Oleh: Mega Puspita
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Provinsi Lampung pada Jumat (5/5) untuk mengecek jalanan rusak yang sempat viral di media sosial.
Kunjungan kali ini turut menyedot perhatian publik. Terlebih, kala mobil Jokowi yang berpelat RI 1 itu menerjang jalanan rusak.
Presiden Jokowi menjanjikan perbaikan jalan-jalan yang rusak di Lampung dilakukan "secepat-cepatnya".
"Secepat-cepatnya dimulai [perbaikan jalan] yang rusak. Yang kira-kira provinsi tidak memiliki kemampuan, kemudian kabupaten tidak memiliki kemampuan, akan diambil alih untuk Kementerian PU [Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat], utamanya yang jalannya rusak parah," kata Jokowi selepas meninjau harga kebutuhan pokok di Pasar Natar, Lampung Selatan, Jumat (05/05).
Jokowi mengatakan pemerintah pusat akan "mengambil alih" perbaikan 15 ruas jalan yang sudah rusak parah dalam kurun waktu yang lama dan menganggarkan "kurang lebih Rp 800 miliar".
Ternyata kondisi infrastruktur di tingkat kabupaten maupun wilayah di bawahnya memang menyimpan permasalahan. Kondisi di Lampung ini sejatinya menggambarkan fenomena ‘gunung es’ yang juga terjadi di tempat lain. Buktinya, setelah Jokowi turun ke Lampung, banyak para netizen menyampaikan aspirasi mereka, mengabarkan kondisi jalan di wilayah mereka juga tidak baik-baik saja.
Kondisi jalanan yang dibiarkan rusak selama bertahun-tahun, jelaslah sebuah bentuk ketidakpedulian atau abainya jajaran pemerintahan, baik itu eksekutif maupun legislatif dalam melihat problematik masyarakat atau kebutuhan rakyat pada umumnya.
Mereka seharusnya peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat terutama permasalahan transportasi yang menjadi tulang punggung kegiatan masyarakat, baik kegiatan sosial maupun ekonomi.
Pertanyaannya, apakah harus menunggu sampai viral dan terganggunya citra penguasa pada tahun pemilu, baru kemudian mereka peduli dengan rakyat? Padahal notabene memenuhi fasilitas publik dan kebutuhan masyarakat adalah kewajiban penguasa yang menjadi hak setiap individu rakyat di negeri ini.
Seharusnya, penguasa peduli dengan kondisi masyarakat karena mereka sejatinya adalah pelayan rakyat yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat, bukan demi pencitraan pribadi dan nafsu politik untuk berkuasa lagi. Namun, dalam sistem demokrasi memanglah demikian adanya. Penguasa dan pencitraan bak saudara kembar yang tidak terpisahkan.
Demikian juga, persoalan baru akan diselesaikan jika sudah viral dalam media sosial atau dikabarkan dalam media massa.
Islam memandang kekuasaan adalah amanah dari Allah Swt. yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketika seseorang mengambil amanah, ia harus menunaikan amanah itu sebaik-baiknya agar tidak menjadi penyesalan di akhirat.
Maka haruslah dipilih penguasa dari individu yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi kepada rakyat
Dalam Islam, penguasa ibarat penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas gembalaannya. Penguasa yang dalam Islam disebut sebagai Khalifah harus melayani rakyatnya, memenuhi kebutuhan pokoknya, termasuk membangun fasilitas-fasilitas jalan dan infrastruktur lainnya untuk memudahkan kehidupan agar rakyat mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Di sisi lain, rakyat pun berhak untuk menyampaikan aspirasinya, bahkan wajib melakukan muhasabah lil hukam kepada penguasa. Dengan demikian, setiap permasalahan segera teratasi dan tidak dibiarkan berlarut-larut, tanpa menunggu adanya potensi kerugian atau bahaya yang mengancam keselamatan rakyat.
.
Tags
Opini