Oleh: Rinica M
Tubuh manusia adalah satu kesatuan yang saling terkoneksi satu sama lain. Satu kontrol terhadap metabolisme, satu keteraturan terhadap sensasi rasa dari sistem sarafnya, satu respon yang sama terhadap reflek yang datang menimpa.
Maka jika nyata ada benda yang akan dipukulkan oleh seseorang ke area wajah di bagian kepala, tangan secara reflek akan menghadang, badan secara spontan akan mundur atau bergeser menjauhi sumber penyebab sakit. Demikianlah gambaran jika satu sistem tubuh manusia terkoneksi secara sempurna.
Ibarat satu tubuh, saling merasakan sakit, begitulah kaum Muslim diumpamakan oleh Rasulullah. Namun, anehnya gambaran kinerja satu tubuh ini seolah tidak berjalan tatkala membahas tentang derita Palestina. Padahal negeri para Nabi itu terus saja penduduk aslinya dianiaya oleh Isra3l. Bahkan saat di belahan bumi lain kaum muslimin bisa khusyuk menikmati ibadah Ramadan, penduduk Palestina terpaksa bertahan di tengah serangan Israel yang masuk ke masjid al Aqsa.
Parahnya pada awal Mei ini, tentara Isra3l dikabarkan kembali melakukan serangan udara. Pesawat tempur mereka menembaki sejumlah titik di Gaza, seperti bagian selatan jalur Gaza serta di bagian barat daya Kota Gaza. Dikabarkan Anadolu Agency (3/5/2023), akibat serangan tersebut satu warga Palestina tewas dan lima orang terluka.
Sebelumnya Isra3l juga melakukan unjuk kekuatan dengan mengebom beberapa lokasi di Gaza dan mengerahkan ratusan pemukim ke masjid al Aqsa di Yerusalem Timur dan masjid Ibrahimi di Hebron. Mereka mengelilingi pintu-pintunya, mengibarkan bendera mereka dalam rangka merayakan 75 tahun pendudukan mereka.
Waktu sepanjang itu tentulah mengartikan betapa panjangnya derita Palestina atas kekejaman pendudukan Isra3l. Penjajah seenaknya saja mau menyerang, mereka tak memedulikan waktu. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kok bisa mereka terus berani dzalim? Bukankah seharusnya penjajah takut karena Palestina dikelilingi oleh saudara Muslim di negeri tetangga?
Tapi nyatanya ketika kepala dipukul, tubuh lainnya seakan tak merespon, tak juga mengumpulkan kekuatan untuk mengusir pemukul pergi. Tubuh lainnya malah mendiamkan, maka tak heran pemukul makin beringas karena merasa tidak ada yang menghalangi dan tidak ada yang melawan. Muslim di sekitar Palestina tidak bisa berbuat banyak karena sekat kenegaraan.
Padahal jika mau, setiap tubuh bisa saling melindungi, bahkan bisa saling menghimpun kekuatan mengusir penjajah pergi dari bumi Palestina. Mengutip pendapat Direktur Indonesian Justice Monitor, Agung Wisnuwardana, sudah waktunya bagi semua umat untuk memutus seluruh hubungan dengan rezim penjajah ini. Sudah waktunya bagi tentara dunia Muslim yang kuat untuk menyucikan tempat isra'nya Rasulullah dari kekejian Isra3l.
Pendapat tersebut benar adanya, sebab hanya dengan perginya pemukul badan sajalah penderitaan Palestina dapat dihentikan. Jika terus menerus penjajah berasa di sana, dan juga sekat negara bangsa masih menghadang warga Muslim dari wilayah lain untuk turut membantu, maka akan berat untuk membawa Palestina menjadi negeri yang bebas.
Oleh karena itu diperlukan kekuatan sebanding yang mampu aple to aple untuk melawan penjajahan atas Palestina. Tentunya ini bukan perkara murah lagi mudah. Namun ia akan tetap menjadi keniscayaan. Persatuan kaum Muslim dalam satu komando kepemimpinan dunia adalah jawaban sebanding buat entitas Isra3l yang harus dikeluarkan dari Palestina. Palestina tetaplah menunggu bantuan untuk dibebaskan, bebas dari penjajahan, dan bebas dari penderitaan. Dan yang bisa serius membantu secara terprogram adalah adanya entitas Islam (kh1lafah). Inilah yang harus dihadirkan kembali. []