Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Lebih dari tiga tahun silam, WHO menetapkan pandemi Covid-19 sebagai darurat kesehatan global. Saat ini WHO telah menetapkan pandemi Covid 19 berganti menjadi endemi. Namun, meski status darurat Covid-19 berakhir, ancaman virus Covid-19 masih ketir-ketir. Pencabutan status darurat tidak berarti virus hilang sama sekali. Apalagi dalam sepekan terjadi peningkatan kasus aktif Covid.
Dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, baik muslim maupun nonmuslim. Oleh karena itu, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan.
Islam memiliki paket lengkap dalam melakukan upaya promotif, preventif, dan kuratif dalam sistem kesehatan. Jauh sebelum muncul beraneka penyebaran virus di dunia, Islam sudah mengajarkan pola makan, emosi, dan aktivitas yang sehat; kebersihan dan lingkungan yang sehat; perilaku seks yang sehat; juga epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik. Semua itu adalah buah manis diterapkannya hukum syariat secara kafah.
Keberhasilan Islam melakukan upaya promotif preventif yang tecermin pada satu peristiwa yang menandai kesuksesan Rasulullah saw. membangun sistem kesehatan, yaitu selama setahun praktik, dokter kiriman Kaisar Romawi tidak menemukan orang sakit di Madinah.
Upaya kuratif terealisasikan dengan prinsip-prinsip etik kedokteran yang tinggi. Ini menjadi faktor penting agar setiap pasien memperoleh pelayanan penuh, rasa aman, nyaman, terpelihara jiwa dan kehormatannya sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah Taala.
Di antara prinsip etik kedokteran tersebut adalah larangan menggunakan metode pengobatan yang membahayakan akidah, martabat, jiwa, dan fisik pasien. Izin praktik hanya diberikan kepada dokter yang memiliki kompetensi keilmuan kedokteran dan berakhlak mulia. Obat dan bahan obat hanyalah yang halal dan baik saja. Juga ada larangan menggunakan lambang-lambang yang mengandung unsur kemusyrikan dan kekufuran.
Layanan kesehatan berkualitas juga terjamin ketersediaannya. Negara menggratiskan biaya kesehatan bagi warga negara yang membutuhkan, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial, maupun agama. Pembiayaannya bersumber dari baitulmal.
Hal ini pernah terefleksikan pada sikap Rasulullah saw. terhadap delapan orang dari Urainah yang menderita gangguan limpa. Saat itu, mereka datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Mereka dirawat di kawasan penggembalaan ternak kepunyaan Baitulmal, yakni di Dzil Jildr arah Quba’. Selama dirawat, mereka mendapat susu dari peternakan milik Baitulmal. Begitu pula kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab yang mengalokasikan anggaran dari Baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam. (Help Sharia, 20-1-2017).
Khilafah juga mendirikan banyak rumah sakit berkualitas dengan layanan gratis. Contohnya, rumah sakit di Kairo yang didirikan pada 1248 oleh Khalifah Al-Mansyur. Berkapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi masjid untuk pasien dan kapel (gereja kecil) untuk pasien Kristen, serta melayani 4.000 pasien setiap hari. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Demikian penerapan sistem Islam kafah yang memungkinkan bagi kita untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis dengan layanan terbaik. Ini karena paradigma Islam tentang kesehatan bertolak belakang dengan paradigma kapitalisme yang selalu mempertimbangkan untung dan rugi dalam setiap kebijakannya. Maka sudah saatnya kaum muslimin bersatu padu untuk memperjuangkan Kembali tegaknya system Islam, sehingga kesehatan bisa menjadi hak warga yang dinikmati, tanpa terkecuali. Wallahu a’lam bi ash showab.