Korupsi Makin Menjadi, Demokrasi Harus Diganti




Oleh : Eti Fairuzita


Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pun melakukan penahanan terhadap DES yang baru terpilih kembali sebagai dirut di perusahaan konstruksi milik negara tersebut. DES menjadi dirut WSKT dua periode setelah ditunjuk pada medio Februari 2023.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, DES ditetapkan tersangka pada Kamis (27/4/2023). Namun, yang bersangkutan baru dapat dilakukan penahanan pada Jumat (28/4/2023).
"Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, DES pada Jumat (28/4/2023) langsung dilakukan penahanan," kata Ketut lewat pesan singkatnya di Jakarta, Sabtu (29/4/2023).

Tersangka DES dilakukan penahanan tahap pertama selama 20 hari di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejakgung. "Penahanan dilakukan terhadap yang bersangkutan untuk mempercepat proses penyidikan terkait perkara," terang Ketut.
Dia menjelaskan, keterlibatan tersangka DES dalam dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiyaan bank oleh WSKT dan WSBP. Menurut Ketut, tersangka DES adalah pihak yang memerintahkan dan menyetujui pencairan dana supplay chain financing (SCF). Dari penyidikan terungkap dokumen dalam pencairan SCF tersebut palsu.

Pencairan SCF tersebut, dikatakan Ketut, untuk pembayaran utang perusahaan. Semua utang perusahaan tersebut dalam penyidikan terungkap terjadi karena adanya proyek-proyek pembangunan dan pengerjaan fiktif yang dilakukan oleh PT Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast atas permintaan tersangka DES.

Atas perbuatan tersebut, kata Ketut, penyidik sementara ini menjerat tersangka DES dengan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Pengungkapan dugaan korupsi di WSKT dan WSBP sudah dalam penyidikan sejak pengujung 2022.

Kasus korupsi di negeri ini memang sudah menjadi masalah kronis, seperti penyakit kanker yang sudah mengakar kuat, bahkan merusak organ tubuh lainnya. Sayangnya, sekalipun realita ini sudah diindera oleh semua kalangan termasuk pemangku kebijakan, upaya untuk menyembuhkan penyakit ini terkesan asal-asalan.
Bahkan dengan adanya lembaga negara semisal KPK pun, kasus korupsi justru terus-menerus bermunculan seolah tidak pernah berhenti.

Menurut keterangan dari ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan, KPK telah melakukan pemulihan aset sepanjang Januari-November 2022 senilai Rp.494,54 miliar, atau melampaui capaian pada 2021 yang sebasar RP.416,94 miliar. Sejak 2004-November 2022, Firli menyebut total tersangka yang ditangani KPK adalah sebanyak 1.479 orang. 

Banyaknya tersangka kasus korupsi, sejatinya adalah konsekuensi logis penerapan sistem politik demokrasi kapitalis. Pasalnya, legalitas pengusa demokrasi yang berkuasa dilihat dari hasil suara mayoritas. Untuk mendapat suara mayoritas ini, tentu dibutuhkan modal yang besar. Dimana modal ini tidak mungkin berasal dari kantong pribadi karena mahar politik demokrasi yang begitu mahal.

Dilansir dari www. CnbcIndonesia.com, 14 Oktober 2020 Firli Bahuri mengatakan, rata-rata 82,3% calon kepala daerah menyatakan ada donatur dalam pilkada. Pada 2017 itu, 82,6% disokong sponsor, sementara pada 2018 70,3% disokong sponsor juga. Jelas, sistem politik seperti ini menjadi habitat budaya korupsi makin subur terjadi.

Sistem demokrasi yang lahir dari sistem sekulerisme-kapitalisme juga melahirkan para elit politik dan para oligarki politik yang rakus. Buktinya, para koruptor akan saling melindungi satu dengan yang lain. Jika kasus itu terbongkar pelakunya saja yang dikorbankan, sementara kasusnya sering ditutupi dan tak menyentuh otak dibalik korupsi. Sistem politik ini juga menghasilkan politicall will, sistem hukum dan peradilan yang lemah.

Salah satu buktinya adalah penerbitan SP3 dalam kasus korupsi BLBI. Dengan penerbitan SP3 ini, secara otomatis KPK melepas status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan isterinya Ijtih Nursalim. Hal itu didasari atas putusan MA atas kasasi Nomor.1555 K/2019 tanggal 9 Juli 2019.
Bukti lainya adalah revisi UU KPK justru membatasi gerak KPK, bahkan adanya tes wawasan kebangsaan dengan soal tak relevan telah membuang orang-orang yang dikenal baik dalam menjalankan tugasnya di KPK.

Karenanya tidak mungkin kasus korupsi bisa bisa diselesaikan jika sistem yang digunakan masih sistem politik demokrasi sekulerisme-kapitalisme. Korupsi hanya bisa diminimalisir bahkan dihentikan, jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam yakni Khilafah. Dimana sistem ini menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Termasuk mengatur agar pejabat tidak melaksanakan kemaksiatan, termasuk tindakan korupsi.

Adapun mekanisme yang dilakukan adalah sebagai berikut ; pertama, Islam melarang para pegawai negara menerima harta selain gaji atau tunjangannya seperti suap apapun bentuknya. Mereka juga tak boleh menggunakan harta yang ada dalam tanggung jawabnya. Hal ini termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh dengan cara curang. Selain itu, mereka juga dilarang memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Kedua, Khilafah memiliki Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan.
Abdul Qadim Zalum dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan.

Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khathab yang mengangkat pengawas yaitu Muhamad bin Maslamah. Beliau bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Khalifah Umar bin Khathab memerintahkan agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak dan tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka harus disita dan memasukan harta ghulul tersebut ke pos kepemilikan negara di Baitul Mal. 

Ketiga, Khilafah akan memberi gaji yang cukup, agar para pejabat bisa memenuhi kebutuhan mereka. Kebijakan ini juga dihitung dengan sistem ekonomi Islam yang memerintahkan Khilafah menyediakan biaya hidup terjangkau dan murah untuk kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan. Sedangkan kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan sudah menjadi jadi tanggung jawab Khilafah secara mutlak. Alhasil, warga Khilafah baik itu pejabat atau warga biasa terjamin kebutuhan hidupnya. 

Ke empat, Khilafah menerapkan syarat takwa dan amanah sebagai ketentuan selain syarat professionalitas, ketika mengangkat pejabat atau pegawai negara. Ketakwaan ini akan menjadi pengendali internal agar seorang individu tidak berbuat kemaksiatan dan menunaikan amanah dengan benar.

Kelima, Khilafah akan menerapkan sanksi ta'zir pada pelaku korupsi karena berkhianat kepada negara. Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam Nizamul Uqubat menjelaskan dari Jabir bin Abdullah  Rasulullah Saw Bersabda :"Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan penghianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret," (HR. Abu Dawud).

Sistem uqubat Islam ini pun akan membawa efek yang khas yakni sebagai jawabir atau penebus dosa bagi pelaku kelak di akhirat dan efek zawajir atau pencegah masyarakat agar tak melakukan perbuatan yang sama. Inilah solusi fundamental yang ditawarkan Khilafah untuk menuntaskan kasus korupsi di negeri ini. Selain hukuman tegas yang diberlakukan oleh negara, ketakwaan individu juga menjadi kunci utama dan didukung oleh suasana keimanan yang terus-menerus dijaga oleh semua warga negara dengan senantiasa tunduk terhadap seluruh syariat-Nya.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak