Koruptor dan Kebencian terhadap Ajaran Islam



*Oleh : Arini


Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pun melakukan penahanan terhadap DES yang baru terpilih kembali sebagai dirut di perusahaan konstruksi milik negara tersebut. DES menjadi dirut WSKT dua periode setelah ditunjuk pada media.
Republika.co.id. (29/4/2023).


Korupsi pada dalil Acton tersebut bukan hanya terkait uang, melainkan juga politik atau kebijakan. Lebih parah lagi jika korupsi kekuasaan itu dibalut oleh slogan, ‘ini negara demokrasi’. Seolah demokrasi menjadikan korupsi absah. Budaya korupsi di negeri ini seakan tumbuh subur. Padahal bangsa ini telah memiliki undang-undang bagi setiap pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman kurungan pun ternyata tidak mampu memberikan efek jera bahkan korupsi bagaikan virus yang setiap saat mewabahi para elit-elit politik untuk menjadi koruptor. Bahkan sekelas Mentri Agamapun terlibat skandal jual beli jabatan, tak hanya itu elit-elit politik yang menjadi garda terdepan dalam membela NKRI pun terjerumus melakukan korupsi.

Kemudian Menopara, Imam Nahrawi yang telibat kasus suap hibah KONI ( Komite Olahraga Nasional Indonesia). Selanjutnya ada kasus suap PLTU yang menyeret Idrus Madani.
Perjalanan para elit politik ini rupanya tak lepas dari kebencian mereka kepada ajaran Islam. Terlebih lagi kepada khilafah. Bagi para koruptor mereka menganggap bahwa khilafah adalah suatu ancaman bagi pancasila maupun kedaulatan NKRI.

Khilafah diframing burukkan seolah tidak membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia. Padahal khilafah sendiri merupakan ajaran islam yang wajib didakwahkan bahkan diperjuangkan.
Namun bagi pengusung ideologi kapitalisme, khilafah tidak pantas diterapkan di negeri ini karena bertentangan dengan nilai luhur pancasila serta kedaulatan NKRI. Tapi lagi dan lagi fakta lapangan membuktikan justru yang mengusung dan menjadi pembela NKRI ternyata rata-rata melakukan tindak pidana korupsi.
Wajar saja bila khilafah sebagai ajaran islam di benci sebab dalam pemerintahan khilafah tindak pidana korupsi tidak dijerat dengan UUD 1945 seperti saat ini tetapi ada sistem sanksi hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Solusi Islam

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Ini menunjukkan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan. Lantas, bagaimana langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya?.

Pertama, Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah Islam.
Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis umat memiliki sifat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Ini untuk menekan korupsi, suap, dan lainnya.
Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara. Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i,baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat.
Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan

Kedua, dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. (Lihat QS al-Fajr [89]: 14; QS al-Hadid [57]: 4).
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana’ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.

Ketiga, politik ri’ayah bertujuan untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa. Bukan tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus. Karena itu untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier.
Di dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh Pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Adapun kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.
Perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan dengan berbasiskan sektor riil yang akan memberikan lapangan kerja yang luas bagi rakyat (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam). Sistem moneter yang diterapkan berbasis emas yang terbukti anti inflasi. Karena itu harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah).

Di dalam pemerintahan Islam biaya hidup juga murah karena politik ekonomi negara adalah menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh
Sistem moneter yang diterapkan berbasis emas yang terbukti anti inflasi. Karena itu harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah). Calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya diproses hukum. Calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya diproses hukum.

Keempat, sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang.
Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Alhasil, siapapun dengan hati ikhlas dan akal yang waras merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptor itu malah bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini.
Karena itu, perubahan menuju ke arah dan solusi Islam dalam memberantas korupsi, harus segera dilaksanakan. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan Islam secara kaffah.

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak