Korupsi Budaya Bangsa?



Oleh: Mirna


Korupsi dan kepribadian bangsa Indonesia seperti saudara kembar namun beda sumber. Sejak dulu korupsi seolah menjadi culture yang hidup dalam sel-sel darah para penguasa dan pemimpin Negeri. Pada kasus baru-baru ini, saat seorang pemuda asal Lampung, Bima menyampaikan kritik terhadap pengelolaan jalan dan infrastruktur yang jauh dari ata layak, membuat heboh jagat maya. Para pemimpin seakan di bongkar boroknya. Mereka ramai menyebut itu Hoaks namun realita berkata sebaliknya. Anggaran dana pembangunan infrastrutur raib, sampai jalan-jalan utama bahan tidak layak digunakan sebagai jalur trasnportasi. Sungguh miris, uang yang seharus digunakan untuk kepentingan rakyat umum diembat guna memenuhi nafsu individu hanya karena memiliki kuasa. Bukan hanya tentang inftrastruktur namun lamanya seseorang menduduki jabatan juga memicu terjadinya penyelewengan dana anggaran. Sehingga wajar kasus KKN sering terjadi di negara ini.

Berdasarkan hasil pemantauan trend penindakan kasus korupsi semester I tahun 2022 saja, ICW mencatat setidaknya terdapat 252 kasus korupsi dengan 612 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangaka dan potensi kerugian negaranya mencapai Rp33,6 Triliun. Selain untuk memetakan kasus korupsi, pemantauan ini juga dilakukan guna melihat kinerja di tingkat penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Hasil pemantauan ini menunjukkan belum optimalnya penindakan kasus korupsi. Sebab, jika dilihat berdasarkan target yang tertera dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2022, target keseluruhan penegak hukum selama semester I tahun 2022 adalah sebanyak 1.387 kasus di tingkat penyidikan. Artinya, jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang diusut, maka penegak hukum hanya berhasil merealisasikan sebesar 18% dari target atau memperoleh nilai E (SANGAT BURUK).

Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada 2022 mengalami penurunan empat poin. Hingga berada di skor 34. Nilai ini sama dengan capaian pada tahun 2014. Penurunan tertajam terjadi pada korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor IPK merupakan indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) di 180 negara dan wilayah. Indeks ini berdasarkan kombinasi dari 13 survei global serta penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia sejak tahun 1995. Penurunan tertajam IPK terjadi pada indikator Political Risk Service (PRS) Internasional Country Risk Guide dari poin 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022. PRS terkait dengan korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor. Dari sumber data yang dikumpulkan, korupsi politik masih marak ditemukan, seperti suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi.
Indikator ekonomi mengalami tantangan besar, antara progresivitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi. Sementara indikator penegakan hukum antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. 

Hal itu terlihat dari masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum. Menurut Sekretaris Jendral TII J Danang Widoyoko turun drastisnya skor IPK Indonesia 2022 merosotnya skor IPK menunjukkan strategi tersebut tidak berjalan. Pemberantasan korupsi di sektor strategis lainnya, seperti korupsi politik dan peradilan, tidak menunjukkan stagnasi. Namun, kecilnya kenaikan skor World Justice Project-Rule of Law Index dari 23 ke 24 dan Varieties of Democracy Project dari 22 ke 24 memperlihatkan di dua sektor ini tidak ada terobosan kebijakan.

Padahal, dua sektor ini merupakan sektor penting yang menghambat kenaikan IPK Indonesia. Stagnasi pencegahan korupsi politik dan korupsi peradilan pada akhirnya berkontribusi pada turunnya skor dan peringkat Indonesia. Melihat turunnya IPK, TII mendorong pemerintah memprioritaskan komitmen antikorupsi, memperkuat check and balances, menegakkan hak atas informasi, dan membatasi pengaruh swasta untuk membersihkan dunia dari korupsi serta ketidakstabilan yang ditimbulkannya.

Maraknya korupsi dan rendahnya IPK sebenarnya tidak lepas dari buruknya system yang mengatur Negara. Sistem Kapitalisme menjadi penyebab utama suburnya tindakan korupsi. Mahalnya biaya pesta demokrasi adalah akar rampai KKN dalam tubuh pemerintahan. Adanya tuntutan balik modal membuat orang-orang yang duduk dikursi pemerintahan hanya fokus pada upaya feedback modal kampanye daripada memenuhi janji-janji pada rakyat yang memilih. Tindakan memperkaya diri sendiri adalah bukti gagalnya sistem demokrasi sekuler, system ini mencetak generasi yang haus hedonisme hingga materi menjadi tujuan utama hidup bukan ridho Allah. 

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi pun seakan mimpi saja. Kegagalan demi kegagalan adalah bukti ketidak sinergisan solusi dari system kapitalis, dengan kata lain apapun yang dilakukan jika sistemnya masih sama, maka mustahil kasus korupsi angkat kaki dari negeri ini.

Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengganti system Kapitalis dengan system yang bersih dan berasal dari aturan yang Maha Kuasa serta terbukti berhasil mengatasi masalah korupsi. Sistem ini adalah system Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist, sebuah system yang terbukti mampu mensejahterakan rakyat dengan tiada korupsi didalamnya. Ketakutan akan dosa dan ketaatan terhadap amanah menjadi salah satu blok pencegah korupsi, dan jikapun korupsi tetap terjadi maka pelaku akan diberi sanksi seberat mungkin agar ada efek jera dan contoh bagi pihak lain yang memegang tampuk kekuasaan . Wallahualam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak