Perolehan Dan Pengembangan Harta Harus Sesuai AturanNya






Oleh: U. Diar

Kapitalisme telah berhasil menanamkan konsep harta dunia sebagai fokus segala tujuan. Segala sesuatu dipandang berharga apabila ia memiliki nilai lebih berdasarkan standar materi (harta, kedudukan, jabatan). Prestise atas dasar materi ini telah dibenakkan ke khalayak sehingga masa hidup didunia lebih diarahkan untuk banyak-banyakan mendapatkan materi, tinggi-tinggian mendapatkan sanjung dan puji.

Ditambah dengan bercokol kuatnya sekulerisme, maka halal haram tak lagi dipandang sebagai pertimbangan dalam proses mendapatkan aneka materi tersebut. Gak peduli seperti apa, yang penting bisa kaya, begitu kiasan sederhananya. Lalu jika sudah kaya akan bisa flexing di sosial media. Tak heran bila beberapa waktu lalu banyak kasus flexing yang berujung pada penetapan sebagai tersangka, lantaran dalam proses penambahan kekayaannya dipandang ilegal.

Tentu fenomena seperti diatas sebisa mungkin harus dihindari, terutama bagi kaum muslimin. Sebab IsIam, dengan kelengkapan aturannya sejatinya menerangkan pula perihal kepemilikan harta beserta mekanisme pengelolaannya secara terperinci. Dalam buku Sistem Ekonomi Islam, An-Nahbhani menerangkan sebagai berikut:

"Kepemilikan telah didefinisikan sebagai hukum syariah yang berlaku bagi benda atau kegunaan tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut serta memperoleh kompensasi. Karena itu, kepemilikan adalah hukum syariah yang berlaku bagi benda atau kegunaan tertentu. Dengan kata lain, kepemilikan itu merupakan izin As-Syari' (Allah)."

Dengan demikian, pengelolaan harta sebenarnya merupakan konsekuensi dari hukum syariah ini, yaitu konsekuensi dari adanya kebolehan bagi pemilik untuk memanfaatkan barang dan sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya pemanfaatan tersebut. Jadi, pengelolaan kepemilikan tersebut sebenarnya terikat dengaan izin As-Syari'. Pasalnya, kepemilikan hakikatnya adalah izin As-Syari' atas suatu pemanfaatan, sementara pengelolaan adalah pemanfaatan itu sendiri.

Ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan. Dalam hal ini dia terikat dengan hukum-hukum syariah dan bukan bebas mengelola secara mutlak. Adapun dalam ekonomi IsIam, pengembangan harta dan pengembangan kepemilikan terikat aturan tertentu. Pengembangan harta terikat dengan cara dan sarana produksi yang digunakan untuk menghasilkan harta. Sedangkan pengembangan kepemilikan terkait dengan suatu mekanisme yang digunakan oleh seseorang untuk menghasilkan penambahan kepemilikan tersebut.

Pada hakikatnya harta meliputi tiga macam: tanah, harta yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang, harta yang diperoleh dengan cara mengubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk lain. Cara memperoleh/memiliki harta umumnya meliputi bekerja, waris, kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup yang yang dijamin negara, pemberian hata negara untuk rakyat, dan harta-harta yang diperoleh oleh seseorang tanpa mengeluarkan kompensasi berupa harta atau tenaga misalnya berupa hadiah.

Sedangkan cara mengembangkan harta biasanya dengan pertanian, perdagangan, dan industri. Maka mekanisme berupa aturan Islam dalam hal pertanian, perdagangan, dan industri lah yang sebenarnya menjelaskan bagaimana konsep mengembangkan kepemilikan atas harta seseorang.

Syariah telah menjelaskan hukum-hukum pertanian ketika menjelaskan hukum-hukum tanah serta hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum pertanahan tersebut. Syariah telah menjelaskan hukum-hukum perdagangan, ketika menjelaskan hukum-hukum jual beli dan perseroan serta hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Syariah telah menjelaskan tentang industri, ketika menjelaskan hukum-hukum tentang ketenagakerjaan dan industri.

Sedangkan terkait kepemilikan, Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Masing-masing telah ditetapkan pula batasan-batasannya, sehingga tidak dibenarkan adanya penyimpangan. Sebab menyimpang berarti melanggar aturan pemanfaatan harta dari Zat Pemilik Sejati harta tersebut. Aturan ini berfungsi sebagai mekanisme atau prosedur asas dalam pemanfaatan harta sekaligus sebagai kontrol apabila ada penyimpangan. Dengan basis ketaatan, maka kepemilikan tidak akan dilanggar, sehingga akan ada kebaikan sebagai imbas kepatuhannya.

Kondisi ini berbeda dengan tata kelola ala kapitalis. Batas antar-kepemilikan samar, sehingga yang seharusnya menjadi hak umum tak sedikit yang kemudian disalahgunakan hingga diindikasikan dikuasai swasta atau asing. Akibatnya akses pada kebutuhan harta umum tersebut tidak dapat dirasakan semua kalangan. Ujungnya terjadilah jurang ketimpangan antara yang mampu mengakses dan yang tidak mampu.

Ketimpangan ini pada akhirnya sulit disetarakan sebab posisi yang mampu akan berusaha mempertahankan sebisa mungkin akan terus enak. Pada saat yang sama, peluang bangkit dari yang lemah semakin sulit. Hingga akhirnya yang sudah sulit akan terus dalam posisi sulit kendati sudah berusaha banting tulang. Kesejahteraan hanya impian, sulit diwujudkan secara menyeluruh. Dari sini maka sudah selayaknya bila pengelolaan harta itu dikembalikan pada bagaimana Allah mengatur. Dilandaskan pada bagaimana syariah menjelaskan. Sebab hanya dengan cara seperti itulah sejatinya harta akan membawa pada kebaikan dunia dan akhirat, merata dirasakan semua pihak.[]

Sumber gambar: esnbanten.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak