Oleh : Binti Masruroh
Waktu begitu cepat berlalu, Ramadhan bulan istimewa yang penuh berkah telah meninggalkan kita. Selepas Ramadhan kita patut untuk merefleksi apakah tujuan disyariatkannya puasa Ramadhan yaitu agar kita menjadi orang-yang muttaqin atau orang-orang bertakwa telah terwujud terwujud?
Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqoroh ayat 183 yang artinya ‘’Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(terjemah QS. Al Baqarah :183)
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan bahwa takwa adalah imtitsâlu awâmirilLâh wa ijtinâbu nawâhîhi (melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya).
Perintah dan larangan Allah SWT itu secara sederhana identik dengan halal dan haram, yakni hukum-hukum syariah. Artinya, takwa itu bermakna kesadaran melaksanakan hukum-hukum syariah. Dengan kata lain, takwa adalah kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syariah atas kewajiban mengambil halal dan haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas yang harus diamalkan secara praktis dalam seluruh aspek kehidupan. Baik dalam kehidupan individu, kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara, karena perintah dan larangan Allah atau hukum-hukum syariat Islam ada yang ditujukan kepada individu, ditujukan kepada masyarakat dan kepada negara atau penguasa.
Namun dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler, semangat ketakwaan yang dibangun pada bulan Ramadhan seolah tidak ada bekasnya, memudar seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan. Suasana ibadah dan ketakwaan begitu saja menghilang. Kaum muslimin kembali larut dalam kehidupan sekularisme liberal yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan mereka, kemaksiatan kembali merajalela, kehidupan hedonistic liberal menghiasi hampir semua sudut kehidupan kaum muslimin seperti kondisi sebelum bulan Ramadhan. Jika masih ada ketakwaan itu hanya pada individu individu saja atau sekelompok individu yang sadar akan pentingnya menjaga ketaqwaan pasca Ramadhan.
Kondisi ini terjadi karena sistem kapitalis sekuler menjauhkan agama dalam kehidupan. Sistem kapitalis sekuler menggerus keimanan dan ketakwaan seorang muslim yang dibangun pada bulan Ramadhan. Standar perbuatan dalam sistem kapitalis adalah manfaat. Sedangkan ukuran kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan materi dan jasadiyah. Demi untuk mendapatkan manfaat dan mewujudkan kebahagian sistem kapitalis sekuler memberikan jaminan kebebasan individu yang meliputi kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Karenanya individu dalam sistem kapitalis cenderung tumbuh menjadi individu yang memperturutkan hawa nafsu demi mendapatkan manfaat dan meraih kebahagiaan. Tidak peduli apakah halal atau haram yang penting mendapat manfaat dan bahagia. Akibatnya terjadi seperti fenomena yang terjadi hari ini, banyak kasus dispensasi permohonan nikah dini karena hamil diluar nikah, karena banyak fasilitas tempat kemaksiatan memang difasilitasi.
Media sosial dalam sistem kapitalis sekuler juga berperan dalam menjauhkan ketakwaan, konten konten berbau sensualitas dan seksualitas dengan mudah diakses oleh siapapun, iklan-iklan yang mengajak pada kehidupan hedonistik selalu berkeliaran di laman youtube yang saat ini ada di genggaman hampir semua umat Islam.
Kondisi ini tentu berbeda ketika Sistem Islam. Negara dalam sistem Islam akan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan individu, kehidupan masyarakat maupun bernegara.
Negara selalu berupaya untuk menjaga dan meningkatkan keimanan individu. Melalui penerapan sistem pendidikan Islam yang berbasis Aqidah Islam negara membangun kepribadian Islam pada peserta didik. Dari sini akan lahir individu-individu yang bertakwa dan memiliki keimanan yang kuat. Individu yang memiliki pola pikIr dan pola sikap Islami. Individu yang senantiasa terikat terhadap hukum-hukum Islam, yang menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam setiap perbuatannya.
Dalam sistem Islam masyarakat dididik untuk memiliki kontrol sosial. Amar makruf nahi mungkar menjadi kewajiban setiap individu, Sehingga ketika ada anggota masyarakat yang melakukan kemaksiatan maka maka menjadi kewajiban anggota masyarakat yang lain untuk menasehati dan mengajaknya kembali pada jalan yang benar. Tidak seperti masyarakat dalam sistem kapitalis sekuler saat ini yang dididik memiliki sikap individualis, menghargai dan menerima keberagaman meski itu perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Media sosial dalam sistem Islam tidak akan memuat konten-konten yang bertentangan dengan syariat Islam. Tidak akan ada konten konten yang berbau kemaksiatan seperti pornografi, pornoaksi seperti hari ini. Media sosial hanya menyajikan hal-hal yang bermanfaat, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, ajakan mengagumi alam semesta ciptaan Allah, ajakan untuk semangat belajar, mengembangkan ilmu pengetahuan. Tidak seperti hari ini media berisai hal-hal yang tidak bermanfaat, peramainan-permaiann yang melenakan, hiburan-hiburan yang mengandung kemaksiatan sehingga menggerus Aqidah dan kepribadian umat.
Dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah maka predikat muttaqin akan betul betul terwujud, Negara baldatun toyyibatun wa robbun ghofur akan terealisasi dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al A’rpf ayat 96 yang artinya’ sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niskaya Kami akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (terjemah QS.Al A’raf : 96)
Wallahu a’lam bi ash-showaf.