Paradoks Industrialisasi, Penyerapan Tenaga Kerja Hanya Janji




Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial dan Keluarga

Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, hingga suku bunga tinggi melanda dunia pada 2023. Hal itu pun berpotensi mempengaruhi tingkat pengangguran, termasuk di negara-negara Asia Tenggara. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, Filipina menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi pada 2023. Persentasenya diproyeksikan mencapai 5,4% pada tahun ini. Indonesia menyusul di urutan kedua dengan proyeksi tingkat pengangguran sebesar 5,3%. Kemudian, tingkat pengangguran di Malaysia diperkirakan sebesar 4,3%. (www.dataindonesia.id, 23/04/2023)
Pengangguran dari tamatan SMK masih merupakan yang tertinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 9,6%. Ini karena kompetensi lulusan SMK dianggap masih belum bisa memenuhi kebutuhan industri. (Kumparan, 6-5-2023).

Era industrialisasi yang seharusnya mampu menyerap tenaga kerja, nyatanya hanya janji palsu. Ini merupakan paradoks. Sedari dahulu, industri tidak bisa menjadi sektor utama dalam menyerap tenaga kerja. Bahkan, kini penyerapan tenaga kerja di sektor informal meningkat hingga mencapai 60%. Tidak heran banyak pengamat ekonomi mengatakan bahwa gejala deindustrialisasi telah tampak di negeri ini.
Ini karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, pemerintah mengandalkan swasta dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Lihat saja industri manufaktur yang diandalkan dalam menyerap lapangan pekerjaan, hampir semuanya milik swasta. Jika swasta yang memegang kendali, bukan kesejahteraan pekerja yang menjadi fokus, melainkan profit perusahaan.

Tingginya angka pengangguran yang berasal dari SMK sedang menggambarkan adanya kesalahan rancangan pendidikan dalam kaitannya dengan program pembangunan. Pendidikan vokasi ataupun link and match dunia industri dengan pendidikan, hanya akan menghasilkan SDM berkualitas rendah sebab terus mengikuti kepentingan industri.

Pendidikan by demand atau disesuaikan dengan permintaan industri, lulusannya hanya mentok untuk memenuhi kebutuhan industri. Mereka tidak akan mampu mandiri menciptakan industri sendiri dan berinovasi. Walhasil, dengan keterbatasan industri, lulusannya banyak yang tidak terserap.
Rancangan pendidikan seperti ini seperti sedang memenjarakan anak bangsa untuk terus menjadi buruh murah tanpa mendapat kesempatan untuk memiliki visi tinggi dengan menciptakan industri baru yang inovatif. Bukankah itu artinya juga kurikulum vokasi yang masif digencarkan ini serupa alat penjajah untuk makin menancapkan hegemoni ekonominya di negeri ini?

Oleh sebab itu, solusi terserapnya lulusan SMK justru bukan pada link and match dunia pendidikan dan industri, tetapi pada paradigma pendidikan itu sendiri. Jika pendidikan fokus mencetak SDM berkualitas, yaitu yang mampu berkontribusi untuk kemaslahatan umat, jumlah pengangguran pun akan turun dengan sendirinya.

Mereka akan memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya yang akan menaikkan daya tawar sebagai pekerja. Terlebih, dengan kemampuannya, mereka akan memiliki kemampuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Wallahu A’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak