Oleh : Watini, S.Pd
(Pemerhati Masalah Publik)
Kasus korupsi semakin masif terjadi. Tak hanya politisi bahkan sektor lain pun terjerat korupsi. Jika terus-menerus dibiarkan, tentu badai kehancuran yang akan menghantam negeri ini. Sehingga sudah selayaknya seluruh komponen bangsa memerangi korupsi dan mencegahnya supaya tidak menjadi tradisi dalam negeri. Artinya, jangan menganggap korupsi sebagai kebiasaan yang wajar terjadi. Sebab, bukan hanya negeri yang merugi tapi juga seluruh pundi-pundi kehidupan, diantaranya kesejahteraan rakyat tergadai kembali.
Seperti kasus belum lama ini, kasus korupsi yang dilakukan oleh Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES). Ia diduga terlibat dalam penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank yang dilakukan oleh Waskita dan anak usahanya PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut, DES melawan hukum memerintahkan dan menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF). Modusnya dengan menggunakan dokumen pendukung palsu yang kemudian digunakannya sebagai pembayaran utang-utang perusahaan yang diakibatkan oleh pencairan pembayaran proyek-proyek pekerjaan fiktif (katadata.co.id,29/04/2023).
Atas perbuatan tersebut, penyidik sementara ini menjerat tersangka DES dengan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Nilai kerugian negara dalam kasus penggunaan fasilitas pembiayaan bank tersebut mencapai Rp 2 triliun. Dana itu untuk pembangunan proyek nasional, seperti pembangunan jalan tol dan sarana material konstruksi lainnya (Republika.co.id, 29/04/2023).
Sebelum Destiawan, Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan empat orang tersangka, yakni Direktur Operasional II PT Waskita Karya periode 2018 sampai dengan sekarang Bambang Rianto (BR), Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya periode Juli 2020 sampai Juli 2022 Taufik Hendra Kusuma (THK). Kemudian, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Waskita Karya periode Mei 2018-Juni 2020 Haris Gunawan (HG) dan Nizam Mustafa (NM), selaku Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya. Keempat tersangka berkasnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, dan telah disidangkan (cnnindonesia.com, 29/04/2023).
Jelas sangat miris dan memprihatinkan. Dana yang seharusnya dinikmati rakyat melalui program pembangunan nyatanya tidak didapatkan. Hanya karna kerakusan segelintir orang, kesejahteraan rakyat terabaikan. Ini membuktikan sistem saat ini telah mencetak individu yang rusak moralnya. Sebab Demokrasi dan korupsi bagaikan dua sisi mata uang yang saling menopang. Dimana dalam sistem ini dibangun dari asas manfaat dan motif materi, wajar jika lahir individu-individu rakus yang ingin memperkaya diri sendiri.
Di sisi lain, “tradisi” ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Korupsi ibarat lingkaran setan yang harus segera dihentikan. Satu-satunya cara adalah dengan mengganti sistem demokrasi dengan sistem yang mampu menutup peluang korupsi yakni sistem Islam. Sistem Islam mencegah sedari dini individu untuk memiliki niat korupsi. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dengan menjalankan Islam secara kaffah di berbagai aspek kehidupan, akan tercipta individu-individu bertakwa yang memiliki rasa takut untuk bermaksiat karena mereka selalu merasa diawasi oleh Allah Ta'ala. Dari sisi ini, ketakwaan individu inilah yang sekarang telah hilang. Bahkan, harus diakui, sengaja ada pengondisian individu untuk tidak bertakwa melalui berbagai macam program sekuler liberal, seperti moderasi beragama, liberalisasi pendidikan, dan liberalisasi sosial ekonomi. Orientasi kehidupan diarahkan semata-mata untuk materi, bukan untuk meraih rida Ilahi.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanaah dengan pemberian Allah Swt., maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih rida Allah Swt. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat, atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Seperti yang dicontohkan oleh khalifah Umar ra. Jika Khalifah Umar ra., mendapati kekayaan seorang wali atau amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan yang tidak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitulmal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan, juga Amr bin Al-Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47).
Ini untuk kasus yang syubhat. Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, hukumannya adalah takzir. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati; bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.
Dengan demikian penerapan syariat Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam. Bukan malah memberi tuduhan sebagai pihak yang membahayakan bagi negeri. Sebab nyatanya para pelaku korupsilah yang merugikan negara. Dan sudah saatnya negara menerapkan sistem Islam yang jelas-jelas dapat memberantas korupsi secara tuntas.
Wallahua'lam bish-showab