Kontradiksi Mega Proyek Food Estate



Oleh: Ari Sofiyanti


Demi menghadapi ancaman krisis pangan, pemerintah mengambil solusi mega proyek food estate. Solusi ini diklaim berhasil oleh pemerintah meskipun memunculkan banyak masalah lain. Aktivis lingkungan pun banyak menyampaikan kritik, bahkan semenjak rencana proyek food estate di Indonesia ini mulai terdengar. Para intelektual mencemaskan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam. 

Lokasi food estate berada di  kawasan hutan. Sehingga kebijakan ini akan meningkatkan laju konversi hutan dan deforestasi. Dampaknya sangat buruk bagi keseimbangan ekosistem. Telah terbukti bahwa konversi hutan ini telah merusak keanekaragaman hayati dan merampas habitat hewan liar seperti orang utan dan rusa. 

Kebijakan ini dikabarkan sepihak, yang berarti melanggar hak penduduk sekitar hutan tersebut. Padahal hutan telah menjadi sumber penghidupan mereka secara turun-temurun. Berkaca pada program serupa di tahun 2010 lalu, penduduk setempat malah mengalami kesulitan pangan akibat konversi hutan menjadi MIFEE. 

Di Kalimantan Tengah, proyek perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.
Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan alasannya karena program food estate ini mengabaikan peran penduduk lokal masyarakat Dayak termasuk pengetahuan mereka.

Penduduk setempat menyatakan lahan yang digunakan untuk perkebunan singkong merupakan tanah pasir, sehingga tidak cocok untuk ditanami singkong. 
Selain kebun singkong yang mangkrak, deforestasi di dataran tinggi itu juga telah mengakibatkan banjir di rumah-rumah warga. 
Sementara itu, sekitar 62.000 hektare area sawah padi yang menjadi area program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Padahal fungsi gambut sebagai pengatur siklus air, tapi justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.

Area sawah ini pun gagal panen, salah satu sebabnya adalah karena penduduk tidak diberi pelatihan mengenai bertani padi. Jadi, masyarakat lokal dipaksa menjalankan praktik menanam yang berbeda dari kebiasaan mereka. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. 
Anehnya, klaim food estate dapat mengatasi krisis pangan ternyata kontradiktif dengan kebijakan lainnya. Pemerintah menggenjot investasi, sehingga korporasi swasta menjamur di Indonesia.  Hasilnya, eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Hutan-hutan dibuka demi bisnis kelapa sawit, industri, pertambangan dan infrastruktur dibalik dominasi modal swasta. Padahal, efektivitas dan efisiensinya dipertanyakan. Benarkah kita memerlukan semua industri, pertambangan dan infrastruktur itu? Ataukah semuanya hanya demi memenuhi hasrat kapitalis? Dan gaya hidup yang hedonis? 

Celakanya, pembukaan hutan dan alih fungsi lahan semacam ini dipayungi oleh undang-undang, sah dan legal. Setelah lahan semakin berkurang dan krisis pangan semakin mengancam, tiba-tiba muncullah food estate sebagai solusi. 

Seiring lahan pertanian berkurang, harga pupuk, bibit dan alat-alat pertanian makin sulit dijangkau petani. Sudahlah modal melambung, setelah panen pun petani justru merugi karena kalah saing dengan bahan pangan impor. 
Semua fakta ini menunjukkan jika kebijakan manusia tanpa dibimbing wahyu Allah. Maka Benarlah dalam Islam jika Allah memerintahkan melaksanakan seluruh hukum Islam yg menjadi aturan negara. 

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(an-nisa:65)

Imam An Nawawi dalam kitab Riyadus Sholihin menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang lengkap hukum-hukumnya serta peraturan-peraturannya. Dalam segala macam persoalan Islam sudah menyediakan hukum yang wajib diterapkan untuknya itu, mulai dari hal yang sekecil-kecilnya seperti berkawan, adab pergaulan, berumah tangga dan lain-lain, juga sampai yang sebesarnya, misalnya menegakkan tertib hukum, mengatur keamanan dalam negara dan sebagainya. Dalam hal perselisihan antara orang seorang, antara golongan satu dengan lainnya, bahkan antara bangsa dengan lain bangsapun tercantum pula hukumnya. Jadi kita sebagai penganut agama Islam berkewajiban mengamalkan hukum-hukum itu.

Benarlah hukum-hukum Islam yang mewajibkan negara mengelola SDA secara mandiri, atau mengharamkan swasta apalagi asing menguasai kekayaan alam dalam negeri. Seperti hadits mengenai tambang garam. Ketika Abyad bin Hammal meminta Rasul agar memberikan tambang garam, awalnya Rasul menyetujui. Akan tetapi seorang laki-laki memberitahu Rasul bahwa tambang garam itu seperti air mengalir yang melimpah, kemudian Rasul mencabut pemberian itu. 

Berbagai aturan Islam mengenai regulasi pangan akan saling terkait dengan dengan bidang-bidang lainnya membentuk suatu sistem yang sempurna. Untuk mencapai kondisi negara yang ideal, maka seluruhnya harus dijalankan tanpa ada yang tertinggal. 
Apalagi pengamalan syariat Islam bukan sekadar untuk manfaat duniawi semata. Namun, merupakan perintah Allah yang dijalankan umat mukmin atas dasar akidah. 
 
Inilah peraturan dan kebijakan yang wajib diterapkan negara yang bisa memperbaiki keadaan hari ini. Ketika sistem sekulerisme kapitalisme selalu merusak kehidupan, Islam datang sebagai rahmat semesta alam. 
 
Wallahu alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak