Kemiskinan Selalu Bertambah di Negeri Zamrud Khatulistiwa




Oleh : Venti Budhi Hartanti, S. Pd.I



Baru-baru ini berita viral memenuhi jagat maya Twitter. Sayangnya berita ini tidak diekspos kemedia TV. Sempat viral di Twitter, kisah orang tua yang harus berjuang menghidupi delapan anak mereka dengan kondisi ekonomi yang sangat sulit. Saking miskinnya, kedua orang tua tersebut sehari-hari memberikan delapan anaknya makan hanya dengan nasi dan garam. Selama Ramadan 2023 kemarin ini, sang ibu hanya bisa memberikan air dan teh untuk menu sahur anak-anaknya.

Kisah tersebut makin heboh dengan seorang anaknya yang memakan kertas. Sang ibu menyampaikan, anaknya ikut tahlilan, kemudian ada kue bolu yang dilapisi kertas. Anaknya yang berumur dua tahun itu lalu memakan kertas yang ada pada kue bolu karena mengira kertas itu makanan juga. Sejak pagi memang anaknya tersebut sudah kelaparan.
Sungguh miris. Kisah pilu ini sering kita temukan di tengah masyarakat Indonesia. Pada 2020, publik juga pernah dikagetkan dengan kisah satu keluarga di Serang, Banten, selama dua hari meminum air galon isi ulang demi menahan rasa lapar. 

   Padahal jika Indonesia dilihat dari angkasa, gugusan kepulauan nan hijau menyejukkan mata seperti batu zamrud. Letaknya yang berada tepat di bawah garis khatulistiwa membuat Indonesia mendapatkan cahaya yang cukup untuk mendukung keanekaragaman hayati. Namun, hidup di negeri dengan julukan Zamrud Khatulistiwa ini nyatanya tidak seindah yang dibayangkan. Masih banyak masyarakatnya yang berada di garis kemiskinan. Semakin tahun angka kemiskinan bukannya berkurang justru sebaliknya terus bertambah. 

        Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin di perkotaan pada September 2022 meningkat sebanyak 0,16 juta orang. Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin pedesaan meningkat sebanyak 0,04 juta orang. Pada September 2022, secara rata-rata, rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,34 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.324.274,00/rumah tangga miskin/bulan.

Ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara pernah mengatakan bahwa kenaikan tingkat kemiskinan karena faktor salah kebijakan, alias salah urus. Pertama, pemerintah menetapkan program bansos sembako yang rawan untuk dikorupsi, tetapi justru masih dilakukan. Akibatnya, benar-benar dikorupsi sehingga bansos tidak efektif untuk membantu konsumsi masyarakat dan menahan tingkat kemiskinan.

Kedua, proses bansos dalam bentuk tunai ke masyarakat, terlalu lama. Salah satunya terjadi pada Kartu Prakerja. Masyarakat perlu dana tunai dalam waktu cepat, tetapi justru diminta untuk mengikuti pelatihan terlebih dahulu, setelahnya baru mendapat dana tunai. Tentu saja ini berujung pada banyaknya peserta tidak tepat sasaran karena permasalahan data yang tumpang tindih.

Ketiga, pemerintah memberikan bansos, tetapi tidak sembari mengendalikan inflasi yang muncul dari kenaikan harga pangan. Ini menyebabkan daya beli masyarakat masih lemah meski sudah mendapat bantuan.

Selain ketiga kebijakan yang salah di atas, negeri ini salah urus karena penerapan ekonomi liberal yang lahir dari kapitalisme. Utang luar negeri bertambah, subsidi hilang, rakyat dipalak dengan berbagai pajak, serta makin bertambah pula jumlah tikus berdasi yang korupsi.

Pimpinan tertinggi negeri ini berkomitmen bahwa program pertama 2024 adalah memberantas angka kemiskinan ekstrem yang menurut data terakhir berada di kisaran 2,04%. Menkeu Sri Mulyani menyebut pemerintah akan mengalokasikan fokus anggaran untuk menunaikan misi tersebut pada 2023 dan 2024. 

Namun, akankah program ini menuntaskan kemiskinan ekstrem? Publik masih ragu untuk percaya sebab ketimpangan antara kaya dan miskin makin melebar di negeri ini.

Oxfam Internasional dalam laporannya menjelaskan ada empat pendorong utama ketimpangan di Indonesia. Pertama, upah murah dan pekerjaan yang tidak memberikan rasa aman bagi mereka yang berada di bagian paling bawah makin memperparah masalah ketimpangan. Ini mengakibatkan pekerja merasa tidak berdaya untuk mengangkat diri mereka dari jurang kemiskinan.

Kedua, ketimpangan akses antara pedesaan dan perkotaan terhadap infrastruktur, seperti jaringan listrik dan jalan yang berkualitas, makin memperlebar ketimpangan spasial antara kota dan desa. 

Ketiga, pemusatan penguasaan lahan oleh perusahaan besar dan individu kaya menyebabkan manfaat yang diperoleh dari hak kepemilikan lahan hanya menumpuk pada mereka yang berada di bagian teratas dengan mengorbankan masyarakat yang lain.

Keempat, sistem perpajakan telah gagal memainkan peran pentingnya dalam mendistribusikan kekayaan. Masih jauh dari potensi pencapaian dalam meningkatkan pendapatan untuk membiayai layanan publik guna mengurangi ketimpangan. Inilah problem pemiskinan global akibat penerapan ekonomi liberal.

Kapitalisme menyebabkan ketimpangan ekonomi, penindasan ekonomi, serta makin bertambah kondisi kelaparan akut di berbagai negeri. Kemiskinan yang dialami Indonesia, misalnya, merupakan kemiskinan sistemis yang membutuhkan upaya extraordinary guna menyolusinya.

Menurut pengamat ekonomi Dr. Arim Nasim, kemiskinan yang menimpa Indonesia merupakan kemiskinan struktural (kemiskinan sistemis). Ini akibat kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme lewat liberalisasi dan swastanisasi pengelolaan SDA.

Lalu, apa upaya extraordinary menurut Islam yang harus ditempuh untuk menyelesaikan masalah kemiskinan sistemis?

Pertama, menjalankan strategi ekonomi melalui pemberian jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pokok dilakukan dengan cara Khalifah memerintahkan setiap laki-laki untuk bekerja memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Negara pun wajib menyediakan lapangan pekerjaan.

Negara juga akan menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif; menjalankan sistem administrasi dan birokrasi yang mudah, sederhana, cepat, dan tanpa pungutan; memberikan bantuan teknis, informasi, dan modal kepada masyarakat yang mampu bekerja; serta menghilangkan sektor nonriil sehingga harta berputar di sektor riil dan berdampak langsung pada perekonomian riil.

Kedua, menjalankan strategi nonekonomi, yakni zakat, infak, dan sedekah. Pemenuhan asasi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, dipenuhi negara secara langsung dan cuma-cuma atau minim biaya. 

Semua biaya itu diambil dari harta milik negara juga dari hasil pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, danau, sungai, hutan, dan sebagainya. Masyaallah, sungguh, kemiskinan sistemis bisa dituntaskan hanya dengan menerapkan sistem Islam secara kafah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak