya.
Dalam IsIam kekuatan dalil lah yang digunakan, sehingga kedaulatan menentukan aturan sesungguhnya hanya ada di tangan Allah itu sendiri. Kondisi ini tentu berbeda dengan konsep kebebasan ala demokrasi, yang setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya. Lalu dipilih di antara pendapat tersebut mana yang cocok berdasarkan suara terbanyak.
Kalaupun pada praktiknya kemudian ada penyimpangan atau bahkan mengarah pada penodaan agama, maka IsIam akan menindak tegas. Hal ini pernah dinampakkan ketika Khalifah Abu Bakar menindak tegas sekelompok orang yang terang-terangan menolak syariat zakat. Khalifah Umar juga menindak tegas Musailamah Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi.
Ketegasan seperti itu pada akhirnya akan menjaga keutuhan Islam itu sendiri. Pun juga akan membuat siapapun yang berencana menyenggol Islam ataupun ajarannya akan berpikir dua kali. Sebab dalih kebebasan yang dijadikan tameng tidak akan mempan di hadapan hukum Islam.
Peduli dan terdepannya penjagaan akan Islam ini bisa sempurna jikalau Islam sudah dipraktikkan secara menyeluruh. Adanya penerapan Islam akan menjadikan masyarakat peduli dan sekaligus menjadikannya bertaji menindak setiap upaya yang mengarah pada pelecehan Islam atau ajarannya. Itulah mengapa kembalinya Islam ke tengah-tengah kehidupan dalam entitas global sangat diperlukan. Sebab tanpa adanya Islam, yang ada hanyalah kecuekan sekulerisme terhadap agama. Inilah yang perlu diakhiri. []
Sumber gambar: aplikasi-indonesia.com